Melihat Persepsi dan Eksistensi Pers Sebagai Pilar Demokrasi

Berita UPN

Menuju tahun politik, PJM LPM Aspirasi menghadirkan materi yang membahas mengenai refleksi pers di Indonesia saat ini.

Aspirasionline.com – Dalam rangka penyelenggaraan Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa (PJM) ke-38, LPM Aspirasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) mengadakan seminar dengan tema “Wajah Lain Kebebasan Pers di Indonesia” yang berlangsung di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/5).

PJM merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh LPM Aspirasi dengan memberikan pelatihan jurnalistik kepada masyarakat. PJM kali ini kembali digelar secara luring dengan menghadirkan tiga pembicara yang terbagi dalam dua sesi.

Pada kesempatan ini, LPM Aspirasi menghadirkan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana yang menjelaskan mengenai kebebasan pers menuju tahun politik.

Dalam pemaparannya, Yadi menyampaikan bahwa sebuah media massa perlu dievaluasi berdasarkan empat subsistem, yaitu bagaimana persepsi publik terhadap media, esensi pers, sistem yang dianut, dan culture.

“Jadi keempat itu menjadi tolak ukur bagaimana kita melihat lembaga ini di masyarakat sekarang, yang kemudian saya pelajari dan hasil dari studi yang saya alami lima belas tahun terakhir,” ungkap Yadi, Sabtu (27/5).

Yadi menjelaskan, saat ini pers dipersepsikan sebagai pilar keempat demokrasi. Kemudian, pers juga diakui sebagai badan kontrol pemerintah, dan selalu diakui sebagai tujuan kepentingan umum.

Namun, pria itu mengatakan saat ini banyak sekali penyimpangan yang dilakukan pers saat membuat produk jurnalistik sehingga pandangan masyarakat terhadap pers kini semakin buruk.

“Pers saat ini dipersepsikan dengan buruk, apa persepsi buruknya? Ya itu karena kualitas persnya ya,” katanya.

Selama periode Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dan 2019, pers disorot sebagai penyebar hoax. Itulah sebabnya banyak informasi yang tidak faktual menjadi instrumen kekuasaan dan kepentingan, karena pers dikuasai oleh banyak orang.

Dari masalah ini persepsi masyarakat terhadap pers berubah, dari persepsi kontrol pemerintah hingga pilar demokrasi, menjadi dipersepsikan buruk.

“Jadi ini adalah persepsi buruk yang dikhawatirkan pers merusak tatanan publik, itu yang dikhawatirkan masyarakat,” ungkap Yadi.

Selanjutnya, menurut Yadi, secara substansi pers saat ini berada dalam kebebasan yang dilindungi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 yang di dalamnya mengandung value of freedom atau nilai kebebasan pers.

“Tetapi di Indonesia itu value of freedom-nya terukur. Dari mana? Bertanggung jawab. Karya-karya yang dipublikasikan harus bisa dipertanggungjawabkan,” tuturnya.

Lebih lanjut, media massa saat ini juga perlu dilihat dari sistem yang seharusnya independen karena sudah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU tersebut, pers diberi kewenangan untuk mengurus kepentingannya sendiri yang tentunya mengutamakan kepentingan publik, bukan kepentingan beberapa pihak.

“Itu pemerintah diharamkan sekali untuk melakukan campur tangan terhadap pers,” katanya.

Lebih lanjut, Yadi menyebut bahwasanya culture atau budaya pers yang saat ini ia amati sudah tercoreng. Sebab, kebiasaan pers yang digunakan sebagai alat kepentingan politik tentu mengotori prinsip jurnalisme verifikasi.

“Ketika pers digunakan untuk kepentingan tertentu, itu bukan pers. Karena pers itu bukan untuk kepentingan tertentu, pers itu untuk kepentingan publik,” tutup Yadi.

 

Foto: Nabila Adifia.

Reporter: Tiara Ramadanti | Editor: Miska Ithra.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *