Televisi Sebagai Artikulasi Politik
Aspirasionline.com- Ketika penyedia informasi memobilisasi publik dalam menggiring opini
Dewasa ini, tema sentral dalam kajian media adalah mengenai intervensi kekuasan di ranah meja redaksi media. Televisi sebagai salah satu media, tentunya tidak luput dari kepentingan para pemilik televisi itu sendiri. Membicarakan hal tersebut menjadi sangat menarik dikarenakan televisi merupakan medium yang memiliki daya jangkau yang sangat luas.
Riset yang pernah dirilis oleh Nielsen Media Research di tahun 2013, televisi menjadi medium utama yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia (95%), disusul internet (33%), radio (20%), surat kabar (12%), tabloid (6%), dan majalah (5%). Dengan demikian, televisi memiliki kekuatan yang luar biasa untuk membentuk citra dan persepsi tertentu kepada masyarakat, termasuk menggiring opini tentang mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, hingga yang paling berbahaya adalah menyuguhkan acara yang menegaskan kepentingan politik para pemilik televisi.
Direktur Remotivi Muhammad Heychael mengatakan bahwa saat ini acara stasiun televisi banyak yang tidak berkualitas. “Terlebih dalam pemberitaan yang sifatnya propaganda,” ujarnya saat dihubungi oleh ASPIRASI, Sabtu (21/5) lalu. Remotivi sendiri adalah sebuah lembaga studi dan pemantauan media yang bergerak di ranah penelitian, advokasi, dan penerbitan media.
Pria yang mengajar di Universitas Multimedia Nusantara itu menurutkan stasiun televisi saat ini memang masih menjadi perbincangan publik. Isu tentang stasiun pertelevisian yang seakan menjadi kendaraan politik turut mewarnai layar kaca. “Terutama kalau kita bicara berita, sejak 2014 hingga saat ini belum ada perubahan yang berarti,” tambahnya. Mengambil contoh kecil semisal penayangan Mars Perindo di MNC Televisi. Ini membuat sebagian anak-anak menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan, katanya.
Jika menengok kembali ke belakang, beberapa stasiun televisi pun pernah mengalami kasus serupa, dalam hal ini untuk kepentingan politik. Hal tersebut bertujuan untuk menggiring opini masyarakat. Terlepas fungsi utama stasiun televisi yang sejatinya sebagai lembaga representasi publik, yang berarti melayani kepentingan publik. “Namun pada prakteknya lebih banyak melayani kepentingan pemilik,” tegasnya. Televisi yang menjadi kendaraan politik sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap frekuensi publik.
Berbicara mengenai aturan, Muhammad Heychael menegaskan jika memang terdapat ketidaksinkronan antara Undang-Undang Penyiaran dengan Undang-Undang Pemilu membuat opini masyarakat seakan tergiring. “Jadi harus sinkron apa yang dimaksud dengan kampanye politik antara dua regulasi itu,” tutur pria kelahiran Karawang, Jawa Barat, tersebut.
Semisal dalam Undang-Undang Pemilu, kampanye didefinisikan sebagai penyampaian visi misi. Sementara selama ini iklan yang ditunggangi oleh kepentingan politik tidak menyampaikan visi misi, sehingga jika suatu saat para pemilik media ditegur melalui Undang-Undang Pemilu akan mudah berkelit, jelas pria berkacamata tersebut.
Pria yang pernah mengenyam pendidikan S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini memberikan solusi dengan membangun kesadaran masing-masing masyarakat. Selain itu, keterlibatan lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah, dan mahasiswa juga dinilai sangat membantu dalam melahirkan acara stasiun televisi yang tidak terikat dengan aturan sang pemilik dan jauh dari campur tangan para penguasa. Keterlibatan LSM, pemerintah, dan mahasiswa juga merupakan sebagai kelompok penekan, seperti Remotivi contohnya. “Di mana dengan adanya kelompok penekan maka secara perlahan akan melahirkan acara stasiun televisi yang lebih berkualitas. Semakin banyak kelompok penekan, maka semakin banyak kita berpikir untuk membuat stasiun televisi yang berkualitas,” tutupnya.
Reporter : Triditrarini S. Mg. |Editor : Haris Prabowo