Nyepi, Menyucikan Manusia Dan Alam
Aspirasionline.com- “Pada dasarnya, soal praktek perayaan hari raya Nyepi yang ada di Indonesia, khususnya dipulau Bali merupakan sebuah localgenius atau sesuatu yang hanya dimiliki oleh masyarakat lokal di daerah tertentu. Jadi tidak dilakukan oleh umat Hindu ditempat lain,” ujar Anggota Dewan Pakar Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), I Nengah Dana pada program talkshow Agama dan Masyarakat yang disiarkan oleh Tempo TV dan Radio KBR.
KBR, Jakarta- Bulan ini umat Hindu Bali merayakan Hari Raya Nyepi menyambut pergantian Tahun Baru Saka. Hari Raya Nyepi dilaksanakan pada 21 Maret ini dengan puncak acaranya adalah melakukan empat laku tapa brata, yaitu amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. “Itu adalah empat hal inti dalam perayaan Nyepi, yaitu tidak menyalakan api atau lampu, tidak bekerja, tidak bepergian dan tidak mencari hiburan,” ujarnya. Hari Raya Nyepi jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. “Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit,” ujar I Nengah Dana.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali. Perayaan Nyepi bukan sekadar salah satu hari raya terbesar umat Hindu, tidak hanya sekadar prosesi ritual atau upacara-upacara, pawai ogoh-ogoh dan sebagainya. Kata dia, setiap ritual atau rangkaian proses nyepi memiliki makna sendiri yang sangat bermanfaat bagi hidup. “Sehari sebelum hari raya Nyepi dilakukan Tawur Agung, biasanya mengarak-arak ogoh-ogoh, Acara ini diartikan menyucikan dunia agar damai,” ujarnya.
Hal itu terbukti, Perayaan Nyepi dengan Catur Brata Penyepian membuat Bali sebagai satu-satunya pulau di dunia yang mampu mengistirahatkan seisi pulau secara total sehari penuh dari berbagai aktivitas. Setahun sekali memberi kesempatan kepada alam semesta untuk bebas menghirup segarnya, udara tanpa asap dan polusi kendaraan dan mesin. “Setahu saya hanya nyepi yang sangat memerhatikan isu lingkungan dan itu terjadi di Bali dimana ketika kita meninggalkan semua aktifitas duniawi, alam pun menjadi asri,” ujarnya.
Rangkaian Acara
Anggota Dewan Pakar Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), I Nengah Dana menjelaskan, tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. “Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam,” ujarnya.
Selanjutnya sehari sebelum Nyepi, yaitu pada tilem sasih kesanga (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat. “mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar),” ujarnya.
Kata dia, Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Selanjutnya melakukan Mecaru, Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. “Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar,” ujarnya.
Keesokan harinya baru lah yaitu pada pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. “Kami tidak pernah terganggu oleh keberadaan turis di Bali selama rangkaian acara nyepi dilakukan. Khusus di Bali, penganut agama lain sangat menghormati perayaan hari raya nyepi, misalnya, Adzan itu diarahkan kedalam saja ketika berbarengan dengan nyepi,” ujarnya sebagai penutup.
“Pada dasarnya, soal praktek perayaan hari raya Nyepi yang ada di Indonesia, khususnya dipulau Bali merupakan sebuah localgenius atau sesuatu yang hanya dimiliki oleh masyarakat lokal di daerah tertentu. Jadi tidak dilakukan oleh umat Hindu ditempat lain,” ujar I Nengah Dana.
Meski demikian kata dia, Nyepi secara harfiah dilakukan oleh semua umat hindu dimana pun dia berada. Bahkan kata dia, apapun namanya, nyepi juga dilakukan oleh umat agama apapun diseluruh dunia. Pasalnya kata dia semua manusia dalam dirinya memerlukan proses nyepi untuk melakukan introspeksi diri atas semua perbuatan yang dilakukan sebelumnya agar lebih baik kedepannya. “Setiap ciptaan selalu diciptakan sinar tuhan, disitu nyepi dilakukan untuk merenung mencari kedamaian dalam keheningan. Pada dasarnya semua manusia sangat membutuhkan nyepi, hanya penyebutannya saja yang berbeda jika dilakukan oleh penganut agama lain,” ujarnya.
Sumber : KBR68H