ICRP: Jejak Sejarah, Sulitkan Pemahaman Barat dan Islam

Nasional

Aspirasionline.com – “Awalnya saya membaca pengumuman dari lembaga East West Center yang meminta jurnalis seluruh dunia terutama di Asia, ikut kegiatan yang disebut senior jurnalist seminar. Temanya adalah jembatan antara Amerika Serikat dengan dunia muslim. Kemudian saya melamar, dan saya terpilih dari satu-satunya di Indonesia,” begitu cerita Heru Hendratmoko, alumni program Senior Journalist Seminar dalam perbincangan Agama dan Masyarakat KBR dan TVTempo, Rabu (10/08).
Selain dari Indonesia peserta juga berasal dari Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Banglades, India, Pakistan, Irak, Iran dan Palestina.

“Ini bukan seminar seperti yang dibayangkan, peserta hanya duduk seharian. Kami justru berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menemui banyak nara sumber. Mulai dari pejabat Amerika dan tokoh agama Islam, Kristen dan Yahudi. Seperti safari, kita pindah-pindah terus,” terang Heru.

Menurut Heru pertemuan ini bertujuan memperoleh pemahaman yang komperehensif tentang sistem sosial politik di Amerika.
“Kita mendiskusikan tidak adanya hukum tentang agama yang dibuat di Amerika. Tetapi menarik, karena disaat yang sama terminologi agama sering dipakai elit politik. Misalnya presiden Amerika sering menggunakan idiom agama dalam menghadapi perang terhadap Irak dan terorisme. Masyarakat Amerika yang sering dipahami sebagai sekuler ternyata mereka sangat religius. Bedanya mereka bisa membedakan kapan religiousitas itu ditunjukan ke publik dan mana yang masuk ranah pribadi,” kata Heru.

Salah satu kritik yang muncul di pertemuan itu, adalah seringnya media Barat memandang Islam di Indonesia seolah sama seperti Islam di Timur Tengah. “Mungkin yang terjadi seperti itu, Islam dipandang sebagai identitas tunggal,” terang Heru.

Kritik itu justru muncul dari wartawan Amerika yang melihat langsung. Setelah melihat kondisi di Indonesia, mereka justru mempertanyakan mengapa Islam di Indonesia tidak menjadi role model dalam perkembangan negara Islam.
Perbedaan pandangan antara Barat dan Islam itu, menurut Direktur Pelaksana Indonesia Conference on Religion dan Peace (ICRP) Mohammad Monib, akibat belum maksimalnya jembatan antara dunia Barat dan Islam. Ini lantaran kesalahpahaman tentang Islam yang sudah terjadi sejak lama.

“Jejak sejarah ini agak berat untuk diselesaikan antara Barat dan Timur. Ini mengingatkan kita pada perang Salib. Ini yang menjadi kutukan sejarah relasi Barat baik secara geografi dan agama. Barat idientik dengan Kristen sedangkan Timur idientik dengan Islam,” terang Monib.

Sedangkan di Islam, kondisi itu diperparah dalam doktrin-doktrin keagamaan sempit.
“Kita harus mengetahui, tidak semua orang Kristen alergi dan berpikir untuk memindahkan keyakinan Islam menjadi Kristen. Kita tidak boleh meng-generalisir bahwa di Barat orang ingin mengancurkan Islam, begitu juga sebaliknya,” terang Monib.

Hubungan Islam-Barat juga tidak harmonis terkait standar kebijakan politik luar negeri Amerika terkait Palestina.
“Dalam politik, Amerika harus berhenti meneruskan standar ganda kemunafikan, termasuk ideologi. Mreka selalu bicara HAM tetapi implementasinya acap kali tidak tepat. Itu yang membuat kami kesusahan untuk menyakinkan, karena politik luar negeri dan tidak konsisten menegakan HAM,” terang Monib.

Dan disaat bersamaan ada masalah di media kita, “bad news is good news. Jarang sekali acara yang menawarkan nilai-nilai kesejukan, yang ditampilkan justru agama dalam wajah kekerasan,” kata Monib.

Padahal agama sudah menyediakan bagaimana kita menghargai orang lain. “Poin pentingnya ada di dialektika empati. Saat di Indonesia kita mayoritas, maka sangat penting kita menghormati yang lain, apapun latar belakang agamanya,” tutur Monib.

Sumber : KBR68H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *