RUU Kesehatan Tetap Disahkan: Duka Mendalam Nakes Indonesia
Bukan tanpa sebab, penolakan RUU Kesehatan dinilai kurang melibatkan partisipasi publik dan berbagai stakeholder. Perancangan yang terkesan tergesa-gesa juga menyebabkan banyak peraturan yang cenderung mempersulit tenaga medis dan kesehatan.
Aspirasionline.com – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-undang (UU).
Pengesahan atas UU Omnibus Law tentang Kesehatan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-29 masa persidangan V Tahun 2022-2023 pada Selasa, (11/7).
Dalam rapat yang dapat disaksikan masyarakat secara langsung melalui kanal YouTube DPR RI tersebut diketahui bahwa UU Kesehatan disahkan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani.
“Sekali lagi, kepada seluruh anggota dewan. Apakah Rancangan Undang-undang tentang Kesehatan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan kepada peserta rapat, Selasa, (11/7).
Setelah hampir semua peserta rapat mengatakan setuju, Puan mengetok palu sekaligus menandai disahkannya UU Kesehatan.
Sebelumnya, saat masih berbentuk RUU, banyak kalangan dengan vokal menolak adanya RUU Kesehatan yang diharapkan akan menjadi tonggak awal transformasi pelayanan kesehatan dan bertujuan untuk meningkatkan sistem kesehatan nasional.
Dokter dan tenaga kesehatan (nakes) dari berbagai organisasi profesi kesehatan kerap kali melakukan aksi demonstrasi menolak RUU Kesehatan secara damai di berbagai kesempatan.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengungkapkan kritiknya terhadap beberapa aspek yang diatur dalam RUU Kesehatan. Menurutnya, dalam RUU Kesehatan saat ini menggunakan pendekatan industri kesehatan. Seharusnya pendekatan yang digunakan adalah pemenuhan hak atas kesehatan.
“Sehingga kalau mau mengubah UU Kesehatan yang jadi goal (tujuan) politik hukumnya harusnya itu pemenuhan hak atas kesehatan. Nah, kalau UU yang sekarang ini adalah pendekatannya menurut saya adalah industri kesehatan. Industri dan kontrol pemerintah,” ujar Bivitri saat diwawancarai reporter ASPIRASI pada Jumat, (7/7).
Ia juga mengungkapkan alasan pemerintah menggunakan pendekatan industri kesehatan.
“Memang sengaja untuk mengambil kepentingan-kepentingan yang sifatnya untuk industri kesehatan, untuk mengambil keuntungan dari pelayanan kesehatan mungkin dari obat, alat kesehatan, profesi kesehatan, rumah sakit, dan seterusnya,” lanjutnya.
Minim Partisipasi Publik dalam Perancangan UU Kesehatan
Perumusan RUU Kesehatan dinilai tidak melibatkan semua pemangku kepentingan, seperti organisasi profesi, dokter, nakes, dan masyarakat.
Dokter praktisi sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) Isniani Ramadhani Sekar Prabarini menyayangkan hal tersebut.
“Kita sebagai masyarakat dan dokter itu kan stakeholder, masyarakat juga stakeholder, kami dokter juga stakeholder harusnya didengarkan pendapatnya, terus diberi penjelasan,” ucap Isniani kepada ASPIRASI pada Rabu, (5/7).
Menurut Isniani, tidak adanya upaya dari pemerintah untuk mengajak stakeholder terkait serta meminta untuk dapat berbincang bersama dalam perancangan UU Kesehatan.
“Yuk, diajak masyarakatnya, gitu, loh. Stakeholder kan salah satunya kan tenaga medis dan nakes. Ajak deh mereka, jangan dianggap musuh,” lanjutnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Bivitri. Ia mengaitkan dengan alasan para dokter dan nakes melakukan demonstrasi.
“Makanya dokter juga kan udah demonstrasi ya, segala macam profesi kesehatan sudah demo karena mereka menganggap mereka tidak dianggap, tidak diajak untuk berpartisipasi secara bermakna,” ujar Bivitri.
Bivitri beranggapan bahwa pertemuan yang terjadi sejauh ini belum sesuai dengan partisipasi bermakna yang benar sesuai dengan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Mungkin ada pertemuan, tapi kan partisipasi bermakna kalau menurut MK harusnya ada hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk mendapatkan pertanggungjawaban atas pertimbangan kita,” tukasnya.
DPR Dianggap “Kejar Setoran”
Pembahasan RUU Kesehatan dinilai dilakukan secara terburu-buru. DPR yang sedikit lagi habis masa periodenya dianggap sedang “kejar setoran”.
“Menurut saya, pemerintah ini mau mengambil jalan yang instan supaya cepat ‘kejar setoran’ untuk seakan-akan pemerintah ini sudah melakukan sesuatu,” tuding Bivitri.
Bivitri mengkritisi pembentukan RUU dengan menggunakan teknik perancangan Omnibus Law yang dinilai banyak memiliki kelemahan.
“Dia akan menyembunyikan banyak detail karena judulnya saja sudah akan mengecoh. Judulnya UU kesehatan, isinya sebenarnya sembilan UU,” ujar Bivitri.
UU Kesehatan yang di dalamnya terdapat sembilan UU juga seakan meminggirkan partisipasi masyarakat.
“Nah, ini satu UU tapi sebenarnya di dalamnya ada sembilan UU lain yang stakeholder-nya lebih banyak, dan itu semua tidak bisa dijangkau dengan waktu yang terbatas,” ujar Bivitri.
Terlalu banyaknya isu yang dibahas dalam hanya satu UU juga seringkali dikritik. UU ini mengatur tentang UU tentang kedokteran, UU kesehatan itu sendiri, dan UU pendidikan.
Terkait dengan UU Kedokteran dalam UU Kesehatan, permasalahan terkait kondisi kerja dokter dan nakes pun tak dapat terelakkan. Hak-hak dari dokter dan nakes beserta kepastian hukum dalam praktik pun tidak dijelaskan secara gamblang di UU Kesehatan.
Isniani membandingkan kepastian hukum para dokter sebelum adanya UU Kesehatan dengan setelah adanya UU Kesehatan.
“Dengan UU Kesehatan, UU Kedokteran, UU Rumah Sakit, ya ada empat tuh ya yang kita pegang, itu kita aman, kita (nakes) merasa ada kepastian hukum,” tutur Isniani.
Berbanding terbalik dengan kepastian hukum yang tidak terjamin pada UU Kesehatan terbaru. Hak dokter tidak dicantumkan pada UU tersebut. Meskipun nantinya akan ada Peraturan Pemerintah sebagai pengganti, tapi kepastian tersebut tidaklah cukup.
“Kalau peraturan pemerintah kan di bawah UU, sedangkan sebelumnya itu ada di UU. Jadi, pasti ada kepastian hukum buat kami (nakes). Tapi kalau sekarang kan, di Omnibus Law UU untuk hak si dokter itu nggak ada, tapi hak untuk pasien ada, kan lucu,” tutup Isniani.
Foto: Mediaindonesia.com
Reporter: M. Athaya Primananda. | Editor: Daffa Almaas.