Mengenal Gangguan Psikosomatik dan Somatoform Saat Kepanikan Pandemi

Forum Akademika

Kekhawatiran dan rasa cemas yang berlebihan setelah menerima informasi Coronavirus Disease-2019 (Covid-19) kerap kali berimbas pada fisik seseorang. Mengapa?

Aspirasionline.com – Pemberitaan terkait Covid-19 kini menjadi asupan rutin bagi masyarakat. Menurut Pendiri mentalhealth.id, Ade Binarko mengatakan banyak sekali kecemasan, ketakutan, juga kekhawatiran terhadap berita-berita yang setiap hari muncul terkait Covid-19 baik dari televisi, sosial media, sampai grup WhatsApp keluarga.

Menurut Ade, situasinya begitu tidak pasti. Semua punya kekhawatiran yang cukup besar dan mungkin ada yang memiliki ketakutan berlebihan sehingga timbul kecemasan pada seseorang. Ia menambahkan, hal ini memunculkan banyak sekali tekanan dalam diri dan pikiran seseorang dan menimbulkan pengaruh psikosomatik secara mental maupun secara fisik.

“Mungkin ada yang suka merasa tidak apa-apa tetapi nyesek kayak seakan-akan dia kena Covid-19. Padahal dia tidak apa-apa. Jadi itu semacam bikin pikiran seperti itu,” jelas Ade.

Menurut dokter spesialis gangguan jiwa, Diana Papayungan dengan adanya pandemi ini pasti akan berpengaruh pada jiwa dan mental seseorang. Pandemi ini menjadi kondisi yang tiba-tiba datangnya serta begitu masif dan menakutkan. Apalagi, kata Diana, ditambah dengan adanya pemberitaan orang yang meninggal dunia akibat Covid-19.

“Akhirnya banyak yang harus kita lakukan, yang biasanya tidak kita lakukan, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Itu kan peristiwa baru yang kita semua hadapi. Dari situasi yang tenang tiba-tiba pandemi, lalu kita juga bereaksi untuk mencegah,” ungkapnya melalui sambungan selular kepada ASPIRASI pada Rabu, (22/4).

Diana mengatakan pengertian psikosomatik adalah penyakit fisik yang dicetuskan oleh adanya masalah psikologis. Contohnya seseorang yang punya alergi, punya sakit asma, itu bisa mulai kambuh ketika dia punya masalah psikologis.

“Kayak sekarang lah ya adanya pandemi itu bisa menjadi masalah psikologis bagi orang-orang yang memang punya gangguan asma atau alergi di kulit. Nah, ketika dia stres dia cemas penyakit fisiknya itu bisa kambuh,” jelasnya.

Menurut Diana, dengan adanya pandemi ini akan berpengaruh pada jiwa dan mental seseorang. Namun mekanisme pertahanan tiap individu berbeda. Ada yang merespons pandemi ini dengan cara adaptif dan maladaptif.

“Adaptif artinya bisa menerima pandemi ini. Maladaptif yang tidak berhasil menghadapi pandemi ini dengan baik,” ujar wanita kelahiran Tanjung Pandang ini.

Seseorang yang merespons pandemi ini dengan cara maladaptif, kata Diana, kemungkinan dapat menyebabkan gangguan pada dirinya. “Bisa gangguan mental emosional, baik dari gejala ringan sampai berat. Bisa juga keluhan fisik,” tambahnya.

Diana mengungkapkan istilah psikosomatik dalam kedokteran jiwa dinamakan sebagai gangguan somatoform.

Somatoform dari Kaca Kejiwaan

Menurut Diana seorang psikiater di Rumah sakit Graha Permata Ibu dan Klinik Charis ini meluruskan bahwa keluhan fisik yang disebabkan karena masalah kejiwaan yang timbul dari mengonsumsi pemberitaan covid-19 ini dinamakan gangguan  somatoform.

Diana menjelaskan somatoform merupakan masalah kejiwaan seperti cemas dan stres yang menimbulkan sakit fisik seperi mual, jantung berdebar-debar atau sesak nafas. Hal ini tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Meskipun demikian, keluhan fisik yang dirasakan itu benar adanya.

“Misalnya karena terlalu sering terpapar informasi mengenai Covid-19 ini, timbul rasa cemas yang berlebihan. Sehingga orang tersebut mengalami gangguan maag, lalu diberi obat terus menerus. Tetapi sakit maag yang dialaminya tak kunjung sembuh. Hal itu karena kejiwaan orang tersebut belum ditangani,” terangnya.

Diana menjelaskan perbedaan antara psikomatik dan somatoform dilihat dari gangguannya. Gangguan psikosomatik bermanifestasi dari penyakit fisik tetapi sebenarnya dasarnya adalah psikologis. Sedangkan somatoform, dasarnya masalah paikologisnya tapi bermanifestasi ke fisiknya.

“Contohnya misalnya orang yang cemas dengan adanya pandemi serta yang tidak beradaptasi dengan kondisi ini. Mereka inilah yang rentan untuk mengalami gangguan mulai dari yang ringan sampai yang berat,” tambah Diana.

Mengatasi Gangguan Somatoform dan Psikosomatik.               

Menurut Diana, di tengah pandemi saat ini, banyak masyarakat  berkonsultasi terkait gangguan psikosomatik dan somatoform yang mereka rasakan. Tetapi rata-rata mereka yang sudah mengalami gangguan kecemasan covid-19 sehingga memang sudah terdiagnosis gangguan cemas. Namun menurut Diana, ada juga yang belum terdiagnosis gangguan cemas tersebut.

“Tapi dalam konseling, seorang psikiater melihat kebelakangnya. Mungkin kecenderungan kepribadiannya itu memang pencemas. Nah ada masalah pandemi ini, menjadi preassure baru untuk pasien yang tidak terdiagnosis cemas,” ungkap wanita lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) itu.

Lebih lanjut, menurut Ade, gangguan seperti itu bisa dicegah dengan lebih berpikir positif. Menenangkan pikiran dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia mengatakan bahwa olahraga dan meningkatkan kreativitas dapat membuat diri terhindar dari pemberitaan Covid-19 yang membuat cemas.

Sementara bagi Diana, langkah yang paling dasar dalam pencegahan gangguan Somatoform dan Psikomatik di tengah pandemi Covid-19 ini adalah dengan pengalihan kecemasan. Hal itu bisa dilakukan supaya tidak fokus dengan kecemasan yang kita alami atau dengan melakukan kegiatan yang bisa membuat orang tersebut teralih dari pemberitaan Covid-19.

“Kalau kita fokus kepada kecemasan kita saja akhirnya makin cemas. Nah kalau kita alihkan, misalnya dengan mencari kegiatan-kegiatan positif supaya tidak cemas,” jelas Diana.

Diana juga menyarankan, jangan memfokuskan kepada hal-hal yang kiranya akan membangkitkan kecemasan. Ia mencontohkan tak usah fokus menonton pemberitaan-pemberitaan Covid-19 karena rentan menimbulkan cemas.

“Cari program lain yang tidak memberitakan tentang itu. Nah itu bagian dari pengalihan juga,” pungkas Diana.

Lebih lanjut Diana menjelaskan ada orang yang memang bisa menerima kecemasan, namun ada beberapa yang tidak. Orang-orang seperti itulah yang menurut Diana membutuhkan terapi oleh psikiater.

“Artinya kalau dia benar-benar terganggu, tidak bisa memanipulasi atau mengintervensi sendiri kecemasannya, mungkin perlu pengobatan,” jelas wanita yang hobby travelling ini.

Senada dengan Diana, Ade juga menyarankan kepada orang-orang yang merasakan gangguan ini untuk konseling ke psikiater. Menurutnya, hal ini diperlukan karena terkadang pikiran menguasai tubuh kita sehingga berimbas kepada fisik.

Foto: Google

Reporter: Dhea Mg. | Editor: Syena Meuthia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *