
Kerja Domestik dan Relas Kuasa Terhadap Perempuan
“Ketika perbedaan gender menimbulkan subordinasi, marginalisasi, stereotip, kekerasan, dan pembagian kerja terhadap perempuan”
Mengkritisi permasalahan perempuan dan ketidakadilan sosial selalu menjadi hal yang menarik untuk melahirkan setiap pemikiran baru, sebab masih ada batas dan pembeda bagi perempuan untuk memposisikan dirinya dalam masyarakat. Seperti stigma yang berkembang saat ini, bahwa perempuan berkewajiban untuk mendidik anak, mengurus urusan dapur, dan merawat kebersihan rumah tangga, atau bagian domestik. Pekerjaan dalam rumah tangga tersebut kemudian dianggap sebagai bentuk pengabdian tanpa hitung-hitungan ekonomi. Sebagian berpendapat urusan rumah tangga sebagai “kodrat perempuan” dan telah menjadi takdir Tuhan.
Padahal, posisi perempuan jelas tidak sesempit itu. Urusan mendidik anak, mengurus urusan dapur, dan merawat kebersihan rumah tangga, juga bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Sebagaimana dengan pedoman bahwa pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja dan dapat dipertukarkan, maka menunjukkan pembagian pekerjaan tidak bersifat mutlak dan bukan merupakan kodrat. Perbedaan laki-laki dan perempuan hanya terletak pada bagian fisik tertentu, seperti kelamin. Keadaan biologis yang dijadikan dasar perbedaan gender seperti ini juga tidak diterima oleh kaum feminis Marxis, yang menyatakan bahwa penindasan perempuan diakibatkan dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Maka, stigma yang muncul itu hanyalah hasil dari konstruksi sosial budaya, tradisi, dan diperkuat dengan adanya interpretasi agama tertentu, sehingga membuat keterlibatan perempuan dalam ranah publik menjadi kurang dan mengidentikan perempuan dengan segala hal yang berbau domestik.
Pada masyarakat kalangan bawah dan ekonomi rendah, seringkali perempuan harus membantu suaminya dengan bekerja di luar rumah. Umumnya, perempuan bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) atau menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) PRT. Jenis pekerjaan ini sesuai dengan pendidikan dan status sosial yang diembannya. Perempuan yang menjadi PRT dapat menimbulkan beban kerja ganda karena sepulangnya dari bekerja, perempuan masih dituntut untuk mengerjakan pekerjaan di rumahnya sendiri. Jika tidak, maka perempuan itu dianggap sebagai istri yang tidak baik.
Di masyarakat Indonesia terdapat nama lain untuk PRT. Seperti bibi, mbak, atau si mbok. Penyebutan ini mengesankan antara pekerja dengan majikan berlandaskan hubungan kekeluargaan. Dengan disebut anggota keluarga, maka hubungan kerja antara PRT dengan majikan menjadi tidak terukur, bahkan pada banyak kasus, terjadi eksploitasi tenaga, dan tidak sedikit yang berujung pada penyiksaan.
PRT dan TKW-PRT dalam Lintasan Sejarah
Untuk mengetahui keberadaan PRT dan TKW-PRT dapat ditelusuri jauh ke belakang. Salah satu literatur terbaik yang membahas hal ini ialah Laporan Indonesia Kepada Pelapor Khusus PBB Untuk Hak Asasi Migran Tahun 2002, yang bertajuk Buruh Migran Indonesia: Penyiksaan Sistematis di Dalam dan Luar Negeri. Laporan yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Solidaritas Perempuan tersebut mengatakan bahwa migrasi internal sebetulnya sudah ada sejak masa kolonial di awal abad 20. Kebijakan yang ada pada saat itu dibuat untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Tenaga kerja dari Jawa akan direkrut untuk bekerja pada perkebunan pemerintah kolonial di luar pulau Jawa.
Pada saat itu, oleh pemerintah kolonial, migrasi dinilai sebagai jawaban untuk mewujudkan kebijakannya guna menyediakan tenaga kerja di daerah yang jarang penduduk, dan mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa. Sebagaimana warisan masa lalu, pemikiran mengenai migrasi seperti itu tetap dilanggengkan hingga Indonesia menyatakan merdeka pada 1945, bahkan masih menjadi paham di era Reformasi saat ini. Perlu diingat bahwa pada tahun 1956-1960, pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya memformulasikan rencana Pembangunan Lima Tahun yang berfokus pada migrasi internal.
Membicarakan tentang kebijakan migrasi tentunya berkaitan dengan suatu pembangunan perekonomian. Di era Orde Baru, pemerintah memiliki ambisi pada pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Oleh karena itu, maka sektor pertanian dikorbankan dan yang terjadi adalah pengangguran massal. Melihat hal itu, pemerintah kemudian mengubah ambisi pembangunannya menjadi perekonomian beralaskan program tenaga kerja murah, dengan mengekspor tenaga kerja ke luar negeri. Tujuannya agar dilirik oleh penanam modal asing.
Selain itu terdapat kolerasi antara status ekonomi dengan status perempuan di masyarakat. Contohnya perempuan di daerah tertentu menjadi kehilangan pekerjaan akibat hutan yang di eksploitasi untuk tambang, sawit, dan pembangunan lainnya. Sebab segala macam kehidupan yang ada dan diperoleh dari hutan tersebut hilang, dan sebagai gantinya ada para investor yang bercokol dalam hutan tersebut. Contoh lainnya adalah akibat program swasembada pangan dan revolusi hijau, yang secara ekonomi dapat memiskinkan kaum perempuan. Hal ini yang memungkinkan terjadinya migrasi internal dan pengiriman buruh migran ke luar negeri.
Gender dan Beban Kerja
Sejatinya, perbedaan gender bukanlah masalah bila tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pekerjaan rumah tangga berakar pada paham gender yang mendasari perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut dan bersifat irrasional, sedangkan laki-laki bersifat rasional yang dapat mengambil keputusan dan menjadi pemimpin keluarga. Hal itu yang membuat perempuan dianggap tidak perlu untuk mengenyam pendidikan tinggi, karena dipercaya masa depannya akan berakhir ke dapur juga. Selain itu, adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat rajin dalam hal merawat dan memelihara rumah mengakibatkan perempuan memiliki kewajiban terhadap segala pekerjaan yang berkaitan dengan domestik.
Mansour Fakih, dalam buku Analisis Gender & Transformasi Sosial (1998), mencoba membahas munculnya keterlibatan perempuan dalam sektor domestik. Ia mengutip paham modernisasi yang menganggap perempuan sebagai masalah bagi perkembangan ekonomi modern, karena sikapnya yang irrasional. Sedangkan kaum radikal menganggap penindasan perempuan berasal dari laki-laki. Sebagaimana dalam budaya patriarki, laki-laki memiliki kekuasan superior dan privilege ekonomi.
Selain itu, apabila melihat pada era kapitalisme, penindasan perempuan nyatanya telah dilanggengkan melalui sebutan, sekali lagi meminjam pemikiran Mansour Fakih, “eksploitasi pulang ke rumah”. Sebutan itu adalah suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki dieksploitasi oleh industri agar produktif, dan perempuan dijadikan sebagai buruh murah. Maka upah yang diterima oleh buruh perempuan pun akan lebih rendah dibanding laki-laki.
Ketidakseragaman dalam pembagian upah tersebut dikarenakan dengan adanya pedoman bahwa pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan perempuan yang sifatnya sukarela dan tidak dinilai uang, merupakan pekerjaan informal, dan bahkan ada yang memandang sebagai bukan pekerjaan. Padahal apabila dilihat, PRT dan TKW-PRT merupakan pekerjaan yang menghabiskan waktu kerja yang cukup lama, dan tentunya menguras tenaga. Kemudian karena adanya “eksploitasi pulang ke rumah”, maka mengakibatkan jumlah buruh yang membutuhkan pekerjaan menjadi banyak, dan seolah-olah buruh yang memerlukan industry, bukan industri yang memerlukan buruh. Hal ini tentunya akan sangat menguntungkan bagi industri.
Dengan kata lain maka penindasan terhadap perempuan yang bersifat struktural dapat diselesaikan apabila ada perubahan struktur kelas, caranya adalah memutus hubungan dengan kapitalis internasional. Meminjam kata-kata Friedrich Engels, yang menyatakan bahwa revolusi bukanlah jaminan. Perempuan akan tetap memiliki tanggung jawab terhadap domestic, kecuali urusan rumah tangga diubah bentuknya menjadi industri sosial, dan urusan menjaga anak menjadi urusan publik. Hal ini dapat diwujudkan melalui industrialisasi.
Atas pemahaman seperti itu, maka tidak heran bila perempuan dengan cepat menjadi pekerja utama dalam PRT dan buruh migran. Berdasarkan Organisasi Buruh Internasional (ILO), satu dari 25 pekerja perempuan di dunia adalah pekerja rumah tangga, dengan 80% dari pekerja rumah tangga tersebut adalah perempuan. Dengan profil PRT yang menurut hasil Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2012 berusia 15 tahun keatas.
Pembagian kerja antara laki-laki dengan perempuan yang dikonstruksikan sedemikan rupa mengakibatkan terjadinya beban kerja ganda terhadap perempuan. Pada masyarakat yang berstatus ekonomi menengah atau tinggi, pekerjaan rumah tangga dapat dibebankan kepada PRT. Pekerja PRT ini kemudian menjadi korban bias gender dalam masyarakat. Karena, tidak seperti laki-laki, pekerja PRT sepulang dari bekerja tetap memiliki tanggungjawab untuk mengurus urusan domestik di rumahnya.
Persoalan lainnya dalam PRT dan TKW-PRT adalah terjadinya kekerasan. Berdasarkan data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala-PRT) memperlihatkan hingga September 2016 terdapat 217 kasus kekerasan terhadap PRT. Selain itu, sering terjadi ekspoitasi sebelum keberangkatan TKW-PRT ke luar negeri, dimana dalam pusat penungguannya perempuan mengalami pelecehan seksual, dan bahkan pemerkosaan. Dalam PRT dan TKW-PRT begitu rentan terjadinya penyiksaan secara fisik, psikologis, dan seksual. Sementara di lain pihak, pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi Konvensi ILO No. 189 yang memandatkan perlindungan PRT dengan standart hak asasi manusia.
Oleh karena itu penulis sekali lagi berpendapat bahwa perlu adanya wacana kritis untuk melihat perbedaan jenis kelamin dan gender antara laki-laki dan perempuan. Yang perlu ditekankan: feminisme lahir bukan agar perempuan untuk lebih berkuasa dari laki-laki, atau hanya sebuah tuntutan hak perempuan belaka. Feminisme lahir atas sistem dan struktur yang dibangun secara tidak adil, yang apabila dilihat bukan hanya berdampak terhadap perempuan saja, tetapi juga laki-laki. Persoalan mengenai pekerjaan rumah tangga terletak pada kerancuan pemikiran yang menempatkan perempuan sebagai pemegang kewajiban domestik mutlak. Pada dasarnya, terbentuknya perbedaan gender terjadi karena dibentuk, disosialisasikan, dikonstruksi secara kultural, dan diperkuat dengan adanya interpretasi agama dan negara. Mari mengkritisi, karena urusan domestik dapat dilakukan oleh siapa saja.
Oleh : Tri Ditrarini Saraswati
Mahasiswi Fakultas Hukum, Semester VI