Polusi Udara Jakarta: Kian Berkabut, Penanganan Tak Kunjung Dikebut
Kebijakan Work From Home (WFH) yang diterapkan untuk para ASN DKI Jakarta dianggap kurang tepat mengingat masih banyak faktor lain yang berkontribusi menghasilkan polutan.
Aspirasionline.com – Beberapa waktu belakangan, pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta mengumumkan kebijakan penting yang menarik perhatian banyak pihak. Kebijakan tersebut adalah pemberlakuan Work From Home (WFH) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di berbagai instansi pemerintahan di wilayah DKI Jakarta.
Sebanyak 50 persen staf ASN DKI Jakarta mulai menjalani uji coba WFH sejak Senin, (21/8). Meskipun tujuan kebijakan ini untuk mengurangi tingkat polusi udara yang semakin mengkhawatirkan, kebijakan WFH ini nyatanya memunculkan pendapat lain dari berbagai pihak.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memandang bahwa kebijakan ini kurang tepat untuk menangani permasalahan polusi, mengingat kebijakan yang hampir serupa, yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada masa Pandemi COVID 19 lalu menunjukkan hasil yang kurang signifikan.
“Dengan adanya PPKM tetapi kok polutan dari transportasi itu tetap tinggi,” ujar Syahroni Fadhil selaku Staf Advokasi dan Kebijakan Lingkungan Hidup WALHI Eksekutif Daerah Jakarta, Selasa (29/8).
Penyelesaian Polusi Dengan Cara Komprehensif
Syahroni menyampaikan jika transportasi bukan lah satu-satunya penyumbang polusi udara di Jakarta yang kian memburuk akhir-akhir ini. Menurutnya, kebijakan WFH ini tidak akan memberikan perubahan yang signifikan lantaran di hari-hari dimana mobilisasi transportasi tidak terlalu padat, polusi udara tetap lah buruk seperti pada hari kerja.
“Karena memang pada faktanya, Sabtu atau Minggu, itu kan kondisi kepadatan transportasi di Jakarta itu kan gak terlalu banyak, tapi tetap kok pada hari-hari tersebut juga polusi udara masih tinggi,” ungkap Syahroni.
Syahroni memaparkan, ada banyak faktor lain yang menyumbang polutan, seperti pembangkit tenaga listrik, industri, serta pembakaran lahan terbuka. Lebih lanjut, ia menegaskan jika perlu adanya peninjauan kembali terkait faktor-faktor lain selain transportasi.
“Apakah betul sektor tertinggi dari adanya polusi udara ini adalah transportasi? Sedangkan tekanan pemerintah, kebijakan pemerintah terhadap sektor industri ini bagaimana?” ujar Syahroni, mempertanyakan bagaimana pemerintah melihat masalah solusi ini secara parsial dan tidak secara komprehensif.
Syahroni mengungkapkan, jika polusi udara Jakarta masih berada di tingkat yang sama, sebelum dan sesudah kebijakan WFH bagi ASN diberlakukan, maka WFH bukan lah opsi yang tepat dalam penurunan polusi udara.
“Artinya apa? Ada sektor lain gitu yang masih menyumbang emisi,” lugas Syahroni.
Bukan hanya itu, Syahroni juga menyayangkan arah kebijakan pemerintah DKI Jakarta serta pemerintah pusat yang justru memberatkan masyarakat, seperti uji emisi kendaraan.
Kebijakan ini dinilai justru mengorbankan kepentingan masyarakat alih-alih menguntungkan. Semestinya, pemerintah bisa memberikan solusi lain seperti peningkatan integritas dan aksesibilitas transportasi publik agar ruang gerak masyarakat tidak menjadi terbatas.
“Contohnya gini, keluarga itu tidak mempunyai pilihan apakah dia harus menggunakan transportasi publik ataupun kendaraan pribadi. Karena apa? Fasilitas aksesibilitas transportasi publik itu belum memadai untuk di tempat-tempat dia tinggal,” jelas Syahroni.
Dengan permasalahan yang ada, Syahroni beserta WALHI memandang jika semestinya, masyarakat dapat turut diikutsertakan dalam menyuarakan isu polusi udara ini. Jangan sampai, kebijakan tersebut diambil dengan membebankan masyarakat padahal masyarakat sendiri tidak dilibatkan dalam pembentukan kebijakan tersebut.
“Tentang polusi ini, seharusnya pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah itu melihat secara struktural juga gitu. Artinya tidak tepat juga ketika memang ini dibebankan kepada masyarakat, gitu loh,” tegas Syahroni.
Menilik Kebijakan WFH Dari Sudut Pandang ASN
Wiharjo, salah satu Staf Pelaksana Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi DKI Jakarta yang terdampak WFH berpendapat bahwa kebijakan ini kurang efektif jika hanya diberlakukan untuk para ASN.
“Kecuali kalau sama-sama kayak swasta juga, swasta juga ikut WFH mungkin, ya,” tambah Wiharjo, Selasa (29/8).
Ia mengatakan, usai diberlakukan kebijakan WFH bagi ASN, dirinya masih melihat polusi udara yang menyelimuti gedung-gedung tinggi di Jakarta.
“Kualitas udaranya masih (buruk), yang kelihatan banget kalau kita lihatnya dari atas ya, dari atas itu kelihatan (seperti) kabut, tapi kalau di bawah enggak,” ceritanya.
Wiharjo menuturkan jika kebijakan WFH ini banyak membatasi pekerjaan mereka, terutama dalam tugas melayani tamu. Tenaga tersebut harus terbagi menjadi dua, di mana sebagian di kantor, sedangkan sebagiannya lagi di rumah.
Bagi pekerja yang kedapatan bekerja di kantor lantas akan merasa keteteran juga lantaran harus menanggung beban pekerja lain yang ditugaskan bekerja di rumah.
“Kalau kita hadir semua kan udah ada tugasnya masing-masing, yang melayani tamu siapa, yang melayani tetap di dalam siapa, gitu. Karena dibagi dua, jadi di dalam iya, yang di luar iya,” terang Wiharjo.
Wiharjo merasa, uji coba WFH sebagai upaya membatasi ASN yang membawa kendaraan pribadi tidak begitu berperan besar karena beberapa persen ASN DKI Jakarta banyak yang menggunakan jemputan dari instansi masing-masing dan juga layanan transportasi umum.
Ia juga merasa penyebab polutan yang meningkat bukan berasal dari kendaraan pribadi, melainkan dari bus-bus tua dan pembakaran di lahan terbuka. Wiharjo melihat jika banyak ASN yang menggunakan transportasi publik, seperti kereta. Apalagi, semenjak kebijakan uji emisi diterapkan, banyak ASN yang beralih menggunakan kereta.
Oleh karena itu, Wiharjo berpendapat jika alih-alih menerapkan WFH sebagai solusi dari meningkatkan polusi udara Jakarta, menurutnya perlu diadakan transformasi untuk transportasi publik.
“Coba kasih solusi di kendaraan listrik, jadi bus tua itu bisa dikandangin gitu,” ujarnya menyarankan.
Foto: ASPIRASI/Teuku Farrel.
Reporter: Rara Siti. | Editor: Alfianti Putri.