Konsolidasi Terbuka Ungkap Realitas Industri Kreatif Menjelang Hari Buruh Internasional

Nasional

Masalah ketidaksejahteraan yang dihadapi buruh seni merupakan persoalan yang tak kunjung mendapat perhatian serius. Kerentanan ini berusaha diatasi melalui pendidikan-pendidikan dasar yang berada di dalam serikat.

Aspirasionline.com — Buruh seni kerap kali mendapat perlakuan diskriminatif karena kondisi kerja mereka yang terhitung sebagai pekerja lepas (freelance). Kondisi ini menjadikan mereka sangat rentan mengalami diskriminasi oleh  pihak yang mempekerjakan mereka.

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dalam menyambut  Hari Buruh Internasional tertanggal 1 Mei mengadakan diskusi publik dan pementasan Dramatic Reading pada hari Sabtu, (27/4) di Aula Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat. 

Diskusi publik yang mengusung tema “Kerja Budaya: Antara Seniman dan Kelas Pekerja” ini dilaksanakan guna menyoroti banyaknya kerentanan-kerentanan yang dialami oleh para buruh, khususnya buruh seni dalam industri kreatif.

Acara dibuka dengan pementasan Dramatic Reading berjudul “Tenggat Waktu” oleh tim HahaHihi Kolektif. Drama tersebut menyajikan sepotong kisah tentang perjuangan para pekerja seni yang sering kali terabaikan dan terpinggirkan dalam menghadapi tekanan pekerjaan.

Marsha Habib, yang berperan sebagai Eka dalam drama tersebut, menjelaskan bahwa pentas tersebut menggambarkan bagaimana seorang buruh seni sering kali mendapat tekanan dari klien. Sementara, waktu pengerjaan yang terbatas serta bayaran yang diterima oleh buruh seni sering kali tak sepadan. 

“Kalau buat aku ini untuk bikin orang ngerasa gak sendiri karena apa yang mereka alami, juga dialami yang lain walaupun kita belum tau solusi apa persisnya tapi ketidaksendirian itu yang perlu,” terangnya kepada ASPIRASI pada Sabtu, (27/4). 

Hak-Hak Dasar Buruh yang Tak Kunjung Terpenuhi

Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia memang menyediakan kerangka hukum bagi pekerja yang menghadapi sengketa hubungan industrial. 

Serikat pekerja dibentuk oleh pekerja atau buruh dengan tidak serta merta hanya bertujuan untuk melindungi dan memperjuangkan hak serta kepentingan mereka, namun juga untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Namun pada kenyataannya, regulasi tersebut masih kurang dalam penerapannya, sehingga para pekerja buruh, khususnya buruh seni lebih sering menghadapi berbagai tantangan yang menghalangi mereka untuk melindungi, memperjuangkan, dan meningkatkan hak serta kesejahteraan mereka.

“Tapi di antara kreatif, seniman ini paling kasihan nasibnya, sebenarnya. Kita ini gak ada cantolannya buat melindungi, gak pernah konkret. Jadi, kita ada di dalam invisibilitas ganda. Kita gak tampak kerja, kita kadang gak dianggap seperti kerja, tapi kita tidak juga teridentifikasi dalam peraturan dan undang-undang,” jelas Ratri Ninditya selaku moderator diskusi kepada ASPIRASI pada Sabtu (27/4).

Pekerja-pekerja yang dituntut untuk lembur mengakibatkan beberapa di antara mereka tidak sanggup menanggung tekanan tersebut. Bahkan ironisnya, ada yang akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

Pada sesi tanya jawab yang diselenggarakan, beberapa peserta acara turut membagikan pengalamannya dalam menghadapi kerentanan-kerentanan yang dialami sebagai pekerja media kreatif.

Salah satu peserta diskusi publik pun mengungkapkan keresahannya sebagai pekerja media kreatif yang tidak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai pekerja, seperti hari cuti, tunjangan hari raya, jaminan sosial (BPJS), hingga tidak adanya intensif ketika masih harus bekerja di hari raya.

Hak-hak yang belum terpenuhi itulah yang sedang diperjuangkan oleh kawan-kawan di dalam serikat pekerja dengan mengumpulkan suara-suara menjadi satu agar lebih di dengar, karena keresahan yang disuarakan tersebut adalah sesuatu yang nyata adanya.

Namun, kerentanan yang ada pada pekerja media kreatif juga datang secara alamiah, terutama bagi para freelancer (pekerja lepas) yang umumnya hanya memiliki hubungan kontrak kerja yang relatif singkat.

Freelancer dari satu projek misalnya desainer grafis, dia bekerja untuk suatu pembuatan logo desain untuk perusahaan. Terus, setelah selesai, dia pindah lagi untuk bekerja yang lain dan terus seperti itu. Kondisi-kondisi seperti itu memunculkan kerentanan, sebab kemudian tidak ada kepastian,” ungkap Ketua SINDIKASI, Ikhsan Raharjo ketika diwawancarai oleh ASPIRASI pada Sabtu (27/4).

Selain hubungan kontrak kerja yang pendek, kerentanan juga terjadi dalam upah yang diterima pekerja hingga nilai tawar barang atau jasa yang disediakan. Ikhsan menjelaskan, bahwa para pekerja lepas memiliki posisi tawar yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan para pekerja tetap di sebuah perusahaan.

“Kemudian, itu menjadi kerentanan buat mereka dalam kesehariannya. Itu semua terjadi, dan itu yang kemudian kami, sebagai serikat pekerja mencoba untuk mengatasi beberapa hal di dalamnya dengan meningkatkan posisi tawar mereka di hadapan pemberi kerja maupun negara untuk proses pembuatan kebijakan,” timpalnya. 

SINDIKASI dalam Memperjuangkan Hak-Hak Buruh Seni sebagai Serikat Pekerja

SINDIKASI sebagai serikat pekerja menjadi wadah bagi para buruh seni dalam memperjuangkan hak-haknya. Hal ini juga disampaikan oleh Ikhsan selaku ketua SINDIKASI, bahwa pekerja yang menghadapi sengketa hubungan industrial dapat diwakili oleh serikat pekerja.

“Di situ, dia (buruh) anggota kami, dia bisa mengadukan ke SINDIKASI, lalu kami bisa datang kesana untuk berunding secara bipartit (perundingan antara buruh dengan pengusaha),” jelas Ikhsan.

Ikhsan juga menambahkan bahwa perundingan-perundingan itu dapat diproses hingga ke tingkat tripartit, yakni tingkat yang melibatkan Dinas Tenaga Kerja di kota masing-masing jika masih tidak mencapai kata sepakat. 

Tingkatan ini masih bisa berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial, bahkan untuk kasus-kasus tertentu bisa mencapai tingkat Mahkamah Agung jika sengketa tersebut masih belum mencapai ujung kesepakatan.

Namun, selain hak-hak buruh yang belum terpenuhi, SINDIKASI juga berupaya dalam membangun kesadaran, dimulai dari tingkat pekerja itu sendiri.

“Karena banyak dari pekerjanya justru tidak merasa bahwa mereka rentan, mereka dieksploitasi, banyak yang tidak mengerti. Ya mungkin selama ada pekerjaan, ya kenapa enggak? Berapa pun upah yang ditawarkan, ya kita ambil aja. Itu dalam posisi yang dari diri si pekerjanya ada kecenderungan untuk menormalisasi eksploitasi,” ungkap Ikhsan.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk memutus pemikiran-pemikiran yang secara langsung maupun tidak langsung telah menormalisasi perilaku eksploitasi, yaitu dengan adanya skema pendidikan dasar yang berjenjang ketika bergabung ke SINDIKASI.

Pendidikan dasar tersebut diterapkan untuk menanamkan pengetahuan-pengetahuan, seperti masalah struktural para pekerja kepada anggota atau pekerja baru yang telah bergabung ke dalam SINDIKASI.

Pada kesempatan yang sama, sutradara pementasan Dramatic Reading “Tenggat Waktu”, Jati Andito, mengatakan ingin mengajak teman-teman diluar sana bersatu dan berserikat. 

“Kita sudah ada serikat tapi cuma satu dan seharusnya lebih banyak lagi. Intinya kita pengen ngajak kawan-kawan bersatu dan berserikat. Tidak harus SINDIKASI saja, siapapun bisa bikin ruang aman dan komunitas yang sesuai,” pungkasnya. 

 

Foto: ASPIRASI/Abdul Hamid.

Reporter: Fabiana Amhnun, Mg. Azzahwa Zulfa, Mg. | Editor: Abdul Hamid.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *