Sunan Kuning: Dulu Tempat Prostitusi, Kini Menjadi Kampung Religi
Setelah 53 tahun berdiri, tempat prostitusi di Sunan Kuning diubah menjadi kampung tematik religi Sunan Kuning
Aspirasionline.com — Siang itu, tatkala berkunjung ke Semarang, terik matahari menyengat hingga ke ubun-ubun kepala. Kenyataan ini sekaligus membuyarkan ekspetasiku mengenai kota yang baru pertama kali kukunjungi ini. Aku merencanakan perjalanan menuju tempat lokalisasi Argorejo atau yang lebih dikenal dengan Sunan Kuning (SK). Untuk mencapai Argorejo dari Ngaliyan -tempatku menginap- hanya memakan sepuluh menit menggunakan sepeda motor. Sesampai di sana, aku langsung disuguhi pemandangan sebuah papan besar di depan gapura dengan tulisan ‘Wilayah Argorejo (SK) Bebas Dari Prostitusi’.
Maklum, SK dikenal dengan tempat lokalisasi legal di Semarang yang sudah ditutup pemerintah tertanggal 18 Oktober oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Dampak langsung dari penutupan tersebut adalah SK seolah-olah menjadi ‘kota mati’ yang mengingatkanku pada pulau Hashima di Jepang yang terkenal itu.
Tak ada kegiatan berarti. Hanya tersisa bangunan sisa kejayaan lokalisasi seperti warung-warung remang dengan dihiasi ornamen hiburan malam, ataupun rumah lokalisasi yang sekarang sudah banyak terpampang tulisan ‘dijual’ dan ‘dikontrakkan’. Setalah puas menjelajah kawasan lokalisasi SK, akhirnya aku merencanakan untuk bertemu dengan salah satu tokoh masyarakat yang saat ini menjabat sebagai Ketua RW 04 sekaligus Ketua Resosialisasi Agrejo Sunan Kuning.
“Sebentar ya, Mas. Bapak sedang ada tamu,” kata seorang perempuan ketika saya tiba di rumah tokoh masyarakat itu.
Dengan perawakan wajah yang tegas dan didukung kumis yang tebal, laki-laki berbaju koko dan bersarung ini tersenyum sembari menyalami sodoran tanganku ketika keluar dari kediamannya. Laki-laki itu bernama Suwandi. Sembari menyalakan kreteknya, Ia bercerita mengapa lokalisasi di Argorejo lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning.
Ia mengatakan bahwa ketika awal lokalisasi berdiri, lokasinya berdekatan dengan makam Sunan Kuning, sehingga masyarakat lebih familiar dengan sebutan lokalisasi Sunan Kuning.
Laki-laki kelahiran Wonogiri ini menjelaskan, sebenarnya lokalisasi Sunan Kuning terhitung sudah tiga kali mengalami upaya penutupan. Pertama pada tahun 1983, lokalisasi ini ditutup dan dipindahkan ke Pudak Payung. Namun karena tidak diterima oleh warga setempat, akhirnya lokalisasi ini kembali lagi ke wilayah Argorejo.
Pada masa huru-hara reformasi pun lokalisasi Sunan Kuning ikut terdampak getahnya. Kala itu, Wanita Pekerja Seksual (WPS) dipulangkan oleh pemkot Semarang dan diberi akomodasi berupa uang.
“Tapi mereka (WPS, red.) tidak kembali ke rumah masing-masing, tapi ada di kota-kota seperti di masjid, jalan raya, sehingga sementara waktu ditarik kembali ke wilayah lokalisasi sekarang,” kisah Suwandi mengingat kejadian saat itu.
Kampung Tematik Religi
Setelah 53 Tahun berdiri sejak 15 Agustus 1966, akhirnya pemkot Semarang pada 18 Oktober 2019 menutup aktifitas lokalisasi di Sunan Kuning untuk dijadikan kampung tematik religi. Namun hingga saat ini Suwandi mengaku belum mengetahui rencana penataan awal untuk menjadikan Sunan Kuning menjadi wisata religi.
Laki-laki berusia 68 tahun ini hanya mengetahui akan dibangun wisata kuliner dan tempat karaoke yang mendukung pengembangan wisata religi Sunan Kuning. Tak jauh dari tempat lokalisasi, terdapat makam ulama penyebar agama Islam di Semarang bernama Sunan Kuning, yang namanya saat ini masih identik dengan tempat ‘esek-esek’ di Semarang.
Makam Sunan Kuning inilah yang menjadi objek utama dalam pengembangan kampung religi. Terkait dengan pendirian kampung religi, Suwandi mengaku sempat terjadi penolakan dari warga sekitar untuk menjadikan tempat lokalisasi menjadi kampung religi.
“Saya tidak mau, karena saya menekankan lokalisasi Sunan Kuning tidak liar. Saya menekankan kepada pemerintah agar warga saya tidak sengsara dan menjadi kacung,” tegas Suwandi.
Suwandi menyayangkan sikap pemerintah yang langsung menutup tempat lokalisasi. Karena menurutnya ketika masih menjadi tempat lokalisasi, Suwandi mengklaim mampu menetaskan jumlah WPS dari 700 pada tahun 2014-2016, menjadi 400 WPS pada tahun ini.
Sebenarnya sebagai salah satu orang yang dipandang di wilayah lokalisasi Sunan Kuning, Suwandi tak mempersoalkan terkait dengan penutupan lokalisasi. Namun ia meminta kepada pemerintah untuk bersikap adil serta senantiasa bersikap bijaksana, sehingga warga yang berada di sekitaran lokalisasi menjadi tenteram dan tak menimbulkan gejolak.
Suwandi hanya berharap agar penutupan lokalisasi yang digaungkan pemerintah tidak menyusahkan warganya, sehingga ia meminta pemerintah untuk membantu warganya dengan wisata kuliner ataupun karaoke.
“Pemerintah harus bekerja sama dengan warga saya, sehingga warga saya tenang selama di wilayah ini,” saran Suwandi.
Siapa Gerangan Sunan Kuning?
Aku merasa penasaran sebenarnya siapa sosok Sunan Kuning itu. Sehingga Pemerintah menjadikan makamnya sebagai objek utama dalam kampung religi di wilayah Argorejo. Makam Sunan Kuning kurang lebih berjarak 500 meter dari keberadaan tempat lokalisasi.
Sebelum tiba di makam Sunan Kuning, aku mencoba untuk mengabadikan foto di wilayah lokalisasi Sunan Kuning dengan menggunakan gawai pribadi. Ketika sedang mengambil gambar, tiba-tiba ada seorang perempuan berteriak
“Eh foto-foto ya kamu,” tuding perempuan tersebut.
Tiba-tiba ada dua laki-laki datang menghampiri. Adrenalinku mulai terpacu. Cemas. Khawatir laki-laki itu akan mengeluarkan bogem mentahnya karena melihat aku sedang mengambil foto di sekitar lokalisasi. Ternyata laki-laki itu hanya menawarkan jasa karaoke di Sunan Kuning.
“Bos, karaoke yuk? 300 ribu untuk tiga jam. Udah sekalian dapat congyang (minuman keras khas Semarang, red),” tawarnya.
“Ndak mas, lain kali saja. Matur suwun ya,” tolakku seraya bergegas menancapkan gas motor ke Makam Sunan Kuning. Untung saja tak bonyok di tempat saat itu, pikirku dalam hati.
Ketika sampai di makam Sunan Kuning ternyata permukaan tanah tempat ini berada di wilayah yang lebih tinggi daripada pemukiman warga. Harus menaikki tangga untuk menuju makam tersebut. Dari atas lokasi makam ini, kita dapat melihat pemandangan kota Semarang hanya dengan satu tatapan telanjang. Serasa Monumen Nasional (Monas) di ibukota dengan kearifan Semarang.
Dari tatapan pertamaku terhadap makan Sunan Kuning, aku langsung melihat suasana makam seperti Klenteng tempat ibadah konghucu. Terdapat ornamen seperti dupa dan lampion bercorak Tionghoa yang menambah kesan ‘Kampung Cina’ di daerah Semarang. Di sekitar makam Sunan Kuning pun terdapat bingkai yang merupakan foto Wali Songo, salah satunya Sunan Gunung Jati.
Selain itu juga terdapat ornamen di gerbang belakang menyerupai klenteng dengan tulisan ‘makam Soen An Ing’ dengan perpaduan warna merah dan emas. Sehingga makin memperkokoh pandanganku bahwa aku sedang berada di ‘Kampung Cina’ Semarang.
Saat sudah sampai di depan makan Sunan Kuning, terdapat laki-laki dengan kaos polo garis-garis dan memakai udeng—ikat kepala khas Jawa Tengah. Ia menyapaku dan memberikan senyuman hangat seraya mempersilahkan duduk di depan pagar makam yang terkunci.
Laki-laki itu bernama Bambang, akrab disapa Ki Sentung. Ki Sentung merupakan juru kunci di Makam Sunan Kuning. Ia mengaku sebagai orang asli Semarang. Sedari kecil ia sudah tinggal dan menetap di wilayah Semarang, khususnya di sekitaran makam Sunan Kuning. Selagi aku memperkenalkan diri untuk menanyakan sejarah dari Sunan Kuning, raut muka Ki Sentung tampak sumringah. Dengan semangat ia mulai menceritakan sejarah dari Sunan Kuning.
Ki Sentung bercerita bahwa sebenarnya nama asli dari Sunan Kuning adalah Soen An Ing. Karena warga sekitar sulit menyebutkan nama Soen An Ing, maka penduduk setempat menyebutnya dengan nama Sunan Kuning.
Menurut cerita dari Ki Sugeng, Sunan Kuning merupakan asli dari Tionghoa yang menyebarkan agama Islam di Semarang. Sunan Kuning merupakan panglima perang yang ikut melawan VOC atas prakarsa dari Pangeran Samber Nyowo atau yang juga dikenal dengan Pangeran Mangkurat I.
Sunan Kuning mendapatkan gelar Raden Mas Garendi karena dijadikan panglima perang Pangeran Samber Nyowo. Menurut klaim dari Ki Sugeng, Sunan Kuning masih adik kandung dari Istri Sunan Gunung Jati bernama Putri Ong Tien yang merupakan orang Tionghoa juga.
Selain makam dari Sunan Kuning, Ki Sugeng juga menjelaskan terdapat makam sahabat Sunan Kuning yang juga ikut menyebarkan agama Islam di Semarang. Menurut Ki Sugeng, gerbang makam Sunan Kuning hanya dibuka saat hari Jumat kliwon, karena banyaknya masyarakat yang memotong kain kelambu makam untuk ngalap berkah.
“Kita (juru kunci, red.) selalu perhatikan pengunjung. Dengan alasan itu makam kita buka hanya saat Jumat Kliwon,” jelas Ki Sugeng dengan aksen Jawanya.
Ki Sugeng juga ikut mengomentari terkait dengan akan dibangunnya Kampung Religi di Sunan Kuning. Laki-laki yang sudah banyak keturunan tinggal di wilayah Sunan Kuning ini berharap agar pengembangan ekonomi di Sunan Kuning bisa lebih baik lagi.
“Karena kita juga bisa mengembangkan ekonomi di sini dan wilayah sekitarnya juga dapat berkembang seperti dengan berjualan,” tutupnya kepada ASPIRASI.
Reporter: M. Faisal Reza.| Editor: Firda Cynthia.