Polemik Masuknya Perguruan Tinggi Asing di Indonesia

Nasional

Kemenristekdikti baru-baru ini merencanakan pemberian izin bagi perguruan tinggi asing yang berminat membuka perwakilan di Indonesia. Rencana itu menimbulkan perdebatan dari sebagian kalangan di dalam negeri.

Aspirasionline.com — Internasionalisasi, lazim digunakan di dunia pendidikan untuk menjelaskan adanya pendidikan tanpa batas negara dan bisnis pendidikan antar negara (borderless, transnational, cross border and trade in education services). Di samping itu, internasionalisasi pendidikan juga mencakup harmonisasi, dan standarisasi. Standarisasi ini mencakup akreditasi, penjaminan, mutu, dan kualifikasi lembaga pendidikan.

Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Intan Ahmad menyatakan bahwa masuknya perguruan tinggi asing ke banyak negara selama ini sudah dianggap wajar. Karena itu, ia berpendapat semestinya hal serupa juga mendapat respon baik di Indonesia.

Dalam konferensi Forum Rektor Indonesia (FRI) yang dilaksanakan di Universitas Hasanuddin pada Kamis (8/2) lalu, Intan menyampaikan bahwa per Tahun 2015, setidaknya sudah ada 76 negara di dunia yang mengizinkan sejumlah perguruan tinggi asing beroperasi di wilayahnya.

Seperti dilansir dari Antara, Intan mencontohkan perguruan tinggi yang berasal dari Amerika Serikat sudah banyak yang beroperasi di Cina dan Australia. Selain itu, Malaysia juga telah memberikan izin kepada sejumlah perguruan tinggi asing untuk beroperasi di negaranya.

Pasal 50 Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa kerja sama internasional pendidikan tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Kerjasama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia.

Senada dengan hal tersebut, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, perguruan tinggi asing yang bisa beroperasi di tanah air harus bekerja sama dengan perguruan tinggi swasta dari dalam negeri.

Dalam konfrensi pers yang dilaksankan di Gedung Kemenristekdikti pada Senin (29/1), Nasir menerangkan bahwa pemerintah juga sudah menentukan lokasinya sekaligus merumuskan ketentuan mengenai program studi prioritas, yakni sains, teknologi, keinsinyuran, matematika, bisnis, teknologi, dan manajemen.

Selain itu, Nasir juga menjelaskan, perguruan tinggi asing yang beroperasi harus mengajarkan mata kuliah wajib yang berkaitan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Agama, dan Bahasa Indonesia.

Setidaknya sampai April 2018, Nasir mengungkapkan bahwa sudah terdapat dua perguruan tinggi asing yang memenuhi persyaratan untuk beroperasi di Indonesia. Kedua perguruan tinggi asing tersebut berasal dari Australia, yaitu Universitas Melbourne dan Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) University.

Regulasi Perguruan Tinggi Asing

UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjadi landasan awal mengenai legalitas perguruan tinggi asing. Pada pasal 90 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa perguruan tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perguruan Tinggi lembaga negara lain tersebut sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.

Selanjutnya dalam Pasal 90 ayat (3) dan (4) disebutkan bahwa pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan program studi yang dapat diselenggarakan perguruan tinggi lembaga negara lain. Selain itu, perguruan tinggi lembaga negara lain wajib untuk memperoleh izin Pemerintah, berprinsip nirlaba, bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin pemerintah, dan mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan Warga Negara Indonesia.

Tak sampai di situ, pemerintah telah memberikan rambu-rambu kerjasama luar negeri melalui Permendikbud No. 14 Tahun 2014. Kerja sama harus seimbang antara kedua belah pihak dan ditujukan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, produktivitas, kreativitas, mutu dan relevansi Tri Dharma perguruan tinggi yang bermuara pada peningkatan daya saing bangsa.

Pro Kontra Perguruan Tinggi Asing

Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) Edi Subkhan menilai masuknya perguruan tinggi asing sebagi bentuk korporatisasi pendidikan tinggi atau sebagai bentuk waralaba.

Edi mengungkapkan, bentuk tersebut lebih berfokus kepada keuntungan materiil yang akan didapatkan si perguruan tinggi asing. Selain itu, Edi mengaku khawatir jika perguruan tinggi asing diperbolehkan beroperasi di Indonesia maka masyarakat akan cenderung memilih perguruan tinggi asing yang ada, sehingga dapat menjadi ancaman bagi perguruan tinggi yang ada.

“Melihat dari namanya saja sudah bisa membuat masyarakat berbondong-bondong masuk ke sana, belum lagi jika kita melihat kualitas dari perguruan tinggi asing tersebut,” ujarnya saat diwawancarai ASPIRASI pada Kamis (26/7). Edi menegaskan untuk mengatasi ancaman tersebut diperlukan aturan yang jelas. Jadi, perguruan tinggi semakin tertantang untuk menciptakan persaingan sehat.

Edi juga menyampaikan pendapatnya melalui analogi perguruan tinggi sebagai sebuah korporasi. “Jika menganggap perguran tinggi sebagai sebuah korporasi, maka korporasi itu akan dapat berkembang ketika berkoalisi dengan korporasi lainnya. Dalam hal ini, yang dimaksud korporasi ialah perguruan tinggi swasta dan perguruan tinggi asing,” jelasnya. Melalui kerjasama transnasional seperti itulah diharapkan dapat menghasilkan generasi-generasi yang berdaya saing global serta dapat meningkatkan APK PT.

Kontras dengan Edi, Ariel Heryanto, dalam opininya yang berjudul “Mengapa Kita Terus Mencurigai Internasionalisasi Perguruan Tinggi?”, menilai internasionalisasi perguruan tinggi merupakan sebuah pilihan yang sulit ditolak atau dihindari. Ariel berpendapat sudah selayaknya Indonesia mengerahkan tenaga maksimal untuk mendapatkan yang terbaik dari sistem yang tidak sempurna itu.

Dalam opininya tersebut, ia menjelaskan sampai saat ini Indonesia masih mengambil sikap yang saling bertentangan. Di satu sisi, para sarjana didukung untuk studi lanjut ke mancanegara. Mahasiswa pascasarjana diharapkan mengikuti konferensi-konferensi internasional. Para dosen didorong publikasi di pelbagai jurnal akademik dunia yang berperingkat tinggi.

Di sisi lain, internasionalisasi dicurigai atau ditolak sejumlah pihak, terutama jika internasionalisasi berwujud masuknya tenaga ahli atau lembaga universitas dari luar Indonesia. Internasionalisasi dikhawatirkan menjadi ancaman bagi tenaga atau lembaga lokal yang lemah dalam persaingan di bidang pendidikan[.]

Reporter: Taufiq Hidayatullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *