Perlunya Melihat Kerentanan Anak dan Perempuan Saat Proses Hukum

Kabar Sekitar

Konferensi pers yang diadakan oleh ICJR Indonesia membahas bagaimana penegakan hukum yang dialami anak AGH yang menjadi korban seksualitas dan keadilan mengenai upaya penyelesaian masalah yang dialami AGH. 

Aspirasionline.com – Pada Rabu, (10/5), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Indonesia mengadakan konferensi pers yang berfokus membahas mengenai kasus AGH (15) sebagai korban seksualitas di bawah umur.

Konferensi yang berjudul “Konferensi Pers: Mendorong Keadilan Proses Hukum Anak AGH” ini menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai lembaga, seperti Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jawa Barat, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS), dan lembaga-lembaga lainnya.

Pembahasan konferensi ini berangkat dari kasus yang kini tengah ramai diperbincangkan, yaitu kasus penganiayaan pada anak berinisial DO (17) yang dilakukan oleh tiga orang pelaku berinisial AGH, MDS (20), dan SL (19). Seiring berjalannya waktu, kasus ini kian kompleks dengan terungkapnya permasalahan-permasalahan lain di publik. Terlebih, ketika menyangkut AGH yang kerap kali dibingkai sebagai perempuan yang tidak baik dan membiaskan fakta jika AGH tetaplah anak di bawah umur yang masih rentan.

Ratna Batari Munti, Direktur LBH APIK Jabar, memaparkan bahwa konferensi Rabu itu dilaksanakan sebab ada isu yang perlu mereka sampaikan ke masyarakat. Isu itu berkaitan dengan bagaimana masyarakat umum seringnya menghakimi anak dan perempuan ketika mereka terlibat dalam kasus hukum tanpa memperhatikan situasi kerentanan mereka.

“Ketika anak dan perempuan terlibat di dalam kasus hukum, itu sering kali public men-judge (anak dan perempuan) dan tidak memperhatikan situasi kerentanan perempuan dan anak di dalam sistem hukum di Indonesia,” ujar Ratna pada Rabu, (10/5).

Ratna juga menyayangkan bagaimana media justru mengeksploitasi sedemikian rupa hubungan seksual AGH dan memojokkannya sebagai seorang perempuan. Ratna menilai jika ini adalah cara pandang yang sangat bias dan dapat ditemukan dalam masyarakat patriarki dan misoginis.

“Cara pandang seperti ini disebut cara pandang yang sangat bias, stereotip yang mengobjektivikasi tubuh dan seksualitas perempuan,” tutur Ratna.

Sepakat dengan Ratna, Kalis Mardiasih, seorang penulis dan aktivis keadilan gender, turut mengungkapkan kesedihannya melihat platform digital sebagai ruang publik justru beralih menjadi medium yang menyebabkan stereotip pada kekerasan seksual dan ujaran kebencian.

Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dirasa mulai memiliki kesadaran yang baik mengenai dampak jangka panjang yang diterima oleh korban kekerasan seksual. Suara publik, Kalis nilai, memiliki pengaruh yang besar, contohnya pada pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Faktor pendukung pengesahan UU TPKS adalah suara publik di ruang digital, suara publik yang ikut mengawasi ujaran-ujaran misoginis, dan sikap komplemen baik yang berasal dari media arus utama penegak hukum maupun pejabat pemerintah,” papar Kalis, Rabu, (10/5).

Bagaimana Hukum Melindungi Anak dan Perempuan

Salma Safitri, perwakilan JPHPKKS, menyebutkan jika pemahaman mengenai kerentanan anak dan perempuan di mata hukum harus diberikan bukan hanya kepada publik, tetapi juga aparat penegak hukum. Meski terdapat konstitusi hukum yang jelas melindungi anak serta perempuan dari kekerasan seksual, nyatanya secara praktik hukum, perlindungan itu belum bisa terlaksana dengan baik.

Hal ini bisa dilihat pada keputusan pertama dan ditolaknya banding yang diajukan oleh AGH hanya untuk memenuhi kepuasan publik yang membingkai hubungan seksual AGH dan MDS dilakukan atas dasar suka sama suka. Padahal, Salma menjelaskan, kekerasan seksual tidak mensyaratkan hal tersebut.

“Kekerasan (seksual) itu tidak mensyaratkan hal itu (hubungan seksual atas suka sama suka). Siapapun anak yang dicabuli atau disetubuhi laki-laki dan dia (pelaku) adalah orang dewasa, dia bersalah. Kalau yang melakukan sesama anak, ada proses lain lagi. Nah, dalam dimensi ini saja, hakim jaksa gagal melihat dan keluar dari konstitusi hukum yang ada,” jelas Salma pada Rabu, (10/5).

Memperjelas paparan Salma, Ratna mengungkapkan jika hal ini terjadi lantaran nilai-nilai patriarki yang masuk dalam ranah sistem hukum pidana. Ini terjadi sebab keputusan hakim yang hanya mempertimbangkan fakta dari jasa dan menutup mata dari fakta yang diungkapkan oleh AGH maupun saksi lainnya. Bahkan, dalam proses persidangan, rekaman CCTV yang menunjukkan AGH yang gelisah ketika DO diserang oleh MDS dan SL, tidak ditayangkan.

Ratna menilai keputusan hakim sangat bertentangan dengan peraturan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Konstitusi hukum itu justru diabaikan dan tidak digunakan.

“Kita sudah berjuang untuk menghadirkan PERMA No. 3 Tahun 2017 supaya hakim-hakim ketika menyidangkan perempuan yang berhadapan dengan hukum, tidak lupa untuk melihat faktor relasi gender dan kuasa. Ini ada di pasal 4 dan 6,” tegas Ratna.

 

Reporter: Alfin Mg. | Editor: Teuku Farrel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *