Kampanye di Institusi Pendidikan: Suarakan Gagasan atau Hanya Demi Eksistensi?

Opini

Aspirasionline.com — Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 280 Ayat 1 Huruf H.

Pasal tersebut berbunyi “Pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.”

Jika diamati, memang tidak ada frasa langsung yang menyatakan untuk memperbolehkan kampanye di kampus, tetapi kampus merupakan tempat pendidikan. Mengundang calon pemimpin ke kampus memang dapat dilakukan selagi mendapat izin dari pihak terkait dan tidak membawa atribut berlebihan. 

Hal ini tentu berdampak baik, khususnya dalam lingkungan akademik dimana ide atau gagasan bisa diutarakan dan bisa dikritisi dengan pasti karena lingkungan yang lebih mendukung. Dengan praktik seperti ini, kampanye bukan lagi disuarakan dengan cara yang mainstream, namun menjadi adu argumen dan gagasan lebih dalam lagi sehingga publik dapat menilai dengan akurat. 

Ketika kampanye dilaksanakan di lingkungan akademik, tentunya akan menjadi nilai plus jika ide atau gagasan yang diutarakan oleh calon pemimpin ini dapat ditinjau langsung oleh para akademisi. 

Kita tidak bisa pungkiri, nilai-nilai kritis kampus harus dijalankan dengan all out mengenai gagasan dan visi misi seorang pemimpin. Kritik-kritik tajam kepada calon penguasa ini dapat lebih maksimal ketika dijalankan di wilayah akademik, terutama kampus.

Selain itu, calon pemimpin yang hadir di lingkungan kampus dengan membeberkan visi, misi, serta gagasan dapat menguji mental bagi calon pemimpin. Publik dapat melihat mana yang gagap dan gagah dalam merespon kritik-kritik yang ada. 

Ketika calon itu sanggup berarti bisa dikatakan teruji, walaupun tidak seratus persen. Seperti yang kita tahu, politik itu sangatlah dinamis, selalu ada perubahan-perubahan yang terjadi walau hanya setetes. Serta yang gagap pun akan terlihat, apakah ia percaya diri dengan gagasannya atau sebatas retorika yang berkelit sehingga tidak ada hasil pada akhirnya. 

Dimana ada respon positif tentu ada respon negatif, ada pro dan ada kontra. Tidak semua pihak sepakat dengan keputusan itu, kita juga tidak bisa membuat semua orang satu pikiran. 

Orang-orang yang kontra terhadap keputusan tersebut pada dasarnya memiliki kekhawatiran tersendiri. Salah satu yang bersuara adalah Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, yang tidak memberikan izin kepada lembaga pendidikan dibawah Muhammadiyah untuk diadakannya kampanye. 

Ketidaksetujuan itu diungkapkannya dengan alasan bahwa kampanye di lingkungan pendidikan dapat berdampak buruk terhadap dinamika politik dan kegiatan akademik. Alasan tersebut sah-sah saja. 

Tapi yang paling penting adalah ketika kampanye dilakukan di lembaga pendidikan, dalam hal ini yang disorot adalah kampus, harus bertanggung jawab akan independensi lembaga. Lembaga pendidikan tidak boleh memihak tetapi orang-orang atas nama individu itu boleh dan tidak ada larangan. 

Ini yang harus dijamin, jangan hanya mengundang calon a, calon b, ternyata terlihat keberpihakan. Apalagi mengadakan kampanye bagi yang diundang atau bagi yang mengundang hanya untuk eksistensi saja. Itu percuma, apa bedanya dengan kampanye pada umumnya?

Jangan Hanya Untuk Eksistensi, tapi Berikan Gagasan untuk Transformasi

Seperti yang disebutkan di atas, calon pemimpin yang hadir di lingkungan akademik hanya untuk eksistensi. Jika itu terjadi, berarti tidak ada bedanya dengan kampanye pada umumnya yaitu hanya demi eksis dan formalitas sudah menjalankan kampanye. 

Yang mengundang dan yang diundang harus sama-sama fair dalam praktiknya. Pihak yang mengundang harus bisa menjadi wadah bagi untuk menampung ide-ide lalu mengkritisi ide-ide itu. Begitu pun yang diundang harus jelaskan rencana rinci A sampai Z apa gagasannya, apa idenya, lalu tanggapi dengan bijak kritikannya. 

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) beberapa waktu lalu menantang seluruh bakal calon presiden (bacapres) untuk mengadu gagasan dan ide di Universitas Indonesia (UI). 

Ini salah satu respon baik yang patut diapresiasi karena tidak semua bisa melakukan itu. 

Tapi satu hal yang harus digaris bawahi, yaitu jangan sampai undangan BEM UI hanya untuk eksistensi organisasinya saja atau bahkan hanya untuk eksistensi ketuanya saja. Ini menjadi PR baru, ibarat kata yaitu “aji mumpung”, ada kesempatan untuk buat kegiatan, lalu mengundang politisi hanya untuk eksistensi semata. 

Semoga saja ini tidak terjadi, undangan BEM UI kepada bacapres adalah benar-benar niat baik yang ingin dilakukan. Bacapres pun harus merespon ini dengan bijak, salah kata bisa jadi bumerang. 

Anies Baswedan menjadi bacapres pertama yang merespon dan ternyata sepakat. Namun perlu dilihat, apakah Anies merespon hanya untuk eksistensi saja? Apalagi beberapa waktu lalu, ketika ada kegiatan di FISIP UI, Anies berkesempatan hadir ke sekretariat BEM UI yang sayangnya, menurut pernyataan Anies, tidak ada mahasiswa di sana. 

Tentu banyak pihak yang menyorot Anies dan menganggap Anies cukup berani dengan tantangan BEM UI. Lagi dan lagi, kita harus mempertanyakan apakah hanya untuk eksistensi atau tidak. 

Undangan BEM UI tidak salah, respon Anies, Prabowo, dan Ganjar juga tidak salah. Eksistensi pun  juga tidak salah dan tidak bisa dipungkiri seorang bacapres memerlukan eksistensi. 

Namun, yang menjadi pertimbangan adalah jangan sampai putusan MK ini hanya dimanfaatkan untuk eksistensi tanpa gagasan dan ide yang berkualitas. Ide dan gagasan menjadi unsur penting bagi seorang pemimpin agar dipercaya oleh masyarakat. 

Putusan MK harus dimanfaatkan sebaik mungkin baik pihak lembaga atau orang yang berkampanye. Positif dan negatif akan terus ada dalam pengambilan kebijakan, tetapi bagaimana menyikapi dan merespon serta memanfaatkannya dengan baik harus bisa lebih diutamakan.  

 

Ilustrasi: rakyat.sulsel.co.

Penulis: Rifqy Alief, mahasiswa semester 5 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPNVJ.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *