
Kanti Utami dan Kesehatan Mental Seorang Ibu
Menjadi seorang ibu sudah barang tentu melelahkan. Dalam kasus Kanti Utami, seorang ibu yang menikam leher anak-anaknya, tekanan yang dirasakannya mungkin sudah tak tertahan lagi.
Aspirasionline.com — Beberapa minggu lalu kita sempat dikagetkan dengan adanya berita pembunuhan yang dilakukan seorang ibu terhadap anak kandungnya. Hari itu, Minggu (20/3), Kanti Utami menggorok leher ketiga anaknya dengan sebilah pisau cutter hingga menyebabkan satu anaknya meninggal dunia.
Peristiwa ini tentunya seperti menghentak rasa kemanusiaan kita. Bukan hanya soal kejinya pembunuhan yang dilakukan oleh Kanti Utami terhadap kedua anaknya, tetapi juga soal kondisi ekonomi dan psikologis yang ia alami.
Beniharmoni Harefa, dosen Kriminologi di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) mengungkapkan bahwa kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sudah beberapa kali terjadi di Indonesia. Hal tersebut menurutnya, berawal dari banyaknya tekanan yang dirasakan seorang ibu hingga tidak bisa berpikir normal selayaknya orang lain.
“Bisa dikatakan, depresi lah penyebabnya. Itu tadi, karena soal ekonomi atau kemiskinan,” ujar Beniharmoni ketika diwawancarai oleh Aspirasi pada Jumat, (25/3).
Lebih lanjut, pria itu menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada kasus Kanti Utami dapat digolongkan sebagai filicide altruistic. Artinya, terdapat gangguan kejiwaan yang dialami orang tua sehingga menimbulkan dorongan untuk mengakhiri nyawa anak kandungnya sebagai suatu bentuk rasa cintanya pada anak.
Sejalan dengan penjelasan Beniharmoni, dosen Psikologi UIN Walisongo Semarang, Wening Wihartati mengatakan bahwa dalam kasus ini, Kanti Utami mengalami perilaku yang abnormal. Ia kemudian menjelaskan beberapa ciri-ciri abnormalitas tersebut, mulai dari perilaku yang tidak biasa, menyengsarakan dan menyakitkan, serta tidak sesuai dengan norma di masyarakat.
“Dalam psikologi termasuk dalam perilaku seseorang yang pasif agresif,” jelas Wening saat dihubungi oleh Aspirasi pada Jumat, (1/2) kemarin.
Luka Batin dan Penghakiman Oleh Masyarakat
Dalam video wawancara yang beredar luas di jagat maya, kita dapat melihat adanya trauma masa kecil dan depresi yang dialami oleh Kanti Utami. “Mendingan mati saja, enggak perlu ngerasain sedih, harus mati biar nggak sakit,” jawab Kanti dalam video tersebut ketika ditanyai bagaimana caranya menyelamatkan anak-anaknya.
“Kayak saya dari kecil, tidak ada yang tahu saya memendam puluhan tahun,” tuturnya melanjutkan dengan raut wajah sedih.
Selain daripada kesulitan ekonomi, Wening melihat bahwa depresi yang dialami oleh Kanti Utami juga disebabkan kurangnya tanggung jawab suami, terutama dalam pengasuhan anak. Apalagi menurutnya, seorang ibu yang memiliki tiga anak di bawah usia 15 tahun memang rentan sekali mengalami depresi.
Wening juga menjelaskan bahwa luka batin dari trauma masa kecil yang belum terselesaikan dan dilampiaskan saat dewasa, bisa memunculkan adanya masalah kejiwaan. Apalagi ditambah dengan adanya depresi dan kurangnya dukungan yang ia rasakan.
“Jadi kayak orang lagi terluka dikasih garam, makin terluka lagi,” tutur Wening.
Namun cukup disayangkan, banyak reaksi dari masyarakat yang muncul malah seolah ikut menghakimi tindakan yang dilakukan oleh Kanti Utami, tanpa mencoba melihat lebih jauh lagi apa yang sebenarnya terjadi. Meski dalam hal ini, kita memang tidak dapat mengontrol munculnya beragam reaksi tersebut.
“Pro kontra itu pasti terjadi. Dan kita tidak bisa mengatur apa yang ada di dalam pikiran masyarakat,” jelas Beniharmoni.
Di lain sisi, Wening merasa wajar jika masyarakat kemudian geram melihat apa yang dilakukan oleh Kanti Utami. Namun, ia beranggapan seharusnya kita mencoba untuk menelusuri terlebih dulu apa penyebabnya, terutama terkait adanya luka batin yang belum sembuh.
“Jadi tidak selayaknya netizen atau masyarakat itu tadi men-judge apa yang dilakukan Ibu Kanti tindakan keji. Kita harus menggali lebih dalam melihat akar permasalahan,” terangnya kemudian.
Harapan Terkait Penyelesaian Kasus
Apa yang telah dilakukan oleh Kanti Utami memang sama sekali tidak dapat dibenarkan. Apapun alasannya, entah itu untuk melindungi atau menghindarkan anaknya dari penderitaan, hal itu tetaplah salah.
“Itu tetap tidak dibenarkan dalam psikologi bahkan sampai menyakiti, melukai, sampai membunuh,” jelas Wening.
Begitu juga dengan apa yang disampaikan oleh Beniharmoni. Ia mengatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tetap tidak akan hapus, tetapi ia berharap bahwa hal itu disertai dengan adanya rehabilitasi.
“Selain dia dimintai pertanggungjawaban pidana, maka diberikan juga pendampingan atau rehabilitasi psikologis,” lanjutnya.
Adanya tahap rehabilitasi tersebut juga disetujui oleh Wening. “Jadi, sebaiknya memang ditangani di rumah sakit jiwa dengan penanganan psikiater dan psikolog sehingga nanti bisa tertangani masalah kejiwaannya,” ujarnya kemudian.
Wening juga mengatakan ke depannya perlu peran lebih dari lingkungan sekitar untuk memberikan dukungan kepada orang-orang yang memiliki masalah, seperti apa yang terjadi pada Kanti Utami. Mencoba membangun kepekaan atau menyediakan ruang bagi mereka bercerita tanpa menghakimi mereka bisa menjadi salah satu caranya.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Beniharmoni, masyarakat harus diberikan pengetahuan dan pemahaman agar ke depannya tidak abai lagi terhadap hal-hal seperti ini. Begitu juga dengan aturan hukum yang mesti disusun sebaik-baiknya.
“Disusunlah aturan kebijakan hukum pidananya, kira-kira terhadap orang-orang seperti ini apa yang tepat dilakukan. Kalau dari kacamata saya, sih, seharusnya ini butuh rehabilitasi, butuh pembimbingan,” tutupnya.
Reporter: Vedro Imanuel. | Editor: Miska Ithra.
.