Amnesty International Indonesia Soroti Kekerasan Aparat dalam Konferensi menjelang Hari HAM

CategoriesNasionalTagged , ,

Amnesty International Indonesia menggelar konferensi pers menjelang Hari HAM dengan laporan khusus pada kekerasan aparat kepolisian dalam aksi peringatan darurat yang terjadi pada Agustus lalu.

Aspirasionline.com — Dalam rangka menyambut peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM), Amnesty International Indonesia gelar konferensi pers bertajuk “Catatan Pelanggaran HAM 2024: Kekerasan Aparat Selama Aksi #PeringatanDarurat” pada Senin, (9/12).

Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty International, mengawali pemaparannya dengan menyampaikan temuan umum yang didapatkan oleh Amnesty Internasiona Indonesia sepanjang 2024.

Terdapat 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian di seluruh Indonesia sepanjang Januari – November 2024.

Kasus-kasus kekerasan ini meliputi pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi dan kekerasan fisik, penggunaan gas air mata dan meriam air yang tidak sesuai prosedur, penahanan tanpa komunikasi, pembubaran diskusi, dan penghilangan sementara.

Usman mengungkapkan bahwa sepanjangan 2024, Amnesty dengan lembaga lain seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), KontraS, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan Imparsial mencatat dan memantau kasus-kasus kekerasan Polisi.

Lebih lanjut, Usman menyebut bukan hanya dari kasus kekerasan polisi yang mencerminkan perilaku perseorangan, tetapi juga termasuk kekerasan yang digolongkan sebagai pelanggaran HAM.

“Dalam pengamatan kami, berkali-kali polisi terlalu cepat menggunakan kekerasan, baik dalam menangani masalah-masalah di dalam masyarakat maupun terutama di dalam menangani unjuk rasa, bahkan unjuk rasa damai. Ketika mahasiswa turun ke jalan, memprotes kebijakan negara,” jelas Usman dalam konferensi persnya pada Senin, (9/12).

Kekerasan Aparat Terus Berulang, Reformasi Institusional Perlu Dilakukan

Usman mengungkap kejadian kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian menimbulkan pertanyaan mendalam tentang penyebab kekerasan yang terus berulang. Hal ini diungkapkannya pada Konferensi yang digelar di Kantor Amnesty, di kawasan Cikini, Jakarta.

Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah kebijakan yang diterapkan di kepolisian, yang menyebabkan kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aparat secara individu, tetapi sebagai bagian dari kebijakan yang lebih luas.

“Dalam konteks ini, kita ingin melihat seberapa jauh sebenarnya kekerasan itu berulang dan mengapa kekerasan itu berulang di tengah minimnya akuntabilitas terhadap peristiwa-peristiwa pelanggaran kepolisian,” ujarnya lebih lanjut.

Sejalan dengan hal itu, Bivitri Susanti, akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI), mendukung desakan penggunaan hak angket secara masif sebagai langkah untuk menunjukkan bahwa upaya politik formal telah dilakukan.

Selain itu, langkah yang harus dilakukan saat ini, menurutnya, adalah mendorong upaya perbaikan yang sifatnya membongkar.

“Yang sekarang harus kita lakukan adalah betul-betul mendorong upaya-upaya politik tadi untuk melakukan perbaikan yang sifatnya membongkar,” terang Bivitri yang menghadiri secara langsung dalam kesempatan yang sama pada Senin, (9/12).

Ia juga menambahkan, reformasi institusional harus menjadi prioritas untuk membongkar dan mengevaluasi kewenangan aparat secara menyeluruh demi menciptakan perubahan yang nyata.

Sementara itu, Gufron Mabruri, dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), menyoroti lemahnya kontrol pengawasan dan akuntabilitas sebagai penyebab berulangnya kekerasan oleh polisi.

Penanganan komprehensif diperlukan, termasuk evaluasi kebijakan, peningkatan keterampilan, dan pemeriksaan psikologis.

“Masalah kontrol pengawasan yang lemah, termasuk akuntabilitas, tentu ada banyak layer persoalan yang bisa kita kritisi, cermati, dan dorong untuk diperbaiki,” tegas Gufron melalui platform Zoom pada Senin, (9/12).

Kilas Balik Represi Brutal di Aksi Kawal Putusan MK: Memicu Pelanggaran HAM dan Pemberangusan Kebebasan Pers

Fokus Amnesty dalam berbagai tindak kekerasan aparat juga menyoroti kasus kekerasan aparat yang juga terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Usman memaparkan temuan khusus terkait aksi peringatan darurat yang berlangsung pada 22-29 Agustus 2024 di 14 kota, yang menyebabkan 579 warga sipil menjadi korban kekerasan polisi.

“Peristiwa-peristiwa yang di lapangan bukanlah peristiwa di mana aparat polisi melakukan tindakan itu sendiri-sendiri atau melanggar perintah atasan. Melainkan sebuah kebijakan kepolisian dan karena hal itu sampai hari ini tidak ada yang mendapat penghukuman,” jelas Usman.

Aksi yang dimaksud merupakan demonstrasi yang terjadi pada 22 Agustus 2024 lalu, ribuan massa turun ke jalan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia untuk memprotes penolakan dan perubahan putusan Mahkamah Konstitusi atas revisi Undang-Undang Pilkada.

Berdasarkan catatan pemantauan reporter ASPIRASI saat itu, suasana memanas ketika salah satu pagar gedung DPR berhasil dirobohkan oleh massa sekitar pukul 16.00 WIB, mendorong peserta aksi masuk ke pelataran.

Aksi demonstrasi yang berujung pada kekerasan dan penangkapan aparat terhadap peserta aksi diantaranya menimpa Delpedro Marhaen Rismansyah, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, dan Muhammad Iqbal, Asisten LBH Jakarta.

Mereka ditangkap setelah menyaksikan aparat melakukan pemukulan terhadap beberapa peserta aksi lainnya.

“Nggak lama berselang (setelah pagar roboh) ada perlawanan dari para aparat, perlawanannya cukup mengerikan maksudnya dikejar-kejar, kalau ada yang jatuh sepenglihatan saya dipukuli,” ungkap Muhammad Iqbal kepada ASPIRASI pada Selasa, (17/9).

Namun, saat situasi mulai mereda dan mereka berusaha keluar, Delpedro dan Iqbal justru ditarik oleh polisi dan dituduh melakukan kekerasan.

“Saat itu saya dipukuli, dan Iqbal berusaha membantu saya, tetapi dia juga ditangkap dan dipukuli,” jelas Delpedro saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Sabtu, (21/9).

Setelah ditangkap, keduanya terus mengalami kekerasan fisik selama perjalanan menuju pos pengamanan di dalam gedung DPR. Di sana, mereka hanya di foto dan didata, tanpa mendapatkan penanganan medis yang memadai.

Akibat dari peristiwa ini, keduanya mengalami luka yang cukup serius. Delpedro mendapat memar di bagian mata dan benjol di beberapa bagian kepala, sementara Iqbal mengalami luka di bagian hidung dan kepala.

Kekerasan aparat dalam peristiwa mencekam itu juga menyasar sejumlah jurnalis yang bertugas.

Dalam wawancara ASPIRASI bersama Adil Al Hasan, Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta, mengonfirmasi bahwa hingga 24 Agustus 2024, AJI telah menerima 11 laporan kekerasan terhadap jurnalis yang meliput aksi tersebut.

Laporan tersebut mencakup kasus kekerasan fisik, intimidasi, serta penghalangan terhadap kerja jurnalistik.

“Wartawan Tempo tidak hanya diancam verbal tetapi ditendang dari sisi kanan, kiri, atas, bawah dihajar gitu ya, kemudian dibawa ke pos DPR disana diinterogasi bahkan dipermalukan secara martabatnya, dan jurnalis lain juga mengalami hal yang serupa,” ungkap Adil saat diwawancarai ASPIRASI melalui Google Meet pada Sabtu, (24/8).

Dalam kasus ini AJI telah mengambil berbagai langkah advokasi untuk menangani kekerasan terhadap jurnalis selama aksi demonstrasi.

Selain mengumpulkan dan mendokumentasikan laporan dari para korban, AJI juga mendorong media yang jurnalisnya mengalami kekerasan untuk melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang.

“Kita mendorong semua media yang jurnalisnya mendapat kekerasan dari polisi untuk mendampingi si jurnalis dan juga melaporkan peristiwa ini, karena selain melanggar undang-undang pers, ini juga termasuk pidana, tindakan penganiayaan, pengeroyokan, dan lain-lain,” tambahnya.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) turut memberikan tanggapan tegas terkait pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Menurut Muhammad Isnur, Ketua Umum YLBHI, tindakan aparat tersebut jelas melanggar banyak undang-undang.

“Jelas bahwa kepolisian melanggar banyak sekali undang-undang. Pertama, hak kemerdekaan berpendapat untuk umum dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, dan juga banyak undang-undang hak asasi manusia lainnya, (seperti) ICCPR dan lain-lain,” tegas Muhammad Isnur kepada ASPIRASI pada Jumat, (26/8).

Upaya advokasi terus dilakukan oleh YLBHI untuk menangani kasus ini. Namun, YLBHI menghadapi tantangan yang signifikan. Pasalnya, pengadvokasian ini sudah dilakukan sejak kekerasan yang terjadi pada 2019 silam, tetapi hingga kini belum ada tanggapan dari pihak kepolisian dan justru terkesan melindungi para pelaku.

“Dari kekerasan di 2019, 2020, juga melakukan advokasi, ya, rekap laporan. Tetapi, nampaknya kepolisian itu tidak memiliki kesadaran dan cenderung melindungi para pelakunya,” lanjutnya.

Di sisi yang sama, Zaki Yamani, Koordinator Kampanye Amnesty International, juga menyatakan bahwa pemerintah hingga kini belum merespons pelanggaran HAM ini. Pemerintah justru menyangkal tindakan berlebihan aparat dan berdalih bahwa represifitas sebagai tanggapan terhadap kerusuhan peserta aksi.

“Sejauh yang kami pantau, belum ada respon. Mereka masih denial dan masih defensif, kan, bahwa polisi melakukan itu karena masanya rusuh, dan lain-lain,” terang Zaki Yamani kepada reporter ASPIRASI pada Jumat, (13/9).

 

Reporter: Safira |Editor: Natasya Oktavia.

Foto: youtube/Amnesty International Indonesia

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *