Suara Ketikan

Sastra

Anita terus melanjutkan mengetik di laptopnya, mengabaikan matanya yang sudah berat dan tubuhnya yang rasanya bisa ambruk kapan saja. Laporan Penelitian ini seharusnya sudah selesai kemarin namun dia terpaksa menundanya karena dia ternyata mendapat tugas makalah di mata kuliah lain dengan deadline yang sangat mepet. Dia harus menyelesaikan semuanya hari ini juga, kalau tidak dia akan mendapat pengurangan nilai.

Anita terus mengetik, dan ketika dia akhirnya sampai kepada titik dimana dia hanya perlu menekan tombol ‘Save’, jam dinding dikamarnya sudah menunjukkan pukul 2. Selesai sudah, sekarang dia hanya perlu beristirahat, dia perlu tidur untuk mengisi energinya sebelum memulai harinya besok. Seluruh kegiatan perkuliahan memang dialihkan ke daring namun bukan berarti segala penugasan juga akan berkurang begitu saja, malahan Anita merasa kalau selama perkuliahan daring ini penugasan malah semakin menumpuk.

Namun Anita memutuskan untuk tak memikirkannya lebih jauh, dia harus segera tidur sekarang. Agar dia bisa menjalani hari esok dengan tenaga yang penuh.

Kelas Anita hari itu berjalan dengan lancar, namun juga membuat Anita hampir menumpahkan air matanya lagi.

Dia baru saja menyelesaikan Laporan Penelitian yang memakan waktu seharian itu, namun dosennya dengan mudah memberikan penugasan pembuatan makalah penelitian dengan batas waktu 3 hari. Demi tuhan, penelitian itu bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Kalaupun bahannya bisa dicari di internet bukan berarti semuanya bisa diakses atau berasal dari sumber yang sudah terverifikasi. Belum lagi penugasan-penugasan mata kuliah lain yang harus Anita selesaikan.

Namun, Anita memutuskan untuk mengesampingkan perasaannya untuk saat ini. Semakin ia menunda maka semakin terbuangnya waktu yang seharusnya bisa ia gunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya.

“Ah, kamu hanya kurang bersyukur saja Nit,” kata-kata itu diucapkan dengan mudahnya oleh Riska, teman Anita. Mungkin Riska berharap Anita bisa mendapatkan secercah harapan dan semangat dari kata-katanya namun Anita merasa kalau kata-kata Riska membuat kepalanya semakin pusing.

Anita tidak mampu menjawab, jadi Riska memutuskan untuk melanjutkan.

“Kamu tuh sebenernya enak tahu Nit, kamu Cuma tinggal kuliah dan belajar aja. Lah aku? Masih harus mikirin kerja juga,” kata Riska, wajahnya terlihat murung ketika mengatakan itu.

Anita masih diam, namun ia terpaksa memilih tersenyum menanggapi perkataan Riska.

“Iya ya, terima kasih atas sarannya ya Riska.”

Malam itu ibunya menelepon, yang membuat Anita terpaksa menunda pekerjaannya

“Gimana kuliahmu nak?” tanya ibunya.

“Gak ada masalah kok bu,” jawab Anita, berusaha agar nada suaranya terdengar baik-baik saja.

“Syukurlah kalo gak ada masalah,” suara ibunya terdengar lega dan Anita merasa iri dengan itu.

Anita tidak terlalu ingat percakapannya dengan ibunya setelah itu, dia hanya ingat ibunya menasehatinya untuk tetap jaga kesehatan terutama di tengah-tengah pandemi ini dan Anita hanya meng-iyakan semua perkataan ibunya.

Dia harus segera kembali mengerjakan tugas-tugasnya, deadline yang ditentukan sudah semakin dekat dan tidak ada waktu baginya untuk bersantai-santai.

Suara ketikan keyboard menghiasi kamar kost milik Anita. Mahasiswi semester 5 itu terus melanjutkan ketikannya di laptop miliknya, mengabaikan perutnya yang terasa melilit. Ah, Anita baru ingat kalau dia sama sekali belum makan malam, dia juga melewatkan sarapan dan hanya menyantap makan siang.

Anita mengabaikan rasa sakitnya dan terus mengetik di laptopnya. Namun semakin lama ia merasa kalau perutnya semakin sakit sampai akhirnya ia memutuskan untuk berhenti sebentar dari pekerjaannya. Mungkin dia harus meminum sesuatu, setidaknya untuk meredakan rasa sakitnya.

Anita beranjak dari duduknya untuk meraih gelas yang terletak tidak jauh dari tempatnya duduk, namun baru saja dia berdiri rasa sakit itu menghantamnya hingga ia terjatuh ke lantai. Anita meringis kesakitan, baik itu dari rasa sakit di perutnya atau rasa sakit akibat hantaman.

Kenapa dia harus sakit sekarang?! Dia tidak punya waktu untuk sakit. Dia harus segera kembali mengerjakan tugas-tugasnya, kalau tidak dia akan terlambat mengumpulkannya!

Anita berusaha untuk berdiri, namun rasa sakit itu membuatnya hanya bisa meringkuk di lantai. Anita merasakan pipinya basah, apa dia menangis?

Samar-samar dia mendengar ponselnya berdering, namun Anita tidak tahu apakah itu hanya perasaannya saja dan rasanya dia sudah tidak memliki tenaga untuk peduli lagi.

 

Foto: Google

Penulis: Bianca Chairunisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *