Jajaran Redaksi LPM SUARA USU Dipecat Rektor Usai Memosting Cerpen LGBT
Setelah menonaktifkan laman berita LPM SUARA USU (Universitas Sumatera Utara) suarausu.co, Rektor USU lantas memecat pengurus dan anggota LPM SUARA USU 2018-2019 karena mempublikasikan cerita pendek bertema LGBT
Aspirasionline.com — Sabtu (22/3) laman berita Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) SUARA USU suarausu.co bisa diakses kembali setelah sebelumnya disuspensi oleh pihak rektorat USU pada tiga hari sebelumnya, Rabu (20/3). Hal ini terjadi pasca laman pers mahasiswa itu mengunggah cerita pendek berjudul ‘Ketika semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya’.
Cerpen yang ditulis oleh Yael Stefani Sinaga ini menceritakan tentang kaum minoritas LGBT yang didiskriminasi oleh lingkungannya. Cerita tersebut juga memuat foto perempuan berambut pelangi yang identik dengan LGBT.
Awalnya, cerpen ini telah diunggah di laman suarausu.co seminggu sebelum mereka menyebarkannya melalui Instagram SUARA USU. Dalam unggahan tersebut barulah cerpen yang telah dimuat sebelumnya mendapatkan reaksi keras dari masyarakat. SUARA USU dinilai mendukung gerakan LGBT. Lantaran dalam cerpen tersebut memuat kalimat ‘Apa salahnya? Bedanya aku tidak menyukai laki-laki tapi perempuan walaupun sebenarnya aku perempuan’.
“Itu alasan mereka (pihak kampus, red.) minta kita menarik cerita pendek tersebut,” ungkap Yael Stefani Sinaga, Pemimpin Umum SUARA USU, kepada ASPIRASI. Alasan lainnya, cerita itu juga dianggap sebagai konten vulgar. “Dari ceritanya itu sih karena katanya terlalu vugar dan tidak pantas untuk dipublikasikan di ranah kampus,” katanya.
Sehari sebelum laman mereka disuspensi, pengurus SUARA USU diminta Rusli, Wakil Koodinator Unit Jurnalistik LPM USU, untuk segera menarik cerita tersebut. Yael sebagai Pemimpin Umum SUARA USU tak serta-merta menurutinya. Menurutnya, tindakan itu harus ada pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak redaksi.
Selasa (19/3) pukul 13.00 WIB, sontak Yael ditemani Widya Hastuti selaku Pemimpin Redaksi dipanggil pihak rektorat. Saat itu mereka berdua dihadapkan dengan Muhammad Husni serta Pak Budi, staf ahli Majelis Wali Amanat (MWA). Mereka meminta untuk menarik artikel ini karena dianggap sudah meresahkan kalangan sivitas akademik USU.
“Kalian itu bukan wartawan Tempo yang bisa buat tulisan seperti itu, kalian itu mahasiswa,” ujar Yael mencontohkan omongan Husni. Menurut Husni hal tersebut lantaran SUARA USU merupakan media yang masih dinaungi dan didanai kampus, sehingga muatan tulisan yang dipublikasi mesti sesuai dengan visi misi kampus.
Mengenai laman yang tak bisa diakses, Yael menjelaskan bahwa itu terjadi karena pihak penyedia hosting secara tiba-tiba memutuskan kerjasama. Alasannya karena pihak penyedia hosting menilai suarausu.co telah memuat konten vulgar.
Dalam wawancara kepada tempo.co, Rektor USU Runtung Sitepu mengutarakan bahwa pihaknya yang telah mensuspensi laman tersebut. Saat itu, Runtung juga hendak mencabut Surat Keputusan (SK) UKM SUARA USU. Namun, Yael sendiri mengaku bahwa pihak rektorat tak memberi klarifikasi mengenai suspensi ini kepada LPM SUARA USU.
Selain pihak kampus, organisasi mahasiswa seperti BEM, MPM, dan mahasiswa USU juga ikut berkomentar, bahkan mendatangi sekretariat SUARA USU untuk meminta klarifikasi. Kendati telah dijelaskan, Yael mengungkapakan mereka tetap saja tak setuju dan meminta kepada pihak SUARA USU untuk membuat video permohonan maaf karena telah memuat cerpen tersebut.
Tak berhenti disitu, Yael mengungkapkan kritikan dan kecaman tersebut juga datang dari alumni SUARA USU. “Ada beberapa pihak yang membawa nilai dan norma agama. Ada pro dan kontra,” jelas Yael.
Meski banyak yang merespon negatif tentang cerpen tersebut, Yael mengaku tak begitu mempermasalahkannya. Sebab, menurutnya penafsiran dalam membaca sebuah karya sastra kembali kepada si pembaca.
Selama laman SUARA USU disuspensi, Yael mengaku proses kerja SUARA USU sama sekali tak terganggu. Kerja redaksi tetap berjalan seperti biasanya. “Hanya saja saat ini kami tidak bisa menggunakan website. Reporter-reporter SUARA USU pun masih bertugas dengan normal, tanpa halangan suatu apapun,” ungkap Yael.
Sabtu (23/3) laman suarausu.co sudah kembali bisa diakses. Namun, dua hari kemudian, pengurus dan anggota LPM SUARA USU diminta menghadap Runtung. Ia hendak menanyakan perihal cerpen dan karya sastra lainnya yang dianggap bermasalah –dinilai vulgar, mengandung pornografi, melanggar visi misi kampus, dan sebagainya. Selain itu, Runtung juga melarang keras mereka membawa telepon genggam dalam pertemuan itu.
“Pokoknya mereka itu memerintahkan kita buat nyimpen handphone ke dalam tas dan tas suruh dikumpulin,” ungkap Yael saat diwawancarai lanjut via WhatsApp.
Dalam pers rilis ‘Pers Mahasiswa SUARA USU Tentang Pencabutan Status Keanggotaan Oleh Rektorat Secara Sepihak’ yang dikeluarkan oleh Pengurus LPM SUARA USU, pada pertemuan senin itu Runtung mengatakan akan mengeluarkan pengurus dan anggota LPM SUARA USU periode 2019. SUARA USU diberikan waktu sampai Kamis (28/3) untuk membereskan sekretariat tanpa membawa dan merusak aset SUARA USU. Untuk kedepannya, Pembina SUARA USU akan melakukan rekrutmen dan akan diseleksi langsung oleh Runtung.
Yael menyayangkan tindakan sewenang-wenang tersebut karena mengekang kebebasan mereka dalam menulis. “Menjaga nama baik kampus itu bukan berarti kebebasan harus dikekang. Kalau semua dibungkam, fungsi kita sebagai pers mahasiswa apa?” katanya.
AJI Jakarta Menyesalkan Sikap dan Kebijakan Rektor USU
Ketua AJI Jakarta Abdul Manan merespon negatif kebijakan sepihak yang dikeluarkan oleh Rektor USU. “Saya sebagai Ketua AJI menyesalkan sikap kampus (USU, red.) yang tidak setuju dengan isi konten cerpen tersebut dengan cara memecat anggota persma. Itu penyelesaian yang tidak demokratis,” ungkapnya kepada ASPIRASI pada Selasa, (26/3).
Lebih jauh, Abdul Manan mendedah isi cerpen bertema LGBT yang ditulis Yael. “Ini terlalu berlebihan karena yang dipersoalkan mengandung pornografi, padahal sebenarnya cerpen itu masih bisa diterima dalam karya sastra.”
Dalam pernyataan lain, ia menegaskan kalau ia tak terlalu melihat unsur pornografi di sana. Penyampaian cerpen itu dinilai masih sopan. Ia berspekulasi jika ihwal mempromosikan LGBT lah yang mungkin menjadi ketidaknyamanan rektor. “Padahal, itu memang eksis dimasyarakat. Memang betul ada lesbianisme. Kampus jangan terlalu protektif, kecuali kalau (LGBT, red.) tidak ada,” kritiknya.
Abdul mengatakan, SUARA USU bisa melakukan protes dan menggelar diskusi untuk menguji secara objektif jika saja cerpen tersebut mengandung pornografi. “Bisa melakukan perlawanan dengan cara-cara yang bisa mendidik mahasiswa lain supaya gak nerima begitu saja kebijakan kampus yang gak demokratis,” ujar Abdul.
Dari eksternal kampus, SUARA USU juga dapat meminta dukungan dengan organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan dan jaringan pers mahasiswa seperti Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dengan mengirim surat solidaritas dan pernyataan dukungan. “Sikap pembelaan terhadap isu juga bisa dilakukan, karena dapat memberi moral kepada teman-teman mahasiswa USU lainnya. Juga untuk mengingatkan rektor tidak sewenang-wenang,” tutupnya siang itu.
Sampai berita ini diterbitkan, Rektor USU tak kunjung memberi tanggapan kepada ASPIRASI meski telah membaca pesan dan mengangkat telfon permintaan wawancara. Ia juga memblokir kontak reporter kami.
Reporter: Agung Mg. |Editor: Firda Cynthia