Menengok Perjuangan Seniman Jalanan Muchtar Bersama Boneka Marionette

CategoriesTokoh

Dari Jakarta hingga ke Padalarang merekam perjuangan perjalanan karier, Muchtar sebagai seniman jalanan yang menaruh seluruh kehidupannya pada seutas benang dan boneka kayu marionette. 

Aspirasionline.com— Ketika gemerlap seni pertunjukan kian menghilang dari permukaan,  di sisi lain, seorang pria berusia 69 tahun masih setia mengikatkan dirinya pada seutas benang dan boneka kayu marionette sebagai jalan hidup utama. 

Namanya Muchtar, seorang seniman jalanan. Kota Jakarta menjadi pelabuhan pertamanya dalam menapaki dunia seni pertunjukan, khususnya dalam seni boneka marionette yang kini melekat dalam hidupnya.

Ya dulu kan di Jakarta Kota, ya main (pertunjukan) boneka,” ujarnya saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Jumat, (1/5).

Boneka yang lahir dari peluh keringat dan gusar tangan yang keriput kasap menunjukkan kerja keras yang sudah dituangkan berpuluh-puluh tahun lamanya. 

Tubuhnya yang mulai dimakan usia, beradu dengan terik matahari debu jalanan, tak meruntuhkan semangatnya dalam melestarikan budaya seni pertunjukan boneka marionette.

“Saya enggak pernah menyerah itu (dalam menyelenggarakan seni pertunjukan boneka marionette), (dan) enggak jenuh,” jelas Muchtar. 

Tak berhenti pada boneka semata, kecintaan Muchtar terhadap dunia marionette meluas hingga ke detail-detail kecil yang melengkapi pertunjukannya. 

Motor mini, alat peraga, hingga pernak-pernik lain ia buat sendiri, semuanya demi menyempurnakan penampilan panggungnya yang sederhana namun penuh daya tarik.

“Kalau sekarang buat boneka udah enggak, cuman sekarang bikin kendaraannya (printilan pertunjukan) seperti motor,” tukasnya.

Namun, tak selamanya langkah kaki Muchtar berpijak di Jakarta. Seiring waktu, panggung-panggung Kota Tua yang dulu ramai oleh pertunjukannya, perlahan harus ia tinggalkan. Bukan karena lelah atau kehilangan gairah berkarya, melainkan karena hidup menuntutnya untuk memilih jalan lain.

Ia meninggalkan ibu kota bukan karena keinginan seni yang memuncak, melainkan karena cinta dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kesehatan istrinya yang kian memburuk jadi alasan utama yang membuat dirinya harus berpindah haluan.

“Sekitar 6 tahun lalu pindah ke Bandung karena istri sakit,” katanya.

Selama di Bandung, Simpang Dago menjadi panggung pertunjukan Muchtar untuk menyambung hidup sekaligus memainkan karya seninya.

Di Balik Kerja Keras sebagai Seniman Jalanan, Ada Keluarga yang Harus Diperjuangkan

Tak banyak orang tahu, bahwa yang tampak sederhana di permukaan itu adalah awal dari perjalanan panjang sebuah hidup yang digerakkan bukan hanya oleh seni, tetapi juga oleh kebutuhan.

Di balik kesederhanaan dan keindahan karya-karyanya, ada beban hidup yang tak ringan. Seluruh hidupnya, ia kerahkan sepenuhnya pada boneka marionette hanya berlandaskan satu alasan, yaitu keluarga. 

Muchtar menceritakan bahwa sampai saat ini ia bertahan untuk menopang hidup cucunya yang yatim. 

“Iya, mengingat kan, istilahnya masih menanggung anak yatim, jadi terpaksa gitu,” jawabnya dengan senyuman jujur dan getir. 

Kata ‘terpaksa’ rasanya tak cukup menggambarkan perjuangannya. Selain menanggung beban finansial, Muchtar juga harus mengasuh dan merawat cucunya, yang ditinggalkan oleh anak dari istri keduanya yang sudah meninggal dunia.

“Jadi, anak (dari) istri saya yang kedua tuh kan punya anak, terus punya cucu dua, itu kan (anak Muchtar) meninggal. (Jadi) yang ngurus (cucu) saya,” cerita muchtar.

Sering kali terlintas dalam dirinya yang sudah berumur untuk beristirahat. Meskipun begitu, keinginannya terhalang oleh rasa sayang yang lebih besar pada masa depan cucunya.  

Dari Boneka Kesayangan hingga Dukungan Sekitar, jadi Kekuatan Muchtar untuk Terus Bertahan

Menjadi seniman bukan hanya kesempatan, tetapi pilihan. Tidak cuma tentang mengekspresikan, tetapi bagaimana menuangkan seluruh keputusasaan, harapan hidup, sampai jati diri dalam karya-karya yang dihasilkannya. 

Bagi Muchtar setiap karya sudah menjadi bagian dari hidupnya,  tak pernah ada satupun momen yang terlupakan sepanjang perjalanan kariernya sebagai seniman. 

Namun, satu hal yang paling berkesan adalah boneka yang sudah menemani pertunjukan seninya selama belasan tahun usia. Boneka yang terbuat dari kulit sandal swallow itu sudah menjadi saksi hidupnya hingga saat ini. 

“Yang paling berkesan yang saya pakai itu (boneka) sudah 11 tahun usianya,” ujar Muchtar. 

Tak hanya itu, Muchtar menuturkan bahwa respon positif serta dukungan yang hangat dari penonton serta lingkungan sekitar menjadi kekuatan untuk terus berkarya. 

“Setiap orang tuh mah ya, yang mencaci maki enggak, cuman mengasih jempol saja,” tutup Muchtar dalam wawancaranya kepada ASPIRASI

 

Reporter : Erland, Mg.

Editor : Azaliya Raysa

Foto : Nurhayati

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *