Lemahnya Pengawasan Internal dan Birokrasi Semrawut dalam Pembangunan Gedung MERCe UPNVJ
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) membuka celah praktik korupsi pembangunan gedung MERCe, hal ini disebabkan kelalaian dalam pengawasan, kurangnya sinergi antar pihak-pihak yang terlibat, dan pengelolaan administrasi yang tidak teratur.
Aspirasionline.com — Kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pembangunan gedung Medical Education and Research Centre (MERCe) UPNVJ memasuki persidangan kedua dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi pada Senin, (5/8).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara ini menghadirkan saksi-saksi yang keseluruhannya merupakan pihak dari UPNVJ, yakni Sukantomo, Muhamad As’adi, Sigit Pradana, dan Damun.
Berdasarkan pernyataan para saksi di persidangan, ditemukan banyak kelalaian yang terjadi dalam proses pelaksanaan pembangunan Gedung MERCe UPNVJ. Hal yang paling banyak disoroti dalam persidangan ini berkaitan dengan birokrasi yang tidak teratur sehingga menyebabkan ketidaksesuaian.
Dimas Praja Subroto selaku JPU yang menangani kasus Tipikor ini menuturkan bahwa korupsi yang terjadi salah satunya akibat dari perbuatan terdakwa, yakni Cahyo Trijati yang pada saat itu menjabat sebagai Pejabat Pembuat Kebijakan (PPK) yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya.
“Pihak ketiga yang notabenenya menjalankan tugas sebagai manajemen konstruksi dalam ini nomenklaturnya tenaga ahli tidak pernah dihadirkan, dan PPK tidak tahu,” ungkap Dimas saat ditemui oleh ASPIRASI di Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus pada Senin, (⅝).
Rangkap Jabatan dan Lemahnya Pengawasan Internal
Dalam pemeriksaan ini terungkap adanya rangkap jabatan yang melibatkan ketua Kelompok Kerja (Pokja) pembangunan Gedung MERCe UPNVJ, yaitu Sukantomo. Melalui kesaksiannya di persidangan, Sukantomo mengaku bahwa ia ditempatkan di posisi lain dalam kepanitiaan tanpa Surat Keputusan (SK) resmi.
Hal tersebut diketahui oleh Mantan Rektor UPNVJ, Erna Hernawati selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Namun, menurut keterangan Sukantomo, tidak ada tindak-lanjut dari Erna terkait dirinya yang diperbantukan tanpa SK tersebut.
“Saya itu sebenarnya di Pokja, bukan di tim teknis,” ungkap Sukantomo di ruang persidangan Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus pada Senin, (5/8).
Tak berhenti disitu, ia menjelaskan pula peran Cahyo selaku tersangka Tipikor sebagai pemeriksa mingguan dan meminta bantuan kepada Sukantomo.
“Pak Cahyo itu untuk memeriksa progress mingguan mengajak saya, minta dibantu karena saya lebih tau soal sipil, karena nggak ada orang lagi di UPN,” tambahnya.
Selain daripada menjalankan tugas sebagai tim teknis, Sukantomo ternyata juga menerima imbalan sebagaimana yang diterima oleh tim teknis lain yang meliputi Feda Anisah Makkiyah, Sigit Pradana, dan Suroso selama kurang lebih 9 bulan.
Dalam prosesnya, Sukantomo dan anggota tim teknis lain yang seharusnya melakukan pengawasan ternyata tidak ada satupun yang bertemu dengan tenaga ahli dari pihak PT. Sarana Budi.
Berdasarkan keterangan Sukantomo, ia hanya bertemu dan berkoordinasi dengan Yusrizal atau yang kerap disapa Yus sebagai perwakilan tenaga ahli. Namun, nyatanya nama Yusrizal tidak tercantum dalam perjanjian.
“Yus ini nggak ada di penawaran HPS (Harga Perkiraan Sendiri),” ungkap hakim dalam ruang persidangan pada Senin, (5/8).
Hal ini juga diperparah dengan tidak adanya konfirmasi untuk memastikan keberadaan pengganti para tenaga ahli yang sebelumnya sudah dijanjikan. Bahkan, dalam rapat besar yang dipimpin oleh Erna selaku KPA pun tidak ada pembahasan mengenai kealpaan tenaga ahli.
“Sebetulnya masalah tenaga ahli nggak disinggung sih (dalam rapat),” terang Sukantomo.
Maladministratif Pemicu Permasalahan
Hal lain yang terungkap dalam persidangan ini berkaitan dengan kelengkapan administrasi yang dikesampingkan.
Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP), Damun menjelaskan bahwa perkara yang menjadi titik dari permasalah ini ialah penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang seharusnya menjadi dasar pencairan dana per termin, justru dirapel dalam satu bulan saat pembangunan selesai.
“Pemeriksaan (berita acara) itu merapel di Desember,” ujar Damun seraya menambahkan, “di keuangan yang diterangkan dalam berita itu hanya BST (Berita Serah Terima Pekerjaan), berita acara pembayaran, kwitansi, dan faktur pajak.”
Dalam persidangan, Dimas menjelaskan bahwa seharusnya berita acara ditandatangani oleh tim teknis pada tanggal 15 Juli 2021, 30 September 2021, dan 23 Desember 2021. Ketika tanda tangan ini seharusnya masing-masing dilakukan sebelum pembayaran termin kesatu, termin kedua, dan termin ketiga.
Namun, selama proses pengawasan, pihak UPNVJ hanya menandatangani laporan pemeriksaan yang diwakili oleh PPK dan Sukantomo. Sedangkan dari PT. Sarana Budi ditandatangani oleh perwakilan ahli atas nama Sunarno. Namun, baik PPK maupun Sukantomo, keduanya tidak pernah bertemu langsung dengan ahli tersebut.
“Belum pernah (bertemu). Kalau tahu tanda tangannya memang itu nama dia (Sunarno),” ujar Sukantomo.
Menurut penjelasan JPU dan pengakuan dari Damun sebagai saksi, tim teknis sendiri tidak menandatangani laporan pemeriksaan apapun, kecuali BAP di akhir.
“Yang dari tim teknis Dokter Feda, Sigit Pradana, kemudian Sunarno itu nggak ada. Di akhir atas perintah dari Pak Cahyo tadi untuk dibuatkan itu (BAP) sebagai pelengkap administrasi,” tutup Dimas.
Foto: ASPIRASI/Primananda
Reporter: Rara Siti | Editor: Nayla Shabrina