Bawaslu: Lebih Praktis Suap Petugas Pemilu Ketimbang Pemilih

Nasional

Aspirasionline.com – Partisipasi warga dalam pengawasan pemilu dinilai mengalami penurunan. Pada Tahun 1999, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) memiliki sekitar 200 ribuan pemantau. Pada tahun ini jumlah pemantau pada Pileg cuma 1500-an. Padahal pengawasan pemilu menjadi hal yang krusial untuk menentukan kualitas hasil pemilu itu sendiri. Dikhawatirkan, pemilu dengan kualitas buruk, memunculkan pemimpin yang buruk pula. Padahal, pengawasan sendiri tidak mungkin hanya diserahkan kepada lembaga pengawas seperti Bawaslu atau panwaslu. Hal ini mengingat keterbatasan jumlah anggota yang berdampak pada keterbatasan cakupan pengawasan.

Bawaslu mengaku jumlah pengawas lebih sedikit ketimbang Tempat Pemungutan Suara TPS. Tim Ahli Pengawasan Bawaslu Muslim Aisha mengatakan, seorang pengawas Bawaslu mesti memantau beberapa TPS. “Bisa dibayangkan jumlah kita, meskipun di tingkat desa, tidak sebanding dengan jumlah TPS yang ada. Misalnya satu desa kita ada tiga orang. Padahal setiap desa banyak TPS,” ujar Muslim Aisha dalam program Pilar Demokrasi di KBR dan Tempo Tv.

JPPR menilai ada sejumlah alasan menurunnya tingkat partisipasi pengawasan masyarakat di luar Bawaslu. Pertama, Manager Pemantauan JPPR Masykurudin Hafidz mengatakan, partisipasi menurun seiring meningkatnya jumlah golput. Padahal, pemantau mestilah orang terpilih yang memahami hukum pemilu. Artinya, gairah masyarakat terhadap demokrasi menurun. Kedua, banyak pemantau JPPR, terutama yang sudah memiliki pengetahuan mengenai pemilu, direkrut oleh berbagai pihak. Para lulusan pemantau JPPR itu menjadi saksi parpol, caleg, anggota Bawaslu dan bekerja di lembaga survei.

Untuk itu, Bawaslu mendorong peran serta masyarakat dalam mengawasi pemilu. Bawaslu mengaku sangat terbantu dengan peran serta masyarakat dalam pemilu legislatif lalu. Untuk membantu masyarakat ikut mengawasi pemilu, Bawaslu menjembatani Gerakan Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu yang terbentuk sejak sebelum pemilu legislatif dimulai. “Kita makin perkuat, tingkatkan dari sisi jumlah. Jumlah kita 60 ribuan,” ujar muslim. Namun, ia mengaku gerakan ini memiliki keterbatasan. Di antaranya tidak semua relawan memiliki kemampuan IT untuk menggunakan computer dan internet.

Meskipun secara jumlah pengawas pemilu yang terdaftar menurun, JPPR menilai meluasnya penggunaan teknologi informasi memudahkan pengawasan. Manager Pemantauan Masykurudin Hafidz mengatakan pelaporan dugaan pelanggaran menjadi cepat tersebar luas. “Sekarang ini ada perkembangan yang sangat baru untuk meningkatkan partisipasi itu. Ada kemajuan yang sangat luar biasa dalam teknologi informasi dan media sosial kita. Orang bisa sangat cepat menemukan sesuatu di lapangan dan menyebarkannya lewat banyak media. Sehingga orang yang punya gadget bisa memfotonya dan mengirimkan, misalnya ke KBR,” paparnya.

Bawaslu dan JPPR sepakat, ada sejumlah titik kerawanan yang mesti dipelototi dalam penyelenggaraan pemilu presiden depan. “Kita akan kembangkan proses GSR sampai pada tahapan kampanye, ini juga sudah jalan. Masa tengah adalah masa yang sangat krusial, meskipun tenang, justru gerakan-gerakan tersembunyi ini datang di masa tenang,” kata Muslim Aisha dari Bawaslu. Gerakan tersembunyi itu contohnya adalah kampanye terselubung dan politik uang. Selain itu, Gerakan Sejuta Relawan yang dijembatani Bawaslu tentu akan mengerahkan seluruh tenaganya pada hari pemungutan suara.

JPPR membenarkan bahwa politik uang akan semakin gencar pada masa tenang. Masykurudin Hafidz dari JPPR mengatakan, pengawasan akan fokus pada politik uang dan intimidasi di hari pemilihan. Ia mengaku, timses mulai melakukan politik uang secara sistematis. Caranya dengan menyuap orang berpengaruh, bisa kepala suku, keluarga atau tokoh masyarakat, dan memaksa ia menggunakan pengaruhnya untuk mengarahkan memilih calon presiden tertentu. Bawaslu menambahkan, timses yang curang mulai jeli menggunakan uangnya. “Lebih praktis menyuap petugas penyelenggara pemilu ketimbang pemilih,” ujar Muslim Aisha. Aisha menilai, timses menganggap cara itu lebih efektif ketika harus mengucurkan dana.

Bawaslu menambahkan, relawan pemilu juga mesti dipantau secara ketat. Muslim Aisha mengatakan, “Relawan pendukung capres berbahaya karena jumlahnya terus bertambah dan tidak tersentuh regulasi.” Sebab, Undang-undang Pemilu Presiden hanya menyebut timses atau juru kampanye yang bisa dikenai hukum pemilu, bukan relawan yang tidak terdaftar secara resmi sebagai timses dan jurkam. Untuk itu, Bawaslu tengah mendorong agar relawan masuk dalam timses supaya bisa dijerat dengan hukum pemilu.

Sumber : KBR68H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *