Ketika Bullying Memasuki Ranah Pendidikan
Istilah bullying sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita, bukan? Di dalam kehidupan sehari-hari maupun di media sosial acap kali kita mendengar istilah ini. Lalu, apakah yang dimaksud dengan bullying?
Psikolog Andrew Mellor mendefinisikan bullying sebagai pengalaman yang terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain dan ia takut apabila perilaku buruk tersebut akan terjadi lagi sedangkan korban merasa tidak berdaya untuk mencegahnya. Lebih lanjut, Andrew Mellor menjelaskan tentang jenis-jenis bullying, yaitu bullying fisik, bullying verbal, bullying relasi sosial, dan bullying elektronik.
Bullying sendiri kerap terjadi di lingkungan pendidikan, khususnya sekolah. Para pelaku bullying menindas mereka yang dianggap lemah. Mereka menganggap bahwa dirinyalah yang paling kuat dan berkuasa. Namun, apakah alasan mereka melakukan bullying kepada orang lain? Apakah karena ingin mendapatkan pengakuan atau mencari perhatian ?
Bullying di Institusi Pendidikan
Pelaku bullying bisa dari golongan mana pun, baik anak-anak maupun orang dewasa. Bahkan anak-anak yang masih menginjak usia sekolah pun bisa menjadi pelaku bully. Hal ini dapat terjadi karena pelaku merasa dirinya berkuasa sehingga menindas orang lain, baik fisik maupun psikis. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak untuk menuntut ilmu justru menjadi ajang untuk menjukkan siapa yang paling kuat.
Menurut riset yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011 hinga 2014 terdapat 369 pengaduan terkait masalah bullying. Sekitar 25 persen total pengaduan masalah berasal dari bullying yang dilakukan di bidang penddikan, yaitu sebanyak 1.480 kasus. KPAI juga menyebutkan bahwa bentuk kekerasan di sekolah mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar.
Pada tahun 2015, Plan International Center for Research on Women (IRCW) melakukan riset terkait bullying di beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Sedikitnya terdapat 9.000 anak-anak sekolah yang terlibat dalam riset ini dalam rentang usia 12 hingga 17 tahun. Hasilnya, terdapat 84% anak di Indonesia mengalami bullying di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain, seperti Vietnam, Kamboja, Nepal, dan Pakistan.
Sekitar bulan Juli 2017 lalu, masih segar ingatan kita tentang video yang viral di media sosial. Video tersebut berisi aksi bullying yang dilakukan sejumlah siswi Sekolah Menengah Pertama di Thamrin City. Dalam video berdurasi sekitar satu menit itu, terlihat seorang siswi remaja yang dijambak oleh remaja perempuan lainnya dan disaksikan oleh rekannya. Bahkan, korban sempat dijambak rambutnya hingga kepalanya nyaris terbentur tembok.
Mirisnya, terdapat adegan korban bersalaman dan mencium tangan pelaku yang justru diabadikan siswa lainnya yang berada di lokasi dengan menggunakan kamera ponsel. Tak hanya itu, korban juga dipaksa mencium kaki salah satu siswa yang sempat menjambaknya.
Usut punya usut ternyata masalah ini terjadi karena keselahpahaman antara korban dengan pelaku. Padahal seharusnya peristiwa ini tidak perlu terjadi dan bisa dibicarakan secara baik-baik.
Memang benar masa remaja adalah masa yang labil akibat proses pencaian jati diri. Tetapi, tentu bullying tidak dibenarkan dalam proses itu. Seharusnya mereka coba berpikir ulang apakah hal yang mereka lakukan akan membawa dampak negatif bagi dirinya dan orang lain. Ataukah anak SMP pelaku bullying ini, terpengaruh tayangan sinetron di televisi yang kerap kali melakukan bullying kepada anak yang lemah?
Menelisik Kembali Kasus Bullying
Berdasarkan data persoalan bullying yang terjadi di lingkungan pendidikan, menurut saya kasus bullying seharusnya tidak perlu terjadi. Semua manusia adalah sama, tidak ada yang merasa lebih kuat dan berkuasa.
Pelaku bullying merasa dirinya adalah yang paling kuat sehingga bisa melakukan bullying terhadap orang yang lemah. Saya juga terheran-heran apakah keuntungan yang didapat pelaku ketika melakukan bullying. Kepuasankah?
Padahal dengan melakukan bullying, justru menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang lemah sehingga melakukan bullying terhadap orang lain untuk menunjukkan eksistensinya. Coba bayangkan jika pelaku berada pada posisi penderita bullying. Pasti ia jugaakan merasa terancam bukan?
Jika berbicara dampak bullying, tentu yang paling besar merasakan dampaknya adalah korban. Korban bullying berisiko mengalami masalah mental. Adapun masalah yang mungkin diderita adalah depresi, kegelisahan, rasa tidak aman saat di sekolah, dan penurunan prestasi akademis.
Bahkan dalam kasus yang cukup langka, anak-anak korban bullying mungkin akan menunjukkan sikap kekerasan. Tak hanya korban bullying yang merasakan dampak bullying, pelaku bullying juga dapat terkena dampaknya. Pelaku bullying memiliki kecerundungan untuk berperilaku kasar, melakukan kriminalitas, penggunaan narkoba, dan terlibat dalam pergaulan bebas.
Untuk mencegah bullying, kembali ke peran orangtua masing-masing. Berilah pengertian kepada anak apa itu bullying, menjalin komunikasi yang baik kepada anak, serta cara menumbuhkan percaya diri anak.
Dengan rasa percaya diri tinggi yang dimilki si anak maka anak akan tidak mudah diganggu bahkan ditindas. Suasana rumah yang tidak nyaman juga dapat memicu anak untuk melakukan bullying, seperti broken home dan orangtua sering bertengkar sehingga anak mencari perhatian dengan cara melakukan bullying kepada temannya sendiri. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis mengajak para pembaca untuk tidak lagi melakuakn bullying kepada orang lain. Percayalah bullying tidak akan membawa keuntungan. Justru kerugianlah yang didapat.
Oleh : Hasna Dyas Mayastika
, mahasiswi Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES), semester IV.