Revisi UU ITE, Peneliti Media Remotivi : Belum Menjawab Persoalan

Nasional

Ketika sebuah revisi dinilai belum menjadi solusi terhadap diskriminasi di media sosial

Aspirasionline.com – Revisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah berlaku sejak 28 November silam. Dalam revisi UU ITE tersebut, salah satu peneliti media dari remotivi, Wisnu Prasetya Utomo mengatakan bahwa revisi UU ITE tidak mengalami perubahan yang signifikan dan belum menjawab persoalan di media sosial.

“Revisi tersebut tidak menjawab masalah kriminalisasi terkait kebebasan berekspresi di media sosial. Jadi ya tidak jauh berbeda dengan pra revisi,” ungkapnya saat dihubungi oleh Aspirasi, Kamis (1/12). Remotivi sendiri adalah sebuah lembaga studi dan pemantauan media yang bergerak di ranah penelitian, advokasi, dan penerbitan media.

Meski tidak mengalami perubahan yang berarti, namun Wisnu tetap melihat ada perubahan yang cukup signifikan pada pasal 26 dan 40 UU ITE. Pasal 26 tentang “right to forgetten” atau hak untuk dilupakan disini menurut Wisnu tidak sering di bahas dipublik. “Pasal itu tiba-tiba muncul padahal jarang sekali ada di diskusi publik. Karena selama ini yang sering dibahas kan justru di pasal 27,” katanya.

Adanya pasal 26 UU ITE, menurut lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada (UGM) ini akan lebih berbahaya untuk kebebasan pers, “sebab akan bertabrakan dengan Undang-undang pers,” jelas Wisnu. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pasal 26 UU ITE bicara mengenai seseorang yang diijinkan mengajukan penghapusan berita terkait problem dirinya yang ada di masa lalu atas izin pengadilan.

Untuk pasal 40 UU ITEnya, yang paling mencolok adalah pemerintah berhak menghapus informasi orang yang terbukti menyebarkan berita-berita hoax atau terkait pornografi, SARA dan terorisme. Di dalam pasal 40 itu, “kalau saya tidak salah ingat, di Undang-undang sebelumnya, dokumen elektronik itu bisa menjadi alat bukti hukum yang sah di pengadilan. Tetapi di revisi UU ITE yang baru, dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan tanpa seijin pengadilan itu tidak sah sebagai alat bukti,” tutur pria kelahiran Semarang tersebut.

Hukuman Diringankan

Perubahan lain adalah ancaman hukuman pada pasal 27 UU ITE tentang pencemaran nama baik, dimana hukuman penjara diturunkan dari maksimal enam tahun menjadi empat tahun. Dalam pengurangan hukuman itu, Wisnu Prasetya menilai bahwa perubahan UU ITE tidak menjawab persoalan yang ada. “Pasal 27 ayat 3 itu tetap saja pasal karet yang bisa dipakai untuk mengkriminalisasi orang yang ingin bersuara di media sosial,” katanya. “Persoalannya itu bukan berapa tahun di penjara, tetapi soal bagaimana seharusnya yang dilindungi itu adalah hak untuk berpendapat,” lanjutnya menggebu.
Pria yang pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi pers mahasiswa Balairung UGM pada 2010 tersebut menyatakan boleh saja orang mengkritik selama kritikan itu tidak ada unsur fitnah di dalamnya, “namun apabila orang yang mengkritik tanpa fitnah itu tetap di penjara kan tidak masuk akal. Bahkan itu justru yang buat kita paranoid, kita mau kritik tapi takut dijerat pasal UU ITE,” ujar Wisnu.

Terakhir, sebagai seorang peneliti media di remotivi, Wisnu mengatakan bahwa remotivi sendiri tidak berkaitan secara langsung dengan revisi UU ITE, sebab remotivi bicara mengenai media. Namun Wisnu tetap melihat Undang-undang ini dapat mengancam kebebasan berekspresi, dan belum menjadi solusi terhadap diskriminasi di media sosial.

Reporter: Theresia Mg. |Editor: Tri Ditrarini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *