Ketika Islam dan Hukum Memandang Tindakan Persekusi

Nasional

Persekusi menjadi buah bibir beberapa hari ini, lalu bagaimana islam dan hukum memandang tindakan yang tergolong main hakim sendiri tersebut?

Aspirasionline.com – Beberapa hari lalu, istilah persekusi marak disebut setelah beredarnya sebuah video yang menayangkan sekelompok orang terduga simpatisan Front Pembela Islam (FPI) melakukan tindakan persekusi pada seorang remaja. Tindakan itu terjadi karena remaja tersebut menghina pimpinan FPI, Rizieq Syihab melalui akun facebooknya.

Adapun pengertian persekusi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah orang yang disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Persekusi dapat dikatakan tindakan main hakim sendiri. Didalamnya terdapat tindakan intimidasi, penculikan bahkan kekerasan. Dalam kasus tersebut, tindakan persekusi di lakukan atas nama bela ulama.

Agama Islam sendiri tidak membenarkan tindakan persekusi. “Persekusi tetap ditolak oleh Islam apapun jenis dan kesalahan yang dilakukan, karena Islam mengedepankan tata krama dan akhlak, walaupun seseorang itu salah tetapi dia tetap manusia. Kita tidak boleh main hakim sendiri, dan tidak boleh mengganggap kita yang paling benar juga tidak boleh emosi,” ujar Nizom Zaini selaku dosen Agama Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) saat ditemui ASPIRASI pada Selasa (13/6).

Nizom menambahkan bahwa Islam adalah agama yang santun, maka menyelesaikan masalah bukan dengan marah, tetapi menunjukkan kesalahan seseorang agar sadar. Jika Islam dihina atau dilecehkan, maka tetap harus membela dengan kesantunan, “tetap kita melakukan pembelaan dan jangan dibiarkan, tetapi prosesnya yang harus kita lihat, ajaran Islam mengatakan selesaikan dan tegakkan kebenaran itu dengan santun dan akal sehat,“ kata pria kelahiran tahun 1954 tersebut.

Nabi Muhammad SAW saja ingin dibela oleh malaikat, malaikat yang menawarkannya selesai perang uhud, tetapi ditolak dengan alasan tidak boleh menghancurkan orang. Contoh lainnya ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikan kepada orang jahiliyah (kaum quraisy), kalau diantara kalian ada yang terkena cambuk oleh aku (Muhammad) ketika perang, maka silahkan dibalas, kemudian dibuka baju beliau tetapi yang terkena cambuk justru memeluknya dan tidak memukul Muhammad, demikian Nizom mencontohkan.

Jika dalam pandangan Islam, tindakan persekusi tidak diperbolehkan apapun alasannya, maka hukum memiliki pandangan sendiri. Menurut M. Ali Zaidan, selaku dosen hukum pidana Fakultas Hukum (FH) UPNVJ, persekusi adalah tindakan menyerang seseorang atau suatu kelompok oleh kelompok lain, jadi tindakan ini tergolong tindak pidana yang dapat berupa baik kekerasan fisik atau verbal. Menyerang tubuh seseorang juga dikatakan sebagai bentuk penganiayaan, namun apabila dilakukan oleh dua orang atau lebih terhadap satu orang atau kelompok itu sudah bukan lagi penganiayaan tetapi pengeroyokkan. Ali mengatakan bahwa kasus kekerasan tersebut jelas diatur dalam pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Jika tindakan persekusi ini terus menerus dilakukan, Ali menjelaskan bahwa akan terjadi kekacauan dan akan berlaku hukum lama bahwa manusia menjadi serigala bagi manusia lain. Dalam konteks tersebut hukum memegang peranan penting, sebab bila tidak maka semua peradaban dapat hancur porak poranda.

Terjadinya persekusi ini dikarenakan adanya beberapa faktor. Pertama, perebutan hegemoni kekuasaan dimana kelompok lain akan menunjukkan solidaritasnya. Lalu lemahnya keteladanan dan lemahnya penegakkan hukum. Hukum dihadapi hegemoni kekuasaan dimana hukum tidak berdaya dalam melawan kekuasaan suatu kelompok yang kuat dalam menyerang kelompok lemah.

Agar tidak terjadi persekusi seperti kasus tersebut, pria yang memiliki hobi membaca itu mengungkapkan bahwa harus ada pemahaman dan kesadaran akan fungsi media sosial. “Media sosial itu berguna untuk memudahkan manusia, tapi terkadang pemanfaatannya disalahgunakan. Dengan terbukanya media sosial tanpa ada yang membatasi atau sensor, maka seakan-akan semua orang bebas bicara. Pengawasan terhadap penggunaan media sosial mengakibatkan siapapun yang melanggar akan mendapat peringatan atau berhadapan dengan hukum, maka teknologi harus diimbangi oleh kedewasaan setiap penggunanya,” tutup Ali.

Reporter : Ardhi Ridwansyah | Editor : Sasgia Rahmalia Chan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *