Aktivis Anging Mamiri: Aparat Tak Lindungi Korban KDRT

Nasional

Aspirasionline.com – Indonesia sudah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga P-KDRT menjadi undang-undang pada 2004 lalu. Namun hingga kini angka kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi. Pada 2012, ada lebih dari 600 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angkanya naik menjadi hampir 1000 pada tahun 2013. Kasus paling dominan adalah kekerasan dalam rumah tangga mencapai 370-an kasus, disusul kasus kekerasan dalam berpacaran.

Di Sulawesi Selatan ada data yang cukup mencengangkan. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menyatakan terdapat 20 kasus kekerasan dalam rumah tangga setiap bulannya. Kalau diambil rata-rata jumlahnya adalah 4 kasus setiap minggunya. Korban dari KDRT ini adalah istri dan anak-anak.

Wakil Ketua DPRD Makasar, Adi Rasyid Ali mengatakan kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena faktor karakter individu. “Ada faktor karakter. Yang kedua status. Contoh pasangan suami istri. Suami beberapa tahun belum dapat pekerjaan, istri sudah dapat, sehingga suami malu. Ini bisa membuat timbul kekerasan di rumah tangga,” kata Adi dalam Program Pilar Demokrasi KBR, Senin (15/09)

Adi mengatakan DPR saat ini mendorong pemerintah Kota Makassar untuk membuat program yang pro terhadap perlidungan perempuan dan anak. “Kita punya fungsi penganggaran, fungsi legislasi dan controling. Kita meminta kepada eksekutif, kami hanya bisa marah kepada eksekutif, untuk membuat program yang memberdayakan perempuan dengan penyuluhan,” kata Adi.

Salah satu program yang bisa dipakai pemerintah seperti memasukkan kriteria, pejabat atau siapa saja yang mengikuti lelang jabatan di pemerintahan, tidak punya rekam jejak melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

“Kami minta kepada pansel untuk merekam apakah para lurah yang mau menjadi camat tidak punya catatan kekerasan. Itu dimasukan dalam sebuah persyaratan. Itu penting. Jadi ada kelakuan baik,” terang Adi. Namun sayangnya DPR tak mempunyai data soal angka kekerasan. Adi mengklaim tak pernah mendapat laporan KDRT dari masyarakat.

“Tidak pernah ada laporan kepada DPR. Jadi kami tidak bisa buat perda karena sudah ada undang-undang. Tinggal ini kesadaran pihak perempuan untuk melaporkan jadi regulasi,” ujar Adi.

Meski begitu, upaya memperjuangkan hak perempuan terus dilakukan, termasuk di internal DPRD Makasar sendiri. “Saya harus sampaikan untuk di parlemen DPRD, perempuan kita ada 8. Nambah satu dari periode kemarin. Kami untuk meningkatkan SDM, kami sudah melakukan pembekalan. Contoh, 2009-2014, ada parlemen dari perempuan ketika dia bertanya cenderung di tertawakan dan disepelekan,” kata dia. Berkaca dari sana, DPRD membuat simulasi persidangan agar perempuan yang berada di DPRD, bisa cakap dalam bersidang. “Kita juga membuat pembekalan dan pengetahuan.”

Sementara catatan dari Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mamiri menyebutkan pada 2013 ada sekitar 164 kasus KDRT. 2014 meningkat 100 persen. Koordinator Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mamiri Jusmiati Lestari mengatakan undang-undang tentang penghapusan KDRT dari 2004 tidak maksimal. “Ini adalah peran pemerintah dan aparat tidak serius, ketidakseriusan ketika korban melaporkan ke polisi pelaku tidak diproses dengan baik bahkan dibiarkan saja,“ kata Jusmiati.

Jusmiati mengatakan ketika melaporkan perempuan malah menjadi kambing hitam.

“Perempuan sudah jadi korban, dia lagi yang disalahkan. Sama ketika kita laporkan ke polisi, ternyata pertanyaan polisi selalu melecehkan korban. Itu kan juga kekerasan. Smestinya korban ini traumanya bisa dipulihkan dengan bahasa. Yang terjadi adalah aparat tak melindungi,“ kata Jusmiati.

Jusmiati mengatakan DPRD sebagai perwakilan rakyat tak bisa mewakili aspirasi.“ Ini bisa diselesaikan dengan baik melalui regulasi yang kita buat bersama melalui perwakilan kita. Saya kira DPR bisa menjalankan rumah aspirasi,“ terang Jusmiati.

Menurut Jusmiati, banyak faktor yang membuat KDRT terus terjadi, salah satunya dogma agama.

“Sebenarnya banyak yang kita bisa lihat. Keterlibatan perempuan dalam setiap lini juga tidak terlepas dari semua lini. Misalnya suami. Yang masalah dogma budaya dan agama menjadi penghalang. Perempuan yang keluar malam, orang terus cap sebagai perempuan tidak baik, secara tidak langsung melakukan kekerasan,“ terang Jusmiati.

Menurut Jusmi harus ada kesadaran secara nasional dari seluruh elemen untuk memberikan pengetahuan tentang pentingnya menghapus kekerasan dalam rumah tangga, baik yang dirasakan istri maupun anak.

Sumber : KBR68H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *