WMJ 2024 suarakan 10 poin tuntutan untuk mendesak penghapusan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
Aspirasionline.com – Bertepatan dengan peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Women’s March Jakarta (WMJ) 2024 diselenggarakan pada Sabtu, (7/12) dengan menyuarakan 10 poin tuntutan untuk mendesak tercapainya negara yang lebih inklusif.
Rute kegiatan aksi dimulai dari Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan menyusuri jalan menuju titik akhir di Taman Aspirasi, Jakarta Pusat.
Menurut pantauan reporter ASPIRASI, aksi dimulai pukul 07.30 WIB dengan seruan “Akhiri Diskriminasi, Lawan Patriarki” yang sesekali nyaring digaungkan. Antusiasme massa berpendar jelas meskipun hujan turun di tengah aksi berlangsung.
Walaupun lekat dengan gerakan perempuan, Hani Arkan, siswa laki-laki dari salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta juga turut terlibat dalam barisan. Arkan mengungkapkan bahwa kehadirannya ditujukan untuk menyuarakan keresahannya atas dominasi laki-laki.
“Saya tuh muak, kayak kenapa dunia ini berpusat sama laki-laki doang? Padahal laki-laki juga punya pikiran. Mereka punya akal buat memikirkan kalau misalnya melakukan suatu tindak jahat itu nggak baik,” tegas Arkan kepada ASPIRASI pada Sabtu, (7/12).
Arkan turut berkomentar bahwa dirinya kembali hadir dalam aksi WMJ tahun ini untuk mewakili teman-teman perempuannya yang tidak dapat turut hadir di hari itu.
“Saya ingin menyuarakan ke orang-orang dan mewakili teman-teman perempuan saya sih,” tambahnya.
Selain dihadiri oleh masyarakat dengan ragam latar belakang berbeda, aksi merebut ruang publik ini juga turut diikuti oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Greenpeace Indonesia, Amnesty International Indonesia, dan berbagai LSM yang bergerak di bidang lingkungan, perempuan, anak, dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Dinda, salah seorang penyelenggara WMJ 2024 mengungkapkan 10 poin tuntutan yang dibawa merupakan permasalahan berbagai organisasi dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Salah satunya Jakarta Feminist yang menjadi tuan rumah juga tahun ini. Jakarta Feminist itu mencatat ada 100 kurang lebih, 100 kasus femisida di tahun ini yang tidak teratasi dengan baik,” ujar Dinda kepada ASPIRASI pada Sabtu, (7/12).
Disorot dan Dikecam, Femisida Menjadi Puncak Kekerasan Berbasis Gender
Femisida, suatu istilah yang menjelaskan pembunuhan terhadap perempuan karena korban adalah perempuan merupakan bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrim.
Seperti yang disampaikan oleh Ally Anzi, selaku Communication Officer Jakarta Feminist, mengungkapkan bahwa femisida adalah bentuk paling tinggi dari budaya perkosaan.
“Dari pelecehan, habis itu kekerasan seksual, nah, yang paling tinggi itu adalah femisida. Jadi, semua ini sebetulnya sambung-menyambung, sedikit-sedikit lama-lama menjadi femisida,” ungkap Ally kepada ASPIRASI pada Sabtu, (7/12).
Dengan banyaknya kasus femisida yang berasal dari kekerasan dalam hubungan romansa, Ally melihat penting bagi masyarakat untuk mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan dengan percaya kepada korban.
“Banyak juga femisida berasal dari kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam rumah tangga, atau kekerasan-kekerasan berbasis gender lainnya. Jadi kita mau sama-sama cegah, amati, saling bantu soal kekerasan seksual. Juga saling peduli terhadap sesama perempuan,” ujarnya.
Menanggapi isu ini, tim komunikasi Amnesty International Indonesia, Claudia Destianira mengungkapkan ada kenaikan tren femisida beberapa bulan terakhir.
“Karena trend-nya tadi meningkat banget gitu, ya. Setiap 2 laki-laki membunuh setiap 2 hari. Intinya, trend femisida ini semakin tinggi beberapa bulan terakhir ini,” ujar Claudia saat diwawancarai oleh ASPIRASI di Sarinah pada Sabtu, (7/12).
Claudia juga melanjutkan bahwa harus ada jaminan ketidakberulangan femisida melalui perlindungan yang tegas dari negara dan seluruh elemen masyarakat sehingga diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
“Isu perempuan itu bukan cuma masalah perempuan aja, tapi masalah laki laki juga, masalah kelompok yang dimarjinalkan juga, anak anak perempuan juga. Jadi, ya kita pengen mengajak dan menunjukkan ke lebih banyak orang bahwa kita punya kesempatan untuk bergerak bersama untuk ngomongin isu hak perempuan dan perlindungan perempuan secara lebih luas dan lebih lantang lagi,” ucap Claudia menutup wawancara sore itu.
Gambar: Azaliya Raysa
Reporter: Ihfadzillah Yahfadzka| Editor: Natasya Oktavia
