
Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Kekerasan Ekstrem Bersenjata
Belakangan ini, aksi terorisme kembali marak terjadi di tanah air dan menimbulkan perbincangan hangat di tengah masyarakat. Pasalnya, kedua aksi terorisme yang terjadi di Makassar dan Mabes Polri beberapa waktu lalu, melibatkan perempuan sebagai aktor lapangan utama.
Aspirasionline.com – Hadirnya emansipasi, selain memberikan pergerakan yang positif dengan meningkatnya kesadaran para perempuan terkait kesetaraannya dihadapan laki-laki, ternyata juga memberikan dampak negatif dengan membawa nama kesetaraan oleh beberapa kelompok ekstremis. Salah satunya, kasus aksi terorisme di markas besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri) yang dilakukan oleh perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan RI, Alimatul Qibtiyah, turut menyayangkan penyalahgunaan emansipasi dalam perilaku negatif yang bersifat ekstrem ini. Alih alih menjadi suatu kemajuan, Alimatul berpendapat bahwa hal tersebut keluar dari jalur emansipasi yang selama ini digaungkan di tengah masyarakat.
“Sehingga kita perlu hati-hati untuk menyimpulkan keterlibatan perempuan di dalam kekerasan ekstrem itu dengan kesetaraan gender, karena memang mempunyai tujuan yang sangat berbeda,” ujar Alimatul pada ASPIRASI pada Rabu, (7/4) lalu.
Menurut Alimatul, setidaknya ada lima alasan keterlibatan perempuan di ranah kekerasan ekstrem semacam terorisme. Pertama, karena jumlah ‘pejuang’ laki-laki yang semakin menipis, membuat perempuan mau tidak mau harus terlibat dalam aksi terorisme.
Selain itu, pemanfaatan stereotipe gender yang masih melekat di tengah masyarakat juga menjadi salah satu sebab terlibatnya perempuan dalam terorisme. “Masyarakat itu kebanyakan meyakini perempuan itu enggak mungkin melakukan kekerasan. Karena dia (perempuan, red) kan dipahami masyarakat sebagai seorang yang lembut. Caring, gitu ya,” jelas Alimatul.
Tak hanya di kalangan masyarakat, pemanfaatkan stereotipe juga dilakukan di lingkungan teroris itu sendiri. Dimana perempuan acapkali digunakan untuk ajang membakar maskulinitas laki-laki.
“Ini loh, perempuan aja bisa. Kok kamu sebagai laki-laki enggak bisa sih,” sambung Alimatul.
Terakhir, budaya patriarki yang mengakar kuat di kelompok-kelompok ekstremis juga merupakan sebab perempuan terlibat dalam terorisme. Menurut Alimatul, bisa jadi perempuan mengikuti apa yang diinginkan suaminya atau oleh atasan laki-lakinya, atau oleh rekruter laki-laki.
Meskipun demikian, Alimatul menjelaskan, tidak ada perbedaan dalam kerentanan seseorang terpapar isu radikalisme, selama kemampuan berpikir kritis seseorang tersebut belum maksimal. Tak peduli gendernya, orang tersebut dapat dengan mudah terpapar paham miring tersebut.
Pencegahan Keterlibatan Perempuan dalam Kekerasan Ekstrem
Maraknya keterlibatan perempuan dalam kekerasan ekstrem, membuat pengarusutamaan gender untuk mencegah semakin luasnya isu tersebut, sangat diperlukan. Alimatul mengatakan, pengarusutamaan gender ini bisa dilakukan dengan menguatkan nilai kesetaraan dan keadilan.
Menawarkan tafsir agama yang moderat progresif, serta didukung dengan penanaman dan pembinaan untuk dapat berpikir secara kritis pun, dapat menjadi cara pengarusutamaan lain yang dapat dilakukan.
Lebih lanjut, Alimatul menjelaskan bahwa kebijakan mengenai pengarusutamaan gender sudah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, Instruksi Presiden ini masih mengalami berbagai hambatan dan tantangan.
“Namun demikian, memang tidak semudah membalik telapak tangan ya, untuk melakukan perubahan-perubahan pola pikir, perubahan-perubahan keyakinan dan lain sebagainya,” ujar Alimatul.
Berbagai hambatan dan tantangan juga ditemui pada kebijakan pemerintah mengenai pembinaan narapidana teroris perempuan. Hal itu tertuang dalam Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE).
Hal senada juga disampaikan oleh advokat publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBHJ), wl Rasyid. Menurutnya, walaupun masih dalam tahap uji coba, terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pembinaan narapidana teroris perempuan.
Di antaranya, yaitu aspek kuantitas dan kualitas petugas pembina, serta perspektif gender dan agama yang moderat di kalangan petugas.
“Karena pembinaan ini dia sifatnya lebih ke bagaimana membentuk pemahaman kembali bagi napi perempuan eks teroris ini agar punya perspektif, punya pengetahuan agama yang tidak ektrem gitu ya, yang pengetahuannya moderat,” kata Rasyid saat dihubungi ASPIRASI pada Rabu, (7/4).
Selain itu, Standar Operasional Prosedur (SOP) terhadap pembinaan narapidana teroris perempuan juga sangat diperlukan. SOP yang ada saat ini dinilai tidak mampu memfasilitasi pembinaan pada narapidana perempuan.
“Ketika yang dilakukan adalah pendekatan yang perspektifnya general, apalagi perspektif maskulin, bisa jadi pembinaan itu tidak berjalan efektif, ya,” jelas Rasyid kemudian.
Reporter: Natasya Mg. | Editor: Satrio Agassi.
Foto: Google.