Fenomena mark-up nilai dalam dunia pendidikan di Indonesia berinduk dari tuntutan akreditasi, kebijakan tak boleh tinggal kelas bagi siswa pun dinilai berdampak pada mutu pendidikan.
Aspirasionline.com – Saat ini tren mark-up nilai rapor dan kebijakan yang menuntut semua siswa naik kelas meskipun tidak sesuai kompetensi menuai banyak huru-hara. Pasalnya, praktik seperti ini menjadi tantangan serius sistem pendidikan.
Ivan (bukan nama sebenarnya), seorang guru yang sudah tiga tahun menggeluti dunia pendidikan memiliki kekhawatiran mengenai penetapan kebijakan pendidikan dewasa ini.
Dirinya mengatakan bahwa kebijakan ini memberikan tantangan besar yang mengharuskan semua siswa naik kelas tanpa melihat kriteria kelayakan siswa.
“Kami sebagai guru merasa dilema, karena ada peraturan yang tidak memperbolehkan siswa untuk tinggal kelas, meskipun kemampuan mereka tidak memenuhi standar. Ini menjadi tantangan besar bagi kami dalam memberikan pendidikan yang berkualitas,” ujar Ivan saat diwawancarai ASPIRASI melalui Google Meet pada Kamis, (26/12).
Ivan menambahkan, tuntutan agar semua siswa naik kelas merupakan suatu bentuk upaya untuk memenuhi syarat akreditasi dan penilaian kepala sekolah dengan mempertaruhkan motivasi belajar siswa, mengingat nilai yang diberikan cenderung dinaikkan dan tidak sesuai dengan kemampuan asli siswa.
“Secara pribadi di kelas, siswa menjadi sangat malas-malasan, terus terang guru menjadi tidak ada harga dirinya lagi jadinya,” tambahnya.
Fenomena Mark-Up Nilai Menjadi Bukti dari Buruknya Sistem Pendidikan
Kilas balik tahun 2024, permasalahan mengenai kecurangan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Depok menyoroti buruknya sistem pendidikan.
Usep Kasman, kepala sekolah Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Depok mengungkapkan dirinya mendapati adanya beberapa siswa melakukan mark-up nilai rapor untuk mendaftar di SMAN 1 Depok.
Terbongkarnya mark-up rapor ini berawal dari adanya laporan Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) karena adanya perbedaan nilai yang tercatat dengan e-raport.
“Oleh Kemendikbud langsung dilihat di e-raport nya. Kalo di e-raport kan ga bisa bohong,” terang Usep saat diwawancarai ASPIRASI pada Jumat, (16/1).
Menurut Usep, sebanyak 21 siswa yang terbukti melakukan mark-up nilai langsung dikeluarkan dari formasi peserta didik baru tahun ajaran 2024.
“Tapi untuk pembelajaran silahkan di-drop (dikeluarkan). Akhirnya udah 21 anak itu di-drop,” ujarnya
Usep menambahkan, kasus mark-up rapor sudah ditindaklanjuti ke ranah hukum dengan pemberian sanksi kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) terkait yang melakukan mark-up berupa penurunan jabatan menjadi guru dan mutasi.
“Saya dengarnya sih, jadi guru lagi lalu dimutasi,” tambahnya.
JPPI Soroti Pentingnya Perbaikan Sistem Pendidikan Untuk Masa Depan
Melihat adanya praktik Mark-up dan kebijakan semua siswa naik kelas tanpa melihat kompetensi siswa, Ubaid Matraji selaku Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menilai bahwa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dewasa ini sangat tidak berkeadilan.
Menurutnya sistem yang tidak berkeadilan dan diskriminatif ini dapat mendorong siswa berpikir untuk menghalalkan berbagai cara kecurangan untuk masuk sekolah negeri.
“Selama sistem PPDB berbasis kompetisi yang ketat dan tidak adil, praktik pemalsuan nilai rapor, ijazah palsu, hingga jual beli bangku akan terus terjadi. Sistem ini masih diskriminatif dan akan terus melahirkan kecurangan serta ketidaksetaraan,” tegas Ubaid saat diwawancarai ASPIRASI melalui Google Meet pada Sabtu, (25/1).
Menurut Ubaid, kompetisi PPDB sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan yang inklusif. Setiap anak seharusnya memiliki akses yang setara ke sekolah tanpa harus bersaing secara tidak sehat. Jika regulasi tidak diperbaiki, kecurangan ini akan terus berulang setiap tahun.
Terlebih lagi, Ubaid menggarisbawahi pentingnya pendidikan karakter dalam kurikulum yang diajarkan kepada siswa di sekolah agar memiliki moral dan etika.
“Jika anak-anak sejak kecil sudah belajar berbuat curang, mereka akan tumbuh menjadi individu yang tidak memiliki moral dan etika, yang pada akhirnya merusak tatanan masyarakat,” ujarnya.
Ubaid menambahkan, dampak buruk tidak adanya penekanan pada integritas dan kejujuran dalam sistem pendidikan justru dapat membentuk generasi yang tidak beretika dan mengajarkan sifat kooperatif bagi siswa.
“Di sekolah itu anak-anak belajar tentang bagaimana berbuat curang, bagaimana melakukan penyelewengan, bagaimana menghalalkan segala cara, bagaimana melakukan tindakan-tindakan koruptif gitu,” ucap Ubaid menambahkan.
Ilustrasi: Meelfha Mg
Reporter: Akmal Mg & Meelfha Mg | Editor: Zhufar Athalla