Menyoal Urgensi dan Wacana Tandingan Rambut Botak

Opini

Aspirasionline.com – Selama satu tahun kuliah di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, salah satu hal yang belum dapat saya pahami adalah apa sebetulnya urgensi dari kebijakan panjang rambut maksimal 2 CM di tengah, beserta 1 CM di sisi kanan dan kiri kepala alias botak, yang diterapkan kepada mahasiswa baru (maba) setiap tahunnya. Saya masih ingat betul, ketika menjadi mahasiswa baru dan menjalani Pengenalan Kehidupan Kampus (PKK), mata saya begitu disilaukan oleh pantulan cahaya matahari yang berasal dari ribuan maba laki-laki yang rambutnya habis ditebangi. Saya menjadi saksi bahwa ribuan maba laki-laki yang kelak akan jadi teman baru saya begitu tenggelam di dalam keseragaman, sulit mengenali wajah mereka secara satu-persatu, semua nampak sama, hingga tidak ada celah bagi saya untuk mengingat nama dan wajah mereka, sangat menyedihkan.

Jika boleh jujur, kebijakan wajib botak dikalangan maba itu tidak berdampak sistemik pada kehidupan saya, yang merupakan seorang perempuan. Kebijakan itu tidak mampu menyentuh diri saya secara langsung. Kecuali fakta bahwa memang saya hanya dirugikan sejauh perkara disilaukan oleh kepala maba yang morfologinyanya seperti lampu bohlam dan perkara sulit mengenali mereka secara spesifik. Berangkat dari titik inilah saya ingin menempatkan tulisan ini sebagai bentuk keresahan terhadap kebijakan wajib botak di kampus tercinta ini. Saya memang seorang perempuan yang kebal terhadap kebijakan itu, namun saya percaya bahwa memikirkan sesuatu kebijakan yang menggangu pikiran saya bukanlah tindak kriminal, sebagaimana saya percaya bahwa rambut panjang di kalangan lelaki juga bukanlah tindak kriminal.

Sebetulnya kebijakan wajib botak seperti di kampus UPNVJ, bukanlah barang baru di negeri ini. Sebabnya apabila kita mendeteksi wacana yang berkembang di kalangan masyarakat, ada semacam kelaziman yang terus dipelihara hingga saat ini bahwa laki-laki baik itu paling tidak berambut pendek. Seluar itu, berarti ketidaklaziman yang lalu diasosiasikan pada ekses negatif yang ujungnya adalah kriminalisme. Fenomena ini setidaknya dapat kita telusuri pada rezim Soeharto yang antipati sekali terhadap rambut gondrong. Dan salah satu literatur terbaik yang membahas persoalan tersebut adalah buku Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an yang merupakan ekstentifikasi dari penelitian skripsi Aria Wiratma Yudhistira ketika hendak meraih gelar sarjana Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia.

Aria dalam bukunya membahas bahwa rambut gondrong pada masa Soeharto diperlakukan layaknya penyakit berbahaya. Rambut gondrong dianggap mengikuti gaya kebarat-baratan yang merusak moral bangsa. Dengan alasan seperti itulah pernah dibentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorperagon). Tujuannya tidak lain membasmi tata cara pemeliharaan rambut yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dan apabila saat ini kita akrab dengan ulah Satuan Polisi Pamong Praja yang merazia pedagang kaki lima di pinggir jalan, maka kala itu aparat yang bersenjatakan gunting justru marak merazia pemuda-pemuda yang memiliki rambut gondrong, hasilnya adalah pemangkasan rambut secara besar-besaran. Parahnya lagi, instansi publik dan media massa juga kian meramaikan aksi ini. Tercatat bahwa instansi publik kala itu menolak melayani orang-orang yang berambut gondrong. Sementara itu media massa turut mengafirmasi bahwa gondrong adalah tindak kriminal dengan menyajikan berita yang berat sebelah dengan memuat vandalisme yang dilakukan oleh orang-orang gondrong.

Berdasarkan penelusuran historis semacam itulah kita untuk sementara dapat mengerti socio-origin dibalik antipati terhadap laki-laki yang memiliki rambut gondrong. Bahwa perkara ini semua hanyalah steorotipe dari penguasa kala itu yang menjadi mitos abadi yang mendarah dan mendaging dari generasi ke generasi. Dari yang mulanya sekadar steorotipe ciptaan Orde Baru kini bermetamorfosis menjadi kelaziman yang dianggap sudah benar dari sananya, sudah begitu adanya, lalu kita semua abai dalam melihatnya secara paripurna.

Padahal kelaziman itu sendiri pada akhirnya adalah hal yang ilutif dan berpotensi memproduksi kekerasan. Kelaziman hanya akan mengekslusi hal-hal yang tidak lazim, dalam skema seperti ini laki-laki gondrong akan diekslusi karena dianggap melanggar kelaziman oleh masyarakat meskipun laki-laki gondrong itu boleh jadi merupakan orang yang baik hati, rajin beribadah, taat bayar pajak, pintar matematika, dan rajin menabung. Dari situlah kelaziman berubah menjadi sekadar kezaliman belaka.

Kembali kepada kebijakan wajib botak di UPNVJ. Bagi saya kasusnya menjadi menarik mengingat bahwa kampus merupakan institusi pendidikan tinggi yang seharusnya terbuka pada proyek pencarian kebenaran yang hakiki. Dari sini kita dapat melemparkan pertanyaan sederhana kepada pihak kampus, tentang apa sesungguhnya yang menjadi rasison d’etre (alasan keberadaan) bagi UPNVJ sebagai institusi pendidikan? Bila pertanyaan sesederhana ini gagal dijawab secara jernih, maka turunannya adalah gagal menyediakan kebijakan pendidikan yang mencerdaskan. Sebabnya tidak ada korelasi bahkan penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa memiliki rambut lebih dari 2 CM dikalangan laki-laki berdampak pada berkurangnya intelegensia maupun lenyapnya kebaikan budi pekerti.

Sementara itu, apabila pihak kampus mengklaim bahwa kebijakan wajib botak adalah untuk mendisiplinkan mahasiswa, maka kita juga perlu membaca klaim itu secara kritis. Tentang bagaimana cara UPNVJ memandang para mahasiswanya dan manusia macam apa yang ingin dilahirkan dari rahim UPNVJ ketika sepersekian detik wisuda berakhir. Karena bagaimanapun adalah suatu kemustahilan menciptakan manusia ideal hanya dengan cara menggunduli kepala mahasiswa. Tentunya rambut yang digunduli bukanlah kausa bagi terciptanya manusia ideal. Ideal dalam arti yang berintegritas misalnya. Sebabnya proses pendisiplinan menuju yang ideal itu adalah maha proyek yang terus dilanggengkan sejak pertama kali menjadi bayi hingga kematian datang menjemput. Disaat yang bersamaan jika memang intergritas adalah tujuan, maka solusinya adalah minimal meciptakan mahasiswa yang mengetahui batas pengetahuannya.

Oleh karena itu, sebagai intitusi pendidikan tinggi yang menghormati nalar, UPNVJ harusnya mereformulasi kebijakan absurd semacam ini dan menggantinya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat dikalangan mahasiswa baru. Bentuk realisasinya seperti wajib tulis menulis opini mengenai fenomena sosial dan alam sepanjang dua halaman setiap hari misalnya. Dengan begitu yang dihasilkan tidak lagi sekadar pantulan cahaya dari kepala botak dan keseragaman penampilan, melainkan timbul kilau cahaya pengetahuan dari setiap mahasiswa baru dengan sudut pandang yang beragam.

Penulis: Tri Ditrarini Saraswati ||mahasiswa Fakultas Hukum, semester III, Univ. Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *