Nasib Jakarta di Tengah Hiruk Pikuk Pemindahan Ibu Kota
Pemindahan ibukota sampai saat masih menjadi pro kontra apakah merupakan langkah yang tepat atau tidak. Namun yang pasti, berbagai perubahan akan terjadi pada Jakarta ketika tak lagi menjadi ibukota.
Aspirasionline.com – Sejak awal terpilihnya kembali sebagai Presiden, Joko Widodo kembali memberikan pernyataan akan memindahkan ibu kota. Banyak pro dan kontra yang kemudian bergulir dari berbagai kalangan mulai dari elit politik hingga masyarakat.
Wacana terkait pemindahan ibu kota tersebut memunculkan berbagai pertanyaan di benak publik. Termasuk salah satunya terkait dengan masa depan kota Jakarta ketika tidak lagi menjadi ibu kota nanti.
Terkait dengan alasan pemindahan ibu kota, Pengamat Kebijakan Publik, Riswanda memaparkan alasan pemindahan ibu kota sejatinya tidak dapat dilihat dari lensa pandang yang sempit. Hal itu dikarenakan aspek pembahasan pemindahan ibu kota yang luas.
“Alasan pemindahannya kan banyak ya, ada alasan menyisir aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan.” jelasnya ketika diwawancarai Aspirasi pada Kamis (14/04) lalu.
Dia juga berpandangan pemindahan ibu kota sendiri diharapkan dapat menjadi perekat gesekan sosial yang sering kali terjadi. Selain merekatkan, pemindahan ibu kota juga diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan program-program pemerintah mengenai percepatan pembangunan wilayah tertinggal di Indonesia.
“Harapannya itu bisa menjadi nilai baru dari ancaman disintegrasi wilayah yang ada selama ini,” lanjut Riswanda.
Jakarta Tanpa Titel Ibu Kota
Kehilangan titel daerah khusus ibu kota yang sudah lama disandang pastinya akan berdampak besar untuk Jakarta. Mulai dari perubahan secara hukum, ekonomi, hingga sosial dan budaya.
Dosen Hukum Kelembagaan Negara UPNVJ, Syamsul Hadi memaparkan bahwa setelah tidak lagi menjadi berstatus ibu kota. Diperlukan adanya perubahan terkait Undang-undang Otonomi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
“Harus diubah, formatnya apa sama dengan provinsi lain, atau masih tetap punya otonomi tertentu,” jelas Syamsul ketika diwawancarai Aspirasi Jumat (15/04) lalu.
Namun, menurut pandangan Syamsul, ke depannya Jakarta masih akan tetap menjadi wilayah provinsi. Ia beranggapan untuk sekarang ini masih dalam tahapan menjaring pendapat dari publik.
Hal khusus yang justru menjadi perhatian Syamsul adalah terkait kelanjutan infrastruktur yang selama ini telah terbangun megah di Jakarta. Menurut Syamsul akan banyak gedung-gedung kementerian lembaga beserta aset-aset negara yang akan kosong dan terbengkalai yang bernilai puluhan triliun.
“Cuma yang menjadi pertanyaan saya dari awal berapa banyak gedung-gedung aset-aset, negara di DKI mangkrak, puluhan triliun,” tegasnya.
Mengenai adanya kemungkinan bahwa pemerintah akan menjadikan Jakarta sebagai daerah otonomi khusus mengingat saat ini Jakarta merupakan pusat perekonomian Indonesia. Syamsul berpandangan itu bisa menjadi alternatif pemerintah dalam mengeksekusi masa depan Jakarta.
“Bisa itu alternatif seperti itu (otonomi khusus, red.), contoh Canberra itu yang sekarang ibukota Australia, Sydney tetap jadi kota bisnis,” lanjut Syamsul.
Sejalan dengan Syamsul, Riswanda juga memandang Indonesia bisa belajar dari pengalaman Australia ketika memindahkan ibukotanya, dari Sydney ke Canberra. Namun, ia juga menegaskan bahwa butuh perjalanan panjang puluhan tahun hingga Canberra menjadi salah satu ibu kota terbaik di dunia.
“Kalau kita ngelirik Canberra ya masih bisa sedikit belajar,” terang Riswanda menambahkan.
Dibalik semua itu, hal yang paling penting menurut Syamsul adalah menyusun perencanaan dengan sebaik mungkin. Apalagi mengingat ide pemindahan ibukota negara ini tidak dirumuskan secara konkrit dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) sejak jauh-jauh hari.
“Jangan hanya membangun gedung sarpras, tetapi SDM juga,” tutup Syamsul.
Reporter : Alya Mg., Marsha Mg. | Editor: Tegar Gempa.