Di Pundak Jokowi, Ada Harapan Toleransi

Nasional

Aspirasionline.com – Menjelang siang di rumahnya di Depok, Ahmad Suaedy bergegas ke TPS terdekat. Dia mengatakan tidak ada keraguan saat membuka kertas suara dan mencoblos capres pilihannya. Ketika sorenya Suaedy melihat hasil sejumlah hitung cepat, kata dia, “Tidak mengejutkan, meski sempat ada kekhawatiran.”

Kemarin, Indonesia sudah memilih. Dalam 7 hasil hitung cepat, capres-cawapres nomor urut 2 Jokowi-JK disebut unggul 4-7 persen. Sementara capres-cawapres nomor urut 1 Prabowo-Hatta disebut unggul 1-3 persen dalam 3 hitung cepat. Meski ini bukan hasil resmi KPU, sejumlah pihak menilai hasilnya tidak akan jauh berbeda.

Kalaulah Joko Widodo yang jadi presiden, kata Suaedy, dia punya banyak pekerjaan rumah. “Ada agenda yang cukup besar kalau Jokowi-JK ingin menyelesaikan masalah,” kata Suaedy saat berbincang dalam program “Agama dan Masyarakat” KBR, Rabu (9/7) malam.

Agenda itu ada tiga yakni; Pertama, selama ini pemerintah tidak berpihak pada korban. Kedua, adanya aturan yang memungkinkan pemerintah punya alasan bertindak diskriminatif, misalnya PNPS 65, Bakorpakem, serta agama yang diakui atau tidak. Ketiga, aparatus penegak hukum seperti polisi, hakim, dan jaksa seperti di bawah tekanan kelompok intoleran.

“Saya kira bukan hanya gereja, tapi seluruh bangsa Indonesia punya harapan kepada pemimpin baru ini,” kata Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia, Gomar Sultom, narasumber lainnya dalam perbincangan tersebut.

Gomar mengatakan bahwa Jokowi-JK mencantumkan masalah kebhinekaan dalam dokumen visi-misinya. “Kalau mereka melihat ini sebagai sebuah problem, saya yakin mereka mengatasi masalah ini,” kata Gomar.
Gomar sendiri merasakan Jokowi berkomitmen soal ini. Gomar bercerita, “Memang selama Jokowi-Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur, kita tidak melihat sepak terjang FPI. Itu salah satu buah yang saya lihat.”

“Saya sangat optimis. Bahkan Papua pun menurut saya akan selesai di bawah Pak Jokowi,” tambah Gomar. Dan pasangannya, Jusuf Kalla, Gomar nilai berhasil menyelesaikan konflik di Aceh.

Kata Suaedy, Jokowi memang punya pendekatan baru dalam menyelesaikan konflik. Jokowi berkomunikasi dengan korban dan pelaku dengan persuasi.

Di samping pekerjaan toleransi yang menumpuk, Jokowi juga akan menghadapi penolakan. Kata Suaedy, penolakan akan muncul dari kelompok-kelompok yang selama ini keras dan mengkafirkan Jokowi, serta partai yang tidak segaris. “Dua, tiga, enam bulan masih ada reaksi. Masih ada gejolak,” kata Suaedy.

“Isu agama akan selalu dibawa,” tambah Suaedy.

Menghapus intoleransi adalah berarti mundur ke belakang dan mengurainya dari akar masalah. Gomar percaya akar radikalisme adalah kemiskinan dan pendidikan. “Kalau mengatasi kelompok radikal ini, tanpa mengatasi kemiskinan dan pendidikan, tidak akan berhasil,” kata Gomar.

Di samping itu, kalau Jokowi jadi presiden pun, itu tidak menghapus kelompok ekstrem kanan. Kelompok itu masih ada di parlemen dan lembaga akademik. “Kemenangan ini tidak serta merta mematahkan agenda (mereka) yang sudah tersusun,” kata Gomar.

Sementara masyarakat sendiri harus menempatkan intoleransi dalam kaca mata yang tepat. Kata Gomar, “tidak ada persoalan antara Kristen-Islam di Indonesia. Yang persoalan adalah ada kelompok tertentu yang intoleran.”

Gomar menambahkan, “Baik Kristen maupun Islam ada dalam posisi yang sama, sedang berhadapan dengan kelompok yang tidak setuju dengan Pancasila dan keberagaman.”

Gomar memimpikan presiden nanti bisa ada di garda terdepan. Sementara Suaedy membayangkan pemerintahan baru akan berani melawan kelompok intoleran.

Dan harapan itu akan dibebankan di pundak pemimpin baru. Jokowi atau Prabowo, siapa pun itu yang disebutkan pada 22 Juli oleh KPU.

Sumber : KBR68H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *