Post Concert Depression: Kehampaan yang Muncul Seusai Menonton Konser
Perubahan perasaan yang sangat drastis ketika menonton konser dan sesudahnya, menimbulkan banyaknya orang yang mengalami Post Concert Depression.
Aspirasionline.com – Euforia pertunjukan musik yang ditemani hiruk-pikuk penonton yang perhatiannya tertuju pada musisi di atas panggung merupakan satu hal yang sangat dinantikan. Hal ini pula yang membuat banyak orang sulit melupakan meriahnya suasana konser.
Sayangnya, kerap kali antusiasme menggebu-gebu yang dirasakan ketika menonton konser justru berubah menjadi kehampaan ketika konser tersebut berakhir. Kondisi kehampaan serta kesedihan yang timbul seusai menonton konser ini menandakan jika seseorang mengalami Post Concert Depression (PCD).
Dosen Psikologi Klinis dan Abnormal Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Wening Wihartati mengatakan bahwa kondisi PCD dapat terjadi akibat seseorang telah mengidolakan artis tertentu. Terutama penggemar yang mengidolakan artis luar negeri yang akhirnya berkesempatan menggelar konser di Indonesia.
Kesempatan yang belum tentu bisa kembali didapat dalam waktu dekat ini lantas menimbulkan perasaan bahagia yang membuncah.
“Nah itu membuat seseorang menjadi membuncah perasaannya, berharap akan ketemu artis idolanya yang belum tentu ketemu lima atau sepuluh tahun lagi. Selama ini hanya dalam layar-layar medsos dan layar-layar kaca,” jelas Wening kepada ASPIRASI pada Rabu, (5/7).
Suasana pasca pandemi memengaruhi tingkat semangat seseorang untuk menghadiri konser idola. Masa-masa terkurung seseorang yang hanya bisa mengonsumsi hiburan melalui layar tentu saja menimbulkan rasa semangat tersendiri ketika akhirnya konser dapat kembali digelar. Perasaan semangat dan kebahagian itu menimbulkan pengeluaran hormon dopamin, oksitosin, dan serotonin yang meningkat secara signifikan sebelum maupun selama konser berlangsung.
Sayangnya, hormon dopamin ini akan menurun secara drastis selepas konser berakhir ketika mereka dipaksa untuk kembali ke realita dan menjalani rutinitas seperti semula. Kondisi inilah yang membuat PCD menyerang banyak orang seusai mereka menonton konser idolanya.
“Itu yang menyebabkan seseorang yang menjadi murung, sedih, merasa tidak fokus karena artis idolanya atau konser yang dia tonton itu sudah selesai,” ungkap Wening melalui sambungan Zoom Meeting.
Relevansi PCD terhadap Kondisi Emosional Seseorang
Kondisi PCD memengaruhi suasana hati individu yang mengalaminya karena harus menerima fakta bahwa konser yang mereka nantikan telah usai. Akan tetapi, kondisi PCD sendiri tidak tergolong ke dalam kondisi yang membahayakan.
Wening menjelaskan, mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fifth Edition (DSM-5), PCD masih belum bisa dikategorikan sebagai gangguan mental. Perasaan hampa dan sedih seusai menonton konser ini masih bisa diatasi meski tanpa bantuan ahli.
“Biasanya ini terjadi hanya sekitar dua tiga hari setelah konser, karena merasakan semacam perasaan bahagia, kemudian tiba-tiba yang tadinya bahagia ketemu artis idolanya tiba-tiba merasa sedih karena dia kembali ke rutinitas, harus kehilangan suasana yang hingar-bingar konser,” jelasnya.
Akan tetapi, Wening menuturkan jika kondisi ini berlangsung lebih dari dua minggu, maka perlu penanganan seorang ahli psikiater atau psikolog. Seseorang yang terjebak terlalu lama dalam kondisi PCD akan mempengaruhi aktivitas sehari-harinya.
Dampak yang muncul ini seperti ketidakinginan untuk bergaul dengan teman-teman, mengabaikan tugas atau kewajibannya, emosi yang tidak stabil, dan bahkan bisa menjadi depresi dalam skala sedang hingga berat.
“Jadi dampaknya bisa bermacam-macam, bisa secara emosi, sosial, akademis, kemudian dari sisi keluarga juga bisa bermasalah,” tutur Wening.
Keadaan kejiwaan seseorang sebelum menonton konser juga berpengaruh terhadap tingkat bahaya PCD. Perasaan kehampaan ini menjadi rentan bagi penggemar yang sangat terobsesi kepada idolanya.
Penggemar yang merasa memiliki keterikatan emosi kepada idolanya akan mewujudkan impiannya untuk menonton konser. Sehingga ketika konser itu berakhir, ekspektasinya lenyap dan menciptakan kesedihan yang berkepanjangan.
Namun, jika penggemar tidak terlalu terobsesi dengan idolanya, maka akan berbeda sebab kesedihan yang mereka alami tidak akan berlaru-larut. Lebih lanjut, Wening mengatakan bahwa kondisi PCD memiliki tiga tahapan yaitu denial, anger, dan bargaining.
Proses denial dilalui dengan menolak kenyataan bahwa konser telah berlalu, sedangkan tahapan anger di mana ada kemarahan yang timbul ketika sadar bahwa dirinya harus kembali ke realita.
Kemudian yang terakhir ialah bargaining ketika akhirnya ia melakukan proses ‘tawar-menawar’ kepada dirinya agar mulai menyadari realitas dirinya. Tahapan mengenali dan menyadari realitas inilah yang Wening sebut penting.
“Menyadari realitas bahwa ini sudah selesai konsernya, saya harus kembali ke realitas bahwa artis idola saya itu sudah kembali ke negaranya, maka saya juga harus kembali ke tugas saya sehari-hari,” lugas Wening.
Mengatasi Kehampaan yang Dialami oleh Penggemar dan Idola
Perasaan kehampaan seusai konser tidak hanya dialami bagi penggemar saja, tetapi juga dialami oleh sang artis. Bagi keadaan sang artis, sindrom yang dialami tentu berbeda penyebutannya.
Menurut Wening, istilah syndrome superstar lebih tepat untuk menggambarkan kondisi sang artis. Kemurungan akibat sindrom ini terjadi setelah sang artis dielu-elukan banyak orang dalam konsernya, namun keadaan itu harus berhenti ketika konsernya berakhir.
“Itu tentunya memang ada dampaknya juga ke artis merasakan sedih atau merasakan kecewa karena sudah tidak bisa ketemu lagi fans-nya secara langsung,” sambung Wening.
Mengatasi kondisi kehampaan seusai konser lebih mudah dilakukan sang idol. Kehampaan itu bisa dialihkan dengan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penggemarnya, seperti jumpa fans dan live streaming di media sosial.
“Meskipun rasanya tentunya berbeda jika dengan konser ya karena tadi konser kan dipersiapkan dengan suasana yang spektakuler, dengan hiasan, dengan lampu-lampu yang luar biasa dan dengan ribuan fans yang ketemu secara langsung yang mengelu-elukan dirinya,” tambahnya.
Lain halnya dengan para penggemar, Wening menegaskan agar tidak berkepanjangan terjebak dalam kondisi PCD, mereka dapat mengalihkan dengan melakukan hal-hal positif yang diminati. Kegiatan-kegiatan tersebut bisa berupa membuat kolase foto dan juga terhubung dengan fans lainnya yang mengalami hal serupa.
Terkoneksi dengan orang-orang yang mengalami hal serupa menjadi penting untuk menghindari situasi terpojok dari orang-orang yang tidak bisa memahami perasaan individu yang mengalami PCD.
“Jadi perlu ada dukungan sesama fans, sesama orang-orang yang sama-sama mengidolakan artis tersebut. Jangan cerita sama orang-orang yang tidak suka bisa jadi malah jadi dia di-bully, dipojok-pojokan, dikatakan lebay karena dia tidak merasakan bagaimana nge-fans dengan seseorang,” ujar Wening menutup sesi wawancara hari itu.
Ilustrasi: Anggita Dwi.
Reporter: Anggita Dwi. | Editor: Alya Putri.