Fenomena Superioritas Budaya Asing dan Inferioritas Budaya di Dalamnya

Forum Akademika

Superioritas budaya asing tengah marak terjadi di Indonesia, hal ini diikuti dengan adanya inferioritas budaya kita sendiri.

Aspirasionline.com – Masuknya budaya asing tengah begitu ramai di Indonesia. Mulai dari tren berpakaian, musik, serta gaya hidup perlahan mulai diserap dan diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan muda.

Geger Riyanto, Dosen Antropologi Universitas Indonesia (UI), beranggapan bahwa hal ini merupakan suatu hal yang nyaris dibilang wajar. Baginya, tren ini terjadi secara merata, bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh negara termasuk Amerika Serikat (AS) yang memiliki ekonomi terbesar di dunia.

“Mereka pun juga tergila-gila dengan budaya luar. K-pop (Korean pop, red.) gitu misalkan,  (atau) manga. Saya pikir itu hal yang tidak terhindarkan dalam dunia kita yang interkoneksi dengan sangat cepat,” tuturnya kepada ASPIRASI, Jumat (16/4).

Menurutnya, budaya asing yang masuk ke suatu negara lain bukanlah tanpa sebab. Adanya modal investasi yang tinggi pada industri hiburan yang sudah mendunia, seperti Korea Selatan dengan musik K-pop-nya dan Jepang dengan koleksi manga-nya, tentu akan banyak dikonsumsi oleh masyarakat internasional, tidak terkecuali di Indonesia.

“Dan industri seperti itu besar karena ada konsumen Internasional ya, mereka konsumennya ada dimana-mana,” ujarnya.

Pesatnya perkembangan budaya di AS, Korea Selatan, dan Jepang juga menurutnya tak lepas dari status negara mereka yang masuk dalam negara maju dengan perekonomian yang maju pula. Geger mengatakan, bahasa Internasional yang digunakan AS sebagai alat komunikasi membuat negeri Paman Sam tersebut menjadi pusat hiburan dunia.

Selain itu, majunya industri hiburan dari Korea Selatan yang terkenal dengan idol group-nya, menurut antropolog itu berawal dari penjualan dalam negeri yang sudah sangat kuat sehingga mendorong budayawannya untuk terus mengembangkan karya-karya dari negeri ginseng tersebut.

“Sehingga market mereka itu karyanya juga menjadi bagus, sehingga pas di ekspor keluar, orang-orang melihat. Mereka baca, mereka adopsi, dan mereka suka,” jelasnya.

Potensi Superioritas Budaya Asing dalam Menciptakan Pergeseran Budaya

Pembicaraan mengenai superioritas atau dominasi budaya asing di Indonesia, tentu tidak terlepas dari kompleks inferioritas. Menurut American Psychological Association, kompleks inferioritas adalah kondisi psikologis yang timbul dari rasa tidak cukup atau insecure, baik itu karena kekurangan fisik atau psikologis aktual maupun yang hanya dibayangkan.

Dalam konteks masuknya budaya asing, Geger menilai perasaan tersebut cenderung akan muncul saat masyarakat kita berhadapan dengan orang asing. Ia berpendapat jika kompleks inferioritas ini biasanya baru dapat dilihat jika kita berhadapan langsung dengan orang asing yang memuji budaya kita.

“Ada fenomena inferiority complex dan kita melihat bahwa orang luar memiliki sesuatu yang lebih superior dibandingkan kita dan ini sebenarnya sangat terlihat di berbagai dimensi hidup kita,” ucap Geger ketika diwawancara.

Awal mula fenomena ini dinilai sulit untuk diidentifikasikan akarnya oleh Geger. Namun, Geger mengungkapkan banyak orang mulai mengidentifikasikannya melalui sejarah penjajahan Indonesia dahulu dimana kelas sosial terbentuk ketika orang Eropa berapa di atas, sedangkan pribumi di bawah. 

“Meskipun ada proses kemerdekaan dan orang-orang Eropa itu diusir dari Indonesia, tapi tetap aja. Kalau kita bicara mentalitas ketika ia sudah dibentuk, itu sesuatu yang susah untuk dijungkirbalikan lagi,” katanya.

Namun, masuknya budaya asing bukan berarti budaya kita akan bergeser dan hilang sepenuhnya begitu saja. Sebagaimana yang diungkapkan kepada ASPIRASI, Geger merasa ragu jika masuknya budaya asing dapat menggeser budaya asli Indonesia. 

Justru, hal ini dapat merangsang kita untuk memproduksi identitas. Lagi pula, Geger menilai masyarakat Indonesia memiliki bingkai untuk mencerna dan memposisikan diri dalam menyerap budaya asing.

“Itu juga mendorong mereka untuk memperkuat apa yang mereka produksi sebagai budayawan. Jadi saya lihat kita akan selalu berkompetensi, ga mungkin kita akan benar-benar punah,” ucapnya optimis.

Hal ini juga akan membuat budayawan yang kita miliki terpacu untuk memproduksi karya-karya dari dalam negeri. Geger optimis jika para budayawan Indonesia juga akan terus berusaha untuk mengimbangi budaya luar. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya serial TV atau film berkualitas Indonesia pada platform streaming seperti Netflix.

“Karena saya pikir tantangan itu akan selalu disambut dan tantangan itu justru memunculkan definisi siapa diri kita,” tegasnya.

Memandang Optimis Superioritas Budaya Asing di Indonesia

Budaya, menurut Geger, pasti mencerminkan kelas dari kelompok orang. Ditanya mengenai pandangannya terkait generasi muda Indonesia yang terlihat lebih menyukai budaya asing, Geger menyebut, memang akan ada kelompok tertentu yang lebih senang mengonsumsi musik barat dan kurang cocok dengan musik lokal. 

Meski begitu, ia optimis anak muda saat ini tidak akan terlepas dari budaya sendiri. Pasti akan ada saatnya di mana mereka terjebak dan terpapar oleh budaya sendiri, sehingga tanpa disadari mereka terus mengonsumsinya dalam skala sehari-hari.

“Pada kenyataannya, kalau kita bicara bahkan penikmat musik yang tinggi sekalipun, ketika kemarin diadakan acara expo musik besar-besaran yang mengundang band-band kayak ST-12, mereka pada akhirnya merasa senang juga nyanyi ST-12 bareng-bareng gitu,” tuturnya.

Oleh karena itu, menurut Geger, meski selera setiap orang berbeda-beda, tetapi akan ada masanya dimana seseorang itu akan menikmati musik yang bukan seleranya. Seperti guilty pleasure, orang-orang akan tetap mengonsumsi musik tersebut pada masanya. 

“Saya sendiri ga akan khawatir, mungkin di (masa) depan orang anak muda akan berusaha untuk mencari sesuatu yang bisa mendefinisikan jati diri mereka,” katanya.

Geger meyakini jika diri kita dibentuk oleh apa yang kita dengar dari sekeliling kita. Akan ada fase di mana kita mulai menikmati suatu sisi yang sebelumnya tidak ingin kita beri tunjuk kepada orang lain. 

“Saya cukup yakin bahwa kita tidak akan pernah benar-benar bisa meninggalkan apa yang dilahirkan dari sekitar kita dari kebudayaan, hiburan-hiburan,” tutupnya.

 

Ilustrasi: Kompas.com

Reporter: Anastasya Mg. | Editor: Alfianti Putri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *