Museum Macan: Menelusuri Perkembangan Karya Seni dari Masa ke Masa
Lahir dari seorang kolektor seni, Haryanto Adikusumo, Museum MACAN (Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara) menjadi museum pertama yang menampilkan koleksi karya seni modern dan kontemporer di Indonesia.
Aspirasionline.com – Museum MACAN resmi dibuka pada 4 November 2017 lalu. Dengan sembilan puluh karya seni yang ditampilkan, yang terdiri dari hasil karya seniman Indonesia sekitar 50%, dan setengahnya lagi dari seniman Asia, Eropa, dan Amerika. museum ini mengusung tema “Seni Berubah, Dunia Berubah” yang akan berlangsung hingga 18 Maret 2018 mendatang.
Museum ini didirikan oleh Yayasan Museum MACAN, yaitu sebuah yayasan nirlaba yang juga digagas oleh Haryanto Adikusumo. Museum ini berawal dari asumsi sang Kolektor seni, Haryanto Adikusumo yang ingin berbagi kecintaannya terhadap seni dengan mendirikan museum di Indonesia, “Kira-kira 10 tahun lalu beliau punya satu asumsi untuk berbagi kecintaannya terhadap seni dengan mendirikan museum di Indonesia, itu bibit dari museum macan yang kita lihat sekarang,” ujar Communication Officer Museum MACAN, Nina Hidayat ketika ditemui ASPIRASI di Museum Macan (14/12).
Museum ini memberikan akses bagi masyarakat untuk menilik secara langsung koleksi seni modern dan kontemporer dari Indonesia maupun internasional. Terletak di AKR Tower, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, bangunan seluas empat ribu meter persegi ini menampilkan karya seni dari tahun 1800-an hingga tahun 2000-an.
Saat menginjakkan kaki di lantai MM di mana museum ini berada, pengunjung dapat melihat ruang seni anak yang berada tepat di depan lift. Di dalam ruangan ini tampak instalasi bertajuk Taman Apung yang terbuat dari acrylic dan plexiglass dengan bermacam warna karya Entang Wiharso salah satu pelukis atau seniman terkenal Indonesia. Di ruangan ini, anak-anak dapat mencetak gambar dan menikmati seni, selain itu anak-anak akan mendapatkan panduan khusus mengenai museum juga penjelasan karya dalam bahasa yang mudah dimengerti saat memasuki ruang utama museum.
Nina menjelaskan bahwa tema Seni Berubuah, Dunia Berubah mengisahkan mengenai peristiwa sejarah Indonesia dan dunia serta bagaimana peristiwa itu mempengaruhi ekspresi artistik seorang seniman. “Makanya judulnya Seni Berubah, Dunia Berubah. Jadi itu tuh suatu hubungan timbal balik antara kesenian dan sejarah, sebenarnya itu yang mau ditampilkan dari tema yang dipilih, abis itu dipilih lukisan-lukisan yang merepresentasikan zamannya dan juga cocok untuk temanya, dari situlah ada 90 karya ini,” ujar Nina saat memandu reporter ASPIRASI.
Koleksi yang ditampilkan terbagi dalam empat segmen yaitu Bumi, Kampung Halaman, Manusia menjadi yang pertama, Kemerdekaan dan Setelahnya, Pergulatan Seputar Bentuk dan Isi, dan yang terakhir Racikan Global.
Bumi, Kampung Halaman, Manusia menjadi segmen pembuka pada museum ini, diberi judul demikian, karena lukisan-lukisan dan karya yang di buat pada zaman ini temanya memang mengenai bumi, kampung halaman, dan manusia. “Maksudnya tema yang dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari,” ujar Nina. Karya yang ditampilkan masih mencakup bahasan lingkungan sekitar, seperti karya Raden Saleh yang menggambarkan tentang pembangunan jalan raya pos yang pada saat itu dipimpin oleh Dandles, yang sekarang kita kenal sebagai jalan pantura.
Kemudian memasuki segmen kedua pada Museum Macan, segmen ini erat kaitannya dengan sejarah Indonesia dan mengacu kepada kemerdekaan Indonesia, sehingga lukisan dan karya yang terdapat pada segmen ini dibuat pada tahun sekitar 1945 dan setelahnya. Terdapat karya salah satu pelukis legendaris Indonesia Sudjojono yang melukiskan mengenai perang revolusi. “Di sebelah lukisan dia (Sudjojono, red) itu ada Bung Hatta, Syahrir, dan para pejuang revolusi yang memang waktu itu Sudjojono lihat sendiri,” terang Nina.
Pada bagian ketiga menjelaskan seputar pencarian identitas seniman yang terpengaruh oleh dunia luar, seperti karya Mark Rotkho seniman asal Amerika, yaitu sebuah lukisan abstrak yang dijajarkan dengan karya Srihadi Sudarsono seniman asal Indonesia yang juga melukiskan hal yang hampir sama. Nina menerangkan bahwa penempatan lukisan tersebut bersebelahan bukan tanpa alasan, melainkan untuk menyamaratakan seniman Indonesia dengan seniman luar negeri. “Kenapa ini dipajang dalam museum besebelahan, karena kita sebagai museum ingin menunjukkan sikap bahwa tidak ada hirarki di antara seniman Indonesia dengan internasional, kita ingin menjajarkan semua seniman berdasarkan karyanya bukan berdasarkan asalnya dari mana,” ujarnya.
Selain itu, sebelum memasuki bagian berikutnya, terdapat lukisan yang cukup unik dan sangat mencolok ketika seseorang melihatnya, yaitu lukisan karya seniman kelahiran Bandung, Arahmaiani, yang sekilas menampilkan bentuk alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan yang dikelilingi dengan tulisan Arab. Lukisan ini sempat membuat Arahmaiani mengungsi ke luar negeri selama 12 tahun dikarenakan adanya ancaman pembunuhan dari beberapa grup religius garis keras yang sempat menentang lukisan tersebut, karena dianggap tidak menghormati atau melecehkan agama Islam.
Nina menjelaskan bahwa pada dasarnya lukisan tersebut sebenarnya menggambarkan Lingga-Yoni yang adalah lambang kesuburan dan sebenarnya dapat dilihat pada candi-candi hindu dari zaman dahulu di Indonesia. “Cuman mungkin karena dia taruh ini di lukisan dan di taruh di ruang publik, ini semacam menimbulkan kesalahpahaman bahwa lukisan ini adalah lukisan porno padahal bukan gitu,” ujarnya. Lukisan ini pun sempat hilang dari peredaran dan tidak diketahui keberadaannya, namun berhasil ditemukan oleh pihak Museum Macan dari seorang kolektor.
Memasuki segmen terakhir, membahas mengenai kecenderungan seniman untuk membahas isu global yang berkisar pada tahun 2000-an hingga saat ini. “Jadi kan tadi kita mulai dengan karya dari tahun 1800-an makin kesini karyannya makin baru dan kenapa dinamakan racikan global karena di tahun 2000-an kecenderungan seniman-seniman itu untuk meresponi isu-isu yang terjadi secara global,” ujar Nina. “Jadi sudah gak begitu kelihatan lagi seniman ini dari mana, gayanya seperti apa, tapi lebih ke isu-isu yang mereka angkat ke dalam karya,” tambahnya.
Selain itu, sebelum melewati pintu keluar Museum MACAN, terlihat karya yang disebut-sebut khusus dibuat untuk Museum MACAN oleh Yukinori Yanagi, seniman asal Jepang. Karya seni bio-kinetik ini menampilkan instalasi berupa bendera-bendera anggota Association of South East Asia Nations (ASEAN) yang dibuat menggunakan pasir berwarna dan didalamnya terdapat sekitar lima ribu ekor semut hidup. “Dibuat dari pasir berwarna dan ada semut-semut yang hidup dan bergerak mengubah karya ini. Garis-garis ini dibuat oleh semut yang melambangkan pergerakan manusia di antara negara,” ujar Nina.
Salah satu pengunjung, Amira Zaranadia, beranggapan bahwa alur peristiwa yang dirancang sangat mengagumkan seperti menelusuri kembali sejarah. Dalam hal harga tiket masuk, perempuan lulusan Universitas Indonesia (UI) ini mengaku sepadan terhadap apa yang dia dapatkan. “Kalo tempat kaya gini di Singapura bianyanya 20 dollar atau 200 ribu. Ini cuman 50 ribu bisa nikmatin banyak karya seni,” ujarnya.
Pengunjung lainnya, Riri Fajriani mengutarakan hal serupa, “Lumayan sih bagus, jadi lebih tau seni. Harganya juga pas buat anak sekolah dari pada ke mall gak dapat ilmu mending ke sini dapat ilmu,” ucap pelajar SMK Farmasi Tunas Mandiri ini.
Tak hanya menjadi tempat belajar dan mengenal sejarah, tak sedikit pula yang datang ke Museum Macan hanya untuk sekadar melihat-lihat dan berfoto-foto untuk diposting di media sosialnya masing-masing. Pihak museum menanggapi hal tersebut sebagai suatu proses edukasi, yaitu dimulai dari kesenangan seseorang untuk melihat suatu visual. “Kalo dia memutuskan untuk foto berarti dia kan suka dengan visualnya, semoga terus berkembang gitu. Kami sadar betul kalau pembukaan museum ini di era media sosial, jadi tidak mungkin terlepas dari media sosial. Kita dikunjungi oleh 35.000 orang dalam enam atau tujuh minggu itu juga salah satunya dari bantuan media sosial,” pungkas Nina.
Reporter : Jovanka Mg. |Editor : Deden