G30S Sebagai Dalih Suharto Merongrong Legitimasi Sukarno

Resensi

Judul buku: Dalih Pembunuhan Massal (Gerakan 30 September & Kudeta Suharto)
Penulis: John Roosa
Penerbit: Kendi
Tahun terbit: 2017
Cetakan: Kedua
Tebal halaman: 423 halaman

“Sejarah milik pemenang,” sebuah kalimat yang konon diucapkan Wiston Churchill, digunakan untuk mengambarkan penulisan sejarah yang tidak berdasarkan fakta tetapi hanya mementingkan sudut pandang penguasa semata. Dalam catatan penulisan sejarah di Indonesia, dominasi penguasa tampak mengukuhkan pengaruhnya dengan menuturkan sejarah berdasarkan sudut pandang yang mereka kehendaki, termasuk tragedi kemanusian Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Masyarakat seakan diberikan mitos-mitos menakutkan yang tidak pernah terbukti kebenarannya perihal G30S yang diklaim mereka didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal, masyarakat berhak untuk mengetahui informasi yang sebenarnya tanpa indoktrinisasi dari penguasa kepada rakyat. Sehingga dapat menimbulkan ketakutan yang berlebihan di masyarakat, bahkan bertahan hingga saat ini.

Akibatnya, terjadi sebuah paradoks dari apa yang diamanatkan dalam konstitusi, yaitu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Alih-alih dicerdaskan, masyarakat justru dibodohkan. Ideologi yang dianggap berbahaya bukannya dihadapi secara kritis dan argumentatif, tetapi ditabukan dan dimitoskan. Hal ini yang coba dibongkar oleh John Roosa, bahwa terjadi manipulasi sejarah yang coba dimainkan penguasa orde baru pada saat itu agar pengaruhnya tidak digoyahkan.

Buku ini pertama kali terbit dalam Bahasa Indonesia pada tahun 2008 oleh Insitut Sejarah Sosial Indonesia bekerjasama dengan Hasta Mitra. Buku ini sempat dilarang beredar oleh kejaksaan karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Apa yang dituliskan oleh John Roosa adalah sebuah pengingatan kembali mengenai Gerakan 30 September (G30S) yang menjadi awal mula perubahan di segala aspek kehidupan, baik itu sosial, ekonomi maupun politik yang menyebabkan pergantian rezim dari orde lama ke orde baru.

Menuntut Kejelasan Klaim Orde Baru

John Roosa membawa sejarah G30S yang ditutupi oleh pemerintahan orde baru. Ia menjelaskannya secara terperinci. Dibagian awal, John Roosa mengatakan bahwa Pemerintah orde baru bersikukuh mengatakan PKI dalang dari tragedi G30S. Tetapi nyatanya pemerintah tak mampu membuktikan kejelasan dari apa yang mereka klaim.

Dan jika memang demikian, maka pemerintah harus mampu menjelaskan siapa di dalam PKI yang mengorganisir gerakan tersebut. Apakah tiga juta anggota partai secara keseluruhan bertanggungjawab? Apakah sebagian? Atau hanya pimpinan partai? Apakah pihak itu central comite atau politbiro?

Sepanjang pemerintahan Suharto, pemerintah tidak pernah dengan tegas mengatakan siapa dalam PKI yang bertanggungjawab. Dengan secara terus-menerus menggunakan istilah PKI, masyarakat digiring bukan hanya tiga juta yang bertanggungjawab tetapi siapapun yang berhubungan dengan partai, termasuk organisasi sayap seperti Lekra dan Gerwani. Bahkan, petani-petani didaerah yang tidak tahu-menahu perihal PKI, turut menjadi korbannya.

Rezim Suharto memberi dasar pembenaran keberadaannya dengan menempatkan G30S tepat pada jantung narasi historisnya dan menggambarkan PKI sebagai kekuatan jahat tanpa pernah membahas mengenai hal positif dari keberadaan PKI, terutama andilnya dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di bawah rezim Suharto, antikomunisme menjadi “agama negara” lengkap dengan segala ritus, upacara, dan tanggal – tanggalnya yang sakral.

G30S untuk Batu Loncatan Rezim

Dalam buku ini John Roosa juga menjelaskan secara apik bagaimana Suharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Sukarno sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. Pengambilan kekuasaan Suharto dilakukan secara bertahap yang dapat disebut kudeta merangkak, dilakukannya di bawah selubung usaha untuk mencegah kudeta. Suharto menuduh PKI mendalangi G30S dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang orang yang terkait dengan partai itu.

G30S yang digunakan sebagai dalih untuk menjalankan kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966, harus dilihat sebagai awal pembangunan sebuah rezim baru ketimbang sebuah reaksi wajar terhadap G30S. Suharto dan perwira tinggi AD lainnya menggunakan G30S sebagai dalih untuk menegakkan kediktatoran militer di negeri ini.

Mereka perlu menciptakan keadaan darurat nasional dan suasana yang sama sekali kacau jika hendak menumbangkan seluruh generasi kaum nasionalis dan menyapu bersih cita-cita kerakyatan presiden Sukarno. Mereka mengetahui bahwa akan sulit melawan pemerintahan Sukarno karena masih didukung kuat oleh rakyat.

Bahkan peran pers pada saat itu seakan akan berhasil dilumpuhkan oleh Suharto. Koran-koran Indonesia bungkam tidak memberitakan adanya pembunuhan-pembunuhan. AD memberangus hampir semua surat kabar dalam pekan pertama Oktober 1965 sekaligus menyensor beberapa diantaranya.

G30S menjadi peristiwa penting hanya karena Suharto dan perwira disekitarnya pada awal Oktober 1965 memutuskan untuk memuat peristiwa ini mejadi penting. Mereka menggunakan G30S sebagai dalih membenarkan langkah-langkah yang memang sudah mereka rencanakan sebelumnya terhadap PKI dan presiden Sukarno. Ia menyembunyikan kudeta merangkaknya seolah tindakannya itu murni sesuai konstitusional dan dengan restu Sukarno untuk menggagalkan PKI.

Saya rasa buku ini cocok bagi masyarakat Indonesia baik itu akademisi ataupun masyarakat awam yang telah dibodohi oleh propaganda rezim orde baru. Masyarakat Indonesia berhak mengetahui sejarah bangsa yang sesungguhnya tanpa ditutupi oleh kepentingan elit penguasa.

Selamat membaca dan menemukan pandangan.

Penulis: Faisal Mg. |Editor: Firda Cynthia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *