Belum genap dua tahun aku disapih, Ibu pergi meninggalkan kami. Ke tanah asing untuk bekerja, tanah laknat kata Nenek. Karena Ibu belum juga kembali bahkan sampai aku umur tujuh belas.
Tetapi kini, aku berdiri di atas kapal pompong kecil yang baru saja angkat labuh dari dermaga kampung, berjejalan dengan anak-anak tanggung dan orang dewasa yang berjongkok, berpeluh, menggenggam bawaan yang tak seberapa, menggantungkan harap di tanah laknat. Di tanah tempat Ibu berada. Tanah Melayu.
Belum genap hidup sepenuhnya, sebagian besar dari kami sudah menggadaikan harap dan keringat. Untuk perut, untuk hutang, untuk keluarga yang tak kunjung sejahtera. Dan tanah laknat seakan memiliki rumput terhijau untuk buruh migran seperti kami.
Dingin selalu menusuk tulang pada malam di Pulau Kundur, Kepulauan Riau. Malam ini tiada berbeda, hanya kini, aku berlayar menjauh dari dermaga. Perlahan meninggalkan satu-satunya rumah yang kumiliki, rumah bersama Nenek, rumah dengan kenangan terakhir tentang Ibu. Walau kini, tak ada lagi hangat dari ingatan itu, semua telah berubah sedingin angin laut malam, terganti pahit dan getir kemiskinan yang diwariskan keduanya padaku.
***
“Uang beli obat ada, Nek?”
“Ada,” sahut Nenek dari teras depan, terlalu cepat seakan ia hampir bilang tidak. Suaranya cukup besar untuk sampai ke ujung rumah, tempatku berjongkok diantara ember cucian baju. Nenek kembali batuk, kali ini lebih panjang, sesak.
Sementara tangannya sudah memerah, lecet mencuci setengah ember lainnya tadi. Telah kusadari ember banyak berkurang dari biasanya, dan Nenek makin sering murung karena banyak yang tidak meminta lagi jasa cuci kami. Aku masih berpikir saat itu kami baik-baik saja.
Namun, batuk Nenek tak bisa bermuka dua. Selama yang bisa kuingat Nenek memang sudah batuk-batuk, bahkan ia dulu senang bersenandung. Kini, suaranya terlalu parau dan berat, mirip suara Datuk Wan yang saban hari mengepulkan asap kreteknya di warung. Ia juga semakin cepat lelah, sehingga kadang upah dari kebun karet pun dibayarkan hanya setengah. Kadang, aku harus memikul keranjang karet miliknya dan mengambil dua kali lebih banyak getah karet, tetapi hal ini cepat diketahui Engku Hiznudin, sang bos kebun, dan ia tidak senang.
Sore di Pulau Kundur sepi. Ku intip Nenek dari daun pintu kamar yang sedikit terbuka. Kadang, Nenek akan membuka kamar itu, kamar yang mengurung sesal dan dikunci oleh kebencian. Di dalamnya, tergantung kemeja lusuh yang ibu pakai saat difoto. Udara apak bercampur dengan bau kamper dan parfum, seakan waktu terhenti di kamar ini. Kamar Ibu.
Yang wajahnya tampak buram dalam benakku selain dari foto yang Nenek simpan di laci lemari. Yang sisa kenangannya adalah figmen imajinasiku. Yang lima belas tahun lalu pergi meninggalkanku dan tidak pernah benar-benar aku kenali.
Di kamar inilah Nenek duduk dan menangis. Dia tidak pernah menangis di depanku. Namun, baru ku tahu, saat berdiri di atas kapal pompong, bahwa Nenek tidak pernah benci pada Ibu, ia benci pada dirinya yang gagal menjaga putrinya untuk tetap berada di kampung. Ia tidak lagi membingkai foto buah hatinya bukan karena benci, melainkan karena bingkainya telah pecah, dan kami tak bisa membeli gantinya.
Perabotan rumah juga perlahan menghilang, kupikir Nenek benci lemari kayu di kamar Ibu. Ternyata ia jual pada Datuk Lembo tempo hari. Atau kotak berukir yang ia pegang rapat saat memintaku menemaninya ke rumah Tengku Ghazali. Baru ku tahu isinya adalah gelang-gelang yang ia jual dengan berat hati. Semua hilang satu-satu, bukan karena tentang Ibu, melainkan demi beras yang ada di dapur.
Maka aku semakin banyak bekerja. Mengayak tepung, menjahit jaring, pergi ke kebun karet, tetapi tidak pernah dapat bekerja di toko pasar, “Takut-takut kau salah hitung nantinya,” kata encik-encik pasar. Mereka tidak percaya pada bocah yang tidak pernah sekolah.
***
Saat surau menggemakan azan subuh, Nenek bangun untuk memasak air di ceret. Lalu saat terang aku akan berangkat ke gudang tepung. Tetapi pagi itu, aku masih di rumah saat kedua lelaki itu datang.
Mereka mirip babi marah yang pernah kulihat saat di hutan. Gendut, berleher tebal dan mata mengendus lapar. Nenek mengenali keduanya dan aku mengais memori samar akan wajah dua babi ini. Sepertinya mereka pernah datang, tetapi aku tidak pernah bertemu muka.
Kusadari air muka nenek berubah pias, “Antar pakaian Engku Saleh sebelum ke gudang, jalan cepat-cepat!” katanya dengan tergesa. Dan aku mengerti ini adalah soal uang. Mereka babi pengendus uang.
Dan hari itu, akhirnya datang juga. Aku baru sampai rumah agak malam, setelah mengambil upah Nenek di rumah Engku Hiznudin. Saat kulihat rumah gelap gulita. Daun pintu menganga. Dalam kegelapan, rumah porak-poranda.
Kamar seperti dimasuki babi hutan, lemari pakaian kosong. Baju bertebaran di lantai. Nenek, dalam kalutku, ketemui memegangi selang kompor di dapur. Rambut yang biasa dicepol, berhamburan. Matanya lebam dan bibirnya sobek berdarah.
Dalam tatapnya yang nanar, baru kuketahui rumah kami memang didatangi babi. Adalah kedua lelaki pagi tadi yang kembali, tidak sabar menagih hutang. Tidak sabar barang sebentar menunggu upah Nenek yang kubawa, walau tidak akan menutup hutang yang terlanjur besar.
Berjongkok di atas kapal pompong, dibawah terpal bocor, wajahku ditampar angin laut. Asin. Perih. Kusadari nenek bergulat mempertahankan tabung gas. Harta terakhir kami, harga diri kami, cuma sebuah tabung gas.
Dua minggu kemudian, Nenek meninggal karena sakitnya tak pernah diobati. Upah yang kuambil adalah upah terakhirnya. Nenek memang tidak pernah punya uang untuk membeli obat karena apa yang lebih penting dari sembuh? Bertahan dari lapar.
Nenek sempat berbisik untuk menggali lubang di dekat sumur kami, di sana ada tiga gelang emas yang dapat menghidupiku, dan cukup untuk biaya menguburkannya. Pada hari-hari sebelum kematiannya, aku baru sadar selama ini batuknya telah berdarah, namun ia sangat lihai menyembunyikannya.
Maka saat nisan kayu ditancapkan, aku tidak sekalipun melihat kebelakang. Nenek boleh menyebutnya tanah laknat, tapi apa yang lebih buruk dari hidup di tanah sendiri yang berbayang mati?
Tiga malam lalu, aku berdiri di depan pintu rumah besar dekat pelabuhan. Separuh penduduk melihatku, tapi tak ada yang menegur sedikitpun. Seakan tahu hendak kugadaikan nasibku. Dua gelang tandas diraup lelaki paruh baya buncit. Ia tak banyak bicara, tapi kulihat sorot matanya tak lepas dari gelang itu.
“Tiga hari dari sekarang. Pelabuhan selatan pulau. Malam hari. Bawa seperlunya. Jangan ajak siapapun,” ujar lelaki itu.
Dan kini, aku berlayar di perairan, melepas kenangan atas Nenek, atas kampung, atas rumah yang pernah menaungi. Foto ibu kulipat dalam saku. Aku memang belum mengenalnya, tetapi gugatan kepada dunia, pada hutang-hutangnya, pada kepergiannya, akan mengantarkanku padanya.
Di tanah laknat.
***
Kelip cahaya pulau sudah lenyap sepenuhnya, dan kami berlayar menuju kegelapan. Beberapa laki-laki membuat sebuah lingkaran, berjongkok, sementara yang lain masih diam ditelan harap, atau khawatir? Entahlah. Aku cukup dekat untuk mendengar percakapan mereka.
“Datuk Lembo kata, kalau nak pergi kat Batam naik kapal ferry, hanya tiga jam. Naik ini? Bisa tiga hari,” ujar lelaki kurus di tengah. Matanya cekung dan ia memeluk tas selempang tipis di dada, seakan berisi nyawanya. Tiga hari? Apa Ibu dulu juga seperti ini? Apa yang Ibu bawa? Sedang apa ia saat itu di kapal?
Aku membuka mata yang tak terlelap dan sekujur tubuhku langsung kaku, karena ibu, dengan kemeja lusuh seperti di foto, kini berada di ujung kapal, duduk di antara dua wanita lainnya. Ia menunduk dan menyeka air mata, kemudian menciumi sebuah kertas berukuran kecil dan menyimpannya di saku dada. Ia menatap kearahku, dan dalam kedipan mata, ia menghilang. Kini tempat itu kosong, dan dua wanita tadi masih disana.
Mimpi-mimpi tentang Ibu sudah lama kusimpan rapat, karena pada malam-malam paling sunyi pun, ia sering tidak datang dan hanya menyisakan rindu atau jarak yang terasa terlalu nyata bagiku. Tetapi kini ia benar-benar hadir, di antara mata yang terbelalak, dan tidak terlelap.
Aku kembali terbangun saat perutku terasa perih. Langit masih gelap. Tetapi ketika membuka tas, entah sinar bulan atau lampu petromak yang digantung rendah di balik terpal, memantulkan kilau gelang yang kusimpan di atas tumpukan baju.
Dua lelaki bertubuh besar yang sedari tadi hanya berbincang berdua menoleh cepat ke arahku, berhasil membuatku bergidik melihat bekas luka sayat di wajahnya, lelaki yang satu lagi masih lebam-lebam. Mereka menyeringai dalam remang. Hatiku mencelos sampai ke dasar laut.
Firasatku mereka bukan di sini untuk bekerja, lebih seperti, untuk kabur. Entah dari siapa, tetapi gelangku terlanjur menarik perhatian. Dan di saat inilah angin kencang menghantam terpal kapal, membuatnya tersibak-sibak seperti layar.
Seketika aku melihat situasi kapal berubah. Di tengah laut yang sama, tetapi kini sedang hujan. Aku kembali melihat Ibu, badannya setengah basah memeluk lutut, melempar tatap takut. Ia menatapku saat petir menyambar di atas sana, dan aku merasakan takut yang luar biasa dalam dirinya.
Lalu suasana kapal berubah kembali. Terpal tidak lagi berkibar. Malam kembali tenang. Hanya saja dua pasang mata masih memperhatikanku. Rasa takut milik Ibu, berpindah dalam dadaku.
Hari di kapal pompong terasa begitu lambat. Siang tadi seseorang muntah-muntah, yang lainnya menunduk lesu. Masing-masing membawa bekal tetapi tidak ada yang bilang perjalanan akan sampai tiga hari, sehingga kami harus hemat makan.
Aku mulai khawatir apakah aku dehidrasi sampai halusinasi. Tapi sejujurnya, kupikir tak ada ruginya berhalusinasi, di tengah kehidupan getir ini, aku bisa melihat ibu. Lalu malam datang lagi. Heningnya pecah karena keributan. Beberapa laki-laki protes pada supir kapal, yang baru kusadari memiliki aksen melayu lebih kental dari kami.
“Kapan sampainya? Kenapa lama sekali? Menunggu kami mati di laut?” ucapnya dan dalam hati aku juga terus bertanya demikian.
Kini bahkan agak lebih berani untuk mengucap tanya, “Bu, kapan kapal ini akan sampai?” seolah ia adalah pendampingku dari masa depan.
Di hari ketiga, aku mulai bertanya-tanya mengapa bukan Nenek yang kulihat dalam perjalanan ini. Kutemui jawabannya, pertama, Nenek pasti mengutukku bertahun tahun lamanya kalau ia sampai tahu aku jadi buruh migran seperti Ibu, yang kedua, aku telah menguburkannya, sehingga perpisahan kami sudah jelas batasannya. Itu membuatku bertanya apakah aku pernah berpisah dengan Ibu?
Siang terik yang mengantar hawa pengap di dalam kapal, bekal air minum sudah habis dari tadi malam, dan kini aku seperti pasir panas pantai pulau. Kering, kasar dan marah.
Aku merasa marah pada Ibu yang begitu mudah meninggalkanku dan begitu mudah hadir lagi di mimpi, atau pada Nenek yang berusaha begitu kuat menguburkan semuanya untukku, tetapi malah pergi lebih dulu. Juga pada diriku, yang menggadaikan hidupnya untuk menjadi buruh migran di negeri antah berantah.
Gerung motor kapal berhenti, kami melambat. Kami semua melongok keluar kapal. Menatap pelabuhan sepi dengan kapal-kapal pompong yang berbaris rapi di tepian. Ku lihat Ibu di kejauhan. Baru turun dari kapal serupa, di tangannya? Surat kecil, foto seorang bayi, yang ia cium dan dekap kembali di saku dada. Fotoku.
“Pelabuhan Kasu. Pelabuhan terluar Kota Batam,” lelaki kurus bermata cekung memandangi papan nama yang tertancap. Pelabuhan sangat sepi, dan dermaganya adalah kayu yang berdecit saat kami pijaki. Supir pompong menelpon seseorang, tak lama, beberapa laki-laki datang. Aksen mereka lebih kental. Dari bisik-bisik, mereka orang Malaysia.
Kami digiring masuk pada sebuah gudang kosong dekat dermaga dan diberi minum serta makan seadanya. Nasi, tempe, dan kangkung basi. Lalu mereka berbicara, tentang surat jalan, identitas baru, serta membuang komunikasi.
Mereka mulai melucuti bawaaan kami satu persatu, memeriksanya. Kami dipegangi lelaki berbadan paling kekar. Dalam gudang terdengar protes-protes membumbung di udara. Dompet, telepon, Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan apa pun yang menjadi identitas warga negara, diambil. Tas ku tidak banyak isinya tetapi sudah terlambat untuk mengambil gelang itu, maka ia berdenting ketika menyentuh lantai, dan mereka tersenyum. Aku kembali merasakan takut seperti saat Ibu mendengar petir.
Sore berubah jadi malam. Kami masih terkunci di gudang. Beberapa tidur meringkuk, yang lain menatap kosong karena mungkin sudah sadar nasib kini terasa lebih nyata. Aku meringkuk di dekat tembok dan membayangkan Ibu, di gudang ini. Ibu tak perlu datang lewat mimpi, karena aku merasakan takutnya lewat gudang ini. Ia agaknya sudah bersamaku sejak awal bahkan tanpa harus termaterialisasi.
Sekitar tengah malam, gerendel pintu gudang dibuka. Kami digiring masuk ke kapal pompong lagi. Yang kudengar, kami akan ke Tanjung Bemban, Batam.
“Jangan banyak cakap-cakap, kalau tertangkap, habis mati engkau semua,” hardik lelaki dengan kalung salib di lehernya.
Udara dalam pompong amat pekat dengan takut. Wajah-wajah yang lusuh dan berkeringat memandang satu sama lain. Kami tidak lagi berlayar di perairan terbuka, kini memasuki anak sungai sempit dan udara seakan tak bergerak. Motor pompong jadi satu-satunya suara pemecah malam.
Aku kembali melihat Ibu. Dadanya kembang kempis gugup, tetapi cepat hilang, kurasa adrenalin terlalu tinggi untuk bisa berhalusinasi. Pompong kami nyaris menabrak batang mangrove tua. Kami menyibak terpal karena terlalu pengap di dalam, dan baru sadar malam tak lagi berbintang. Daun-daun menutup langit dan bau lumpur serta nyamuk menyerbu kami. Semua diam, bahkan supir pompong mematung.
Dalam desing motor dan degup jantung yang menderu, akhirnya kami keluar dari muara berkelok. Terbentang perairan selat yang gelombangnya beradu di gelap malam.
Di kejauhan sinar lampu-lampu Johor tampak seperti kelap-kelip bintang, jauh dan penuh janji. Tetapi kami tidak memusingkan bintang, saat pompong kami meliuk-liuk di antara gelombang pasang dan kapal-kapal raksasa.
Laki-laki yang kemarin ribut beraksi lagi, dalam ombak hebat ia mengoceh kalau-kalau agen kami tidak datang, atau kalau kami terlanjur tenggelam. Perempuan di sebelahku merapal doa keras-keras untuk menghalau ocehan, dan aku hanya menatap langit, bertanya, “Bu, apa begini caraku mati?”
Dua jam paling lama dalam hidupku berlalu. Tidak sama sekali Ibu hadir di dalamnya. Mungkin karena ketakutan ini harus dijalani diriku seorang. Tetapi aku tidak mati. Deru motor hilang sepenuhnya. Supir berbisik dengan kencang untuk kami melompat dan berenang ke tepian bibir pantai. Satu persatu walau ragu, lompat ke air.
Air asin memasuki hidungku dan aku lupa betapa beratnya air laut berombak untuk diselami. Kami berenang di antara sorot lampu menara penjaga pelabuhan yang berputar-putar. Tetapi saat mencapai bibir pantai, aku menggenggam erat pasir Johor yang menyambut. Tidak dengan hangat, tetapi asing. Kusadari inilah tanah laknat yang Nenek kutuk. Dan aku mulai berpikir ia tak menerima dengan hangat, tapi terpaksa aku pijak.
Apa Ibu juga tiba seperti ini? Aku mengentaskan pikiran itu. Aku, untuk pertama kalinya, merasa takut yang amat sangat, menjalar dari tulang belakang. Akan nasibku, di negeri ini. Dan alasan kenapa Ibu belum kembali, menungguku di seberang dinding pelabuhan.
Catatan Penulis :
Kisah ini adalah bentuk penghormatan terdalam bagi para pekerja migran Indonesia yang terus berjuang. Mereka adalah wujud asli para buruh yang tidak dinaungi lembaga pasti, dan nasibnya seperti kapal pompong kecil yang harus membelah perairan Kepulauan Riau. Mereka adalah suara yang senantiasa ada meski tak bising, bukan karena tidak berteriak tetapi kadang terlalu jauh untuk tergaung di Ibu Kota. Mereka bukan hanya angka yang kita lihat di televisi, kisah hidup mereka bukan hanya data tahunan belaka.
Ilustrasi: Marcos Chin
Penulis: Adinda Rachma, Mahasiswa Hubungan Internasional Angkatan 2024, UPNVJ (kontributor)
Editor: Ihfadzillah Y