Komnas Perempuan Soroti Ketidakadilan Terpidana Mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Dalam rangka memperingati 25 tahun Konvensi Anti Penyiksaan, Komnas Perempuan menggelar forum konsultasi publik yang menyajikan laporan dokumentasi mengenai kondisi memprihatinkan para perempuan terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan.
Aspirasionline.com — Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengadakan forum konsultasi publik mengenai pelaporan situasi perempuan pidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) yang diadakan secara daring pada Kamis, (4/7).
Forum konsultasi publik ini dihadiri oleh berbagai pejabat dari lembaga publik terkait, seperti perwakilan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dari berbagai daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta akademisi.
Forum yang diselenggarakan sebagai bentuk laporan pendokumentasian kepada publik ini berfokus untuk menyoroti situasi perempuan terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan.
Sebagai mandat dari Komnas Perempuan yang memastikan pemenuhan hak asasi dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam konteks hak-hak perempuan yang terpidana mati, forum ini turut menggambarkan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak-hak tersebut secara menyeluruh.
Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi menjelaskan bahwa salah satu hal yang dilakukan Komnas Perempuan berupa pemantauan situasi perempuan terpidana mati untuk mengidentifikasi kekerasan dan pelanggaran hak perempuan yang mengarah pada perilaku penyiksaan terhadap perempuan.
“Melakukan analisa mengenai implementasi kebijakan dan upaya-upaya yang dilakukan untuk pemenuhan perlindungan keamanan perempuan terpidana mati di LPP yang kemudian akan merekomendasikan upaya pencegahan dan penanganan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia,” jelas Satyawanti dalam paparannya melalui Zoom Meeting pada Kamis, (4/7).
Pemantauan dilakukan terhadap 14 perempuan yang terpidana mati di 8 Lembaga Pemasyarakatan Perempuan, di antaranya Kelas IIA Tangerang Selatan, Kelas IIA Kerobokan Bali, Kelas IIA Bandar Lampung, Kelas IIA Bandung Jawa Barat, Kelas IIA Medan Sumatera Utara, Kelas IIA Malang Jawa Timur, Kelas IIA Semarang Jawa Tengah, dan Kelas IIB Yogyakarta.
Pemantauan tersebut menggunakan pendekatan yang memperhatikan kepentingan korban, dengan memahami perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender, menjaga objektivitas serta kerahasiaan, melalui kerjasama antara berbagai pihak tanpa memihak pada satu kelompok tertentu.
“Kerangka hukum instrumen HAM dan kebijakan nasional menjadi dasar tindakan Komnas Perempuan untuk melakukan pemantauan pada perempuan terpidana mati,” kata Satyawati.
Mengungkap Tantangan yang Dihadapi Perempuan Terpidana Mati di LPP
Situasi perempuan yang terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Pasalnya, jumlah petugas lapas, khususnya petugas keamanan, tidak mencukupi dibandingkan dengan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), banyak petugas yang mengalami kesulitan dalam menjaga agar situasi di dalam lembaga tetap aman dan terkendali.
Lebih lanjut, menurut Satyawati, meski laporan terkait situasi kebersihan dan Kesehatan Reproduksi (Kespro) berkondisi bersih, namun penyediaan air bersih masih belum terpenuhi. Adapun ketersediaan pembalut wanita di seluruh LPP juga sangat terbatas, sehingga perlu perhatian khusus untuk memastikan kebutuhan dasar ini terpenuhi.
Namun, Direktur Binapi dan Anak Binaan Ditjen Pemasyarakat, Erwedi Supriyatno menyanggah permasalahan yang telah dipaparkan karena menurutnya, kebutuhan dasar tersebut sudah dipenuhi.
“Kami sampaikan bahwa untuk fasilitas mandi seperti sabun, odol, kemudian sampo dan pembalut itu sudah diberikan pada triwulan I, itu yang jadi tanggapan kami,” jelas Erwedi.
Erwedi menggambarkan kondisi di lapas perempuan terkait ketersediaan air bersih, dimana air dari sumur hanya digunakan oleh narapidana untuk mandi dan mencuci. Ia juga mengungkapkan bahwa lapas perempuan sering mengalami banjir setiap musim hujan, menunjukkan tantangan serius yang dihadapi oleh lapas-lapas perempuan di Indonesia.
Di samping itu, Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani juga memberikan laporan terkait ketidakjelasan masa tunggu yang dijalani narapidana mengganggu psikologis perempuan terpidana mati, seperti depresi sampai percobaan bunuh diri.
Tak jarang para terpidana juga meminta racun sianida kepada sesama WBP. Tiasri mengungkapkan bahwa situasi ini sangat mengkhawatirkan bagi kesehatan jiwa dan kesejahteraan para perempuan yang terlibat dalam tindak pidana, terutama ketika akses terhadap pelayanan kesehatan masih sangat minim.
“Itu karena hampir di semua LPP itu dimana pemantauan dilakukan itu tidak ada psikolog in-house yang memberikan layanan kesehatan jiwa ya kecuali memang kami mendapatkannya di LPP Malang,” jelas Tiasri.
Sulitnya Mendapatkan Dukungan Hukum dan Grasi bagi Perempuan Terpidana Mati
Perempuan terpidana mati menghadapi tekanan mendesak, saat dukungan hukum menjadi satu-satunya cara untuk meringankan hukuman terhadap para terpidana. Namun, masih banyak tantangan dalam memberikan pendampingan dan akses bantuan hukum yang memadai.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah banyaknya permohonan grasi yang meskipun telah diajukan, masih berada dalam proses pengajuan yang panjang, dan beberapa permohonannya ditolak.
“5 dari 13 WBP perempuan terpidana mati telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), dengan 3 permohonan ditolak oleh dan dua lainnya masih menunggu keputusan. 3 WBP telah mengajukan grasi dengan 1 WBP yang telah mendapatkan putusan setelah menunggu selama tujuh tahun,” ungkap Satyawanti.
Salah satu kendala yang dihadapi adalah ketika grasi memerlukan Laporan Litmas, WBP harus memiliki penjamin untuk memperolehnya. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, LPP sering kesulitan menghubungi penjamin atau mendatangi tempat tinggal mereka. Selain itu, keluarga sering kali enggan menjadi penjamin, sehingga WBP tidak dapat mengajukan grasi.
Komnas Perempuan berupaya merekomendasikan penyelesaian terkait isu ini dengan mengadvokasi untuk pelaksanaan grasi dan penghentian eksekusi terhadap perempuan yang dijatuhi hukuman mati sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Di kesempatan yang sama, Mamik Sri Supatmi selaku akademisi dari Universitas Indonesia turut mendukung rekomendasi Komnas Perempuan kepada pemerintah untuk menghentikan hukuman mati dan eksekusi mati, serta mencegah penyiksaan terhadap perempuan yang ditahan atau narapidana.
“Pemberian ampunan kepada perempuan terpidana mati dengan mengubah hukuman menjadi angka dan memungkinkan pembebasan lebih awal melalui mekanisme yang ada serta pemenuhan hak sebagai perempuan narapidana,” pungkas Mamik.
Reporter : Azaliya Raysa | Editor: Nabila Adelita