Pemira Universitas Rasa FH

Opini

Aspirasionline.com − Hajat demokrasi tahunan untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua BEM melalui Pemilihan Raya (Pemira) telah tiba. Saat ini merupakan hari pertama pemungutan suara pemira universitas. Namun, ada yang berbeda dengan pelaksanaan pemira tahun ini. Walaupun pemira tahun ini masih dijalankan secara daring, terlihat perbedaan mencolok dalam komposisi pimpinan

Ketua Panitia Pelaksana (Panpel), Wakil Ketua Panitia Pengawas (Panwas), Ketua Panitia Kehormatan Penyelenggaran Pemira (PKPP), dan Ketua Dewan Yudisial Pemira (DYP) semuanya berasal dari FH. Tak terkecuali juga Ketua MPM—pihak yang menyelenggarakan rekrutmen terbuka pemira— yang berasal pula dari FH. Seiring berjalannya waktu, proses demokratisasi dalam kampus bela negara seakan berjalan stagnan dan tak lagi mendapatkan substansinya untuk mahasiswa.

Pemira seperti ajang tahunan yang tak lagi mendapatkan hati mahasiswa.  Jika ingin melihat ke belakang, pada pemira tahun lalu mahasiswa dihadapkan dengan dua pilihan: antara memilih sepasang pimpinan BEM atau kotak kosong. Namun sedikit berbeda pada penyelenggaraan pemira tahun ini, mahasiswa dihadapkan dengan dua pilihan pasangan calon (paslon).

Ataupun dua tahun lalu. Kedua paslon sama-sama berasal dari FH, dan juga Ketua Panpel yang berasal dari FH. Pemira tahun ini laksana dejavu atas pelaksanaan pemira dua tahun lalu. Ya, pemira universitas rasa FH.

Kritik atas apa yang diadakan dalam sebuah ‘pesta demokrasi’ adalah mengenai masalah keterwakilan mahasiswa (representatif). Yang harus diketahui adalah apa yang dilakukan oleh MPM sebagai pihak yang menyelenggarakan rekruitmen terbuka harus dikonstruksikan dari basis objek permasalahan yang faktual, aktual, dan melalui pedekatan secara empiris.

Namun, realitanya keterwakilan mahasiswa dalam kepanitiaan pemira pun tak terasa.  Apakah memang hanya mahasiswa FH yang berkompeten untuk menjadi pimpinan dalam kepanitiaan pemira? Tentu saja tidak.

Pemira Tak Lagi Representatif

Memang tak mudah mewujudkan mahasiswa yang melek akan politik. Salah satu tantangan terbesarnya ialah defisit representasi. Pihak pemenang yang dipilih mahasiswa untuk menduduki jabatan-jabatan publik belum banyak yang menjalankan fungsi representasinya. Pada akhirnya menimbulkan kekecewaan.

Salah satunya tak representatifnya komposisi identitas fakultas pada pimpinan kepanitiaan pemira. Bagaimana mungkin pemira mampu meningkatkan partisipasi mahasiswa, jika tak ada keterjangkauan panitia pemira yang heterogen ke akar rumput tiap fakultas untuk ikut serta dalam sosialisasi pemira?

Tak usah terus menyalahkan mahasiswa yang bersifat apolitis, jika pihak kepanitiaan pemira saja tak mampu menghadirkan representasi bagi mahasiswa.

Komposisi pimpinan pemira yang tidak representatif, akan menimbulkan sikap apolitis bagi mahasiswa. Mahasiswa pun tak mengenal kepanitiaan pemira sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk melakukan sosialisasi, karena hegemoni yang dilakukan pihak tertentu.

Dalam studi representasi politik, kerap hal di atas erat kaitannya dengan relasi imajiner- hanya terdapat dalam angan-angan. Relasi imajiner yang terbangun adalah karena mewakili sekelompok orang dalam suatu proses politik tanpa kehadiran orang atau kelompok yang diwakili tersebut.

Pandangan ini luput menggali tiga hal yakni, pertama, konteks di mana relasi tersebut terbangun. Kedua, interaksi antara wakil politik (pihak penyelenggara dan paslon) dan konstituen terbentang dalam kurun waktu lama tidak sebatas masa kampanye pemilu. Terakhir, pandangan tersebut abai dalam menakar kekuatan organisasi/kelompok konstituen yang memastikan ikatan tali mandat terjalin.

Singkatnya, representasi politik dalam relasi imajiner adalah merasa mewakili mahasiswa, namun sejatinya tak representatif dan hanya dalam angan-angan semata.

Dalam hal ketertarikan politik elektorat, jika pernyataan tentang sikap apolitis dan sikap acuh tak acuh mahasiswa memang berasal dari dalam diri mereka, dapat mudah untuk kita bantah. Bila mengamati perkembangan teknologi dan komunikasi, berbagai media cetak maupun media elektronik, menawarkan berbagai informasi mengenai perkembangan politik negara ini. Perbincangan dengan teman juga tidak menutup kemungkinan pembahasan mengenai politik terjadi.

Kepasifan mahasiswa dapat juga kita maklumi bila mengamati esensi serta tujuan pemira. Seperti Program kerja (proker) yang ditawarkan, tidak terlepas dari proker sebelumnya. Tidak jarang ditemui, proker yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman tetap diajukan. Pembuatan proker baru dihadirkan tanpa mengamati kebutuhan yang diperlukan mahasiswa.

Selain itu, jika kita berkaca mengapa pelaksanaan pemira tak lagi menggugah rasa keinginan mahasiswa untuk ikut serta, karena pemira tak lagi representatif. Terdapat satu hal yang paling penting untuk diawasi. Bagaimana penyelenggara dalam pemira kali ini hanya dikuasai oleh segelintir pihak dari golongan tertentu saja.

Pimpinan kepantiaan pemira berasal dari fakultas yang sama. Ini menjadi tanda buruknya kualitas sumber daya manusia UPNVJ yang hanya berkutat di fakultas itu-itu saja.

Esensi demokrasi yang sejati ialah melibatkan rakyat dalam kegiatan politik. Termasuk pelibatan secara utuh identitas dalam kepanitiaan pemira. Tak hanya didominasi oleh satu pihak tertentu. Kemunculan organisasi menjadi tolak ukur memperjuangkan kepentingan khalayak ramai.

Pada saat ini, demokrasi perwakilan dalam bentuk organisasi, digunakan untuk mengatasi kelemahan demokrasi langsung. Kekuasaan oleh sedikit mahasiswa menjadi alternatif terhadap banyaknya kebutuhan mahasiswa yang sulit diterapkan. Penggunaan sistem demokrasi perwakilan digambarkan sebagai representasi kebutuhan mahasiswa.

Namun, penggunaan demokrasi perwakilan sebagai kebutuhan mahasiswa, tak mampu dijalankan sepenuhnya oleh pihak penyelenggara. Lagi-lagi karena satu golongan identitas mendominasi kepanitiaan pemira.

Lalu siapa yang patut dipersalahkan atas tak representatifnya pelaksanaan pemira? Tentu saja MPM sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan pemira. MPM memiliki diskresi dalam forum penentuan pimpinan kepanitiaan untuk membuka partisipasi yang seluas-luasnya agar fakultas lain dapat menjadi pimpinan di kepanitiaan pemira. Tak usah muluk-muluk mempertanyakan sikap apolitis mahasiswa, namun MPM abai dengan tak memberikan pelibatan partisipasi yang luas terhadap fakultas lain untuk mengemban amanah di kepemimpinan pemira.

Yang nampak di permukaan dan akan dilihat adalah identitas personal pimpinan penyelenggara pemira. Sebagai penutup, menyitir syair Rendra, “Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana?”

Keterlibatan setiap manusia dalam politik tidak terlepas dari kepentingan yang dibawa. Kepentingan yang dibawa setiap manusia, dapat dilihat dari identitas ia saat menjabat sebagai kepanitiaan dalam perhelatan politik yang ada.

Ilustrasi: M. Faisal Reza.

Penulis: M. Faisal Reza, Mahasiswa Fakultas Hukum semester 7, UPNVJ.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *