Margianta dan Aksinya dalam Isu Kemanusiaan

Tokoh

Mendalami isu kemanusiaan sejak muda membuat Margianta tergerak membentuk organisasi yang fokus pada isu perbudakan modern yang ia namakan Emancipate Indonesia.

Aspirasionline.com — Terlihat hilir mudik manusia memenuhi gedung tersebut siang itu. Kebanyakan mahasiswa yang ingin datang pada acara TEDxBinus School. Diantara pembicara yang menginspirasi dengan latar berlakang berbeda, ada Margianta Surahman Juhanda Dinata atau yang akrab dipanggil Gian.

Gian sama seperti pemuda pada umumnya: makan, minum, tidur, menuntut ilmu dan rutinitas umum lainnya. Namun yang membedakan dirinya yaitu ketertarikannya dalam isu kemanusiaan yang ia implementasikan dengan membentuk organisasi Emancipate Indonesia.

Suatu pengalaman saat ia kecil di Belanda dulu lah yang membuatnya fokus pada isu kemanusiaan hingga sekarang. Ia dulu minta dibelikan baju baru. Namun baju yang ia dapat itu mengecewakannya karena ada satu dua kancing yang longgar. Gian pun bertanya pada Ibunya.

Namun, jawaban yang tak pernah ia duga meluncur dari mulut ibunya. “Mungkin baju itu dibuat oleh anak-anak yang bekerja siang dan malam untuk mengejar setoran. Atau para pekerja yang tidak diupah,” tiru Gian saat ditemui oleh ASPIRASI di BINUS School, Sabtu, (11/5).

Sejak itu kepeduliannya terhadap manusia mulai ia pupuk sampai pria itu beranjak dewasa, terutama pada isu perbudakan. Ketika ia duduk di perguruan tinggi, ia mengikuti program Sekolah Hak Asasi Manusia Untuk Mahasiswa (SeHAMA) yang diadakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Pengetahuan yang ia dapatkan dalam program tersebut kemudian yang melatarbelakangi terbentuknya organisasi yang ia namakan Emancipate Indonesia pada tahun 2017.

Lebih lanjut Gian menjelaskan bahwa Emancipate Indonesia merupakan organisasi pemuda non-profit yang berfokus pada Ethical Consumption atau bermaksud untuk menumbuhkan daya kritis masyarakat untuk melakukan pembelian berdasarkan etika-etika tertentu.

Lewat Emancipate Indonesia, Gian berharap masyarakat mulai berpikir sebelum berbelanja dan mempertimbangkan sejauh mana gaya hidup mampu mempengaruhi orang lain dan lingkungan. Gian menjelaskan lebih lanjut bahwa masyarakat yang tidak menerapkan Ethical Consumption akan melahirkan perbudakan modern atau Modern Slavery.

“Maka dari itu, Emancipate berfokus terhadap Modern Slavery sesuai dengan moto kami yaitu ‘tidak ada orang yang tidak lebih manusiawi dari manusia lainnya’. Kami banyak bergerak untuk memperjuangkan hak para pekerja terutama buruh migran,” tutur pria berkacamata tersebut.

Banyak hal yang coba dilakukan Gian lewat Emancipate. Kegiatan seperti pelatihan dan diskusi rutin dilakukan olehnya untuk menyebarkan kesadaran terutama para kaum muda terhadap isu Modern Slavery.

Salah satu inovasi yang tengah ia lakukan yaitu bekerjasama dengan Kahanu, sebuah social enterprise, untuk membuat scarf yang bisa dijadikan hijab dengan motif yang merefleksikan tentang isu perbudakan modern seperti pekerja anak atau penjualan manusia.

“Jadi ini adalah salah satu upaya kami untuk menyampaikan kalo isu-isu seperti ini tidak harus dengan cara yang itu-itu saja. Banyak cara kreatif yang bisa kita sampaikan. Nah disitu kami juga menggalang dana. Keuntungan dari penjualan scarf akan menjadi kontribusi kami dengan lembaga,” jelasnya.

Lebih lanjut Gian menjelaskan bahwa ia berusaha untuk tetap menerapkan non-intervensi atau netral. Sehingga dalam hal pendanaan, prioritasnya adalah penggalangan dana dibanding kerja sama.

Tak hanya Emancipate, Gian juga berkecimpung di organisasi lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Lentera Anak sebagai Project Coordinator for Young Health Program. Serta tergabung dalam Gerakan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).

Aktivis Pengendalian Tembakau

Gian menceritakan lebih lanjut selain Emancipate ia juga berpartisipasi di FCTC Indonesia yang berfokus dalam aspek pengendalian tembakau.

Ketika bergabung, Gian bekerja keras agar isu ini didengar oleh banyak pihak. Kerja keras yang telah ia keluarkan akhirnya membuahkan hasil. Saat itu organisasinya, FCTC Indonesia yang terdiri dari berbagai kota berhasil mengumpulkan 11.022 surat dan mengirimkannya kepada Presiden sebagai tuntutan untuk masalah tembakau yang semakin parah.

Tanpa disangka, presiden menanggapi dengan mengadakan rapat tertutup dengan para menteri membahas isu tembakau yang ia bawa bersama FCTC Indonesia. Sungguh hal ini menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Margianta karena usahanya tidak sia-sia.

Berkat kegigihannya mendalami isu ini, Gian menjadi salah satu delegasi dan pembicara di forum One Young World Belanda dalam bahasan permasalahan rokok. Forum itu dihadiri oleh 2000 orang dari 197 negara.

“Saya teriak, menggebrak meja dan menunjuk para industri rokok yang kebetulan mengirim delegasi dalam forum tersebut,” tuturnya dengan nada yang menggebu.

Perkataan tersebut bukan tanpa alasan. Gian menilai pengendalian tembakau di Indonesia masih sangat parah padahal dampaknya mulai terpapar pada anak-anak sebagai penerus bangsa.

Pesan Khusus Dari Gian

Ia berpesan kepada generasi muda bahwa jangan pernah merasa terlalu kecil untuk memulai. “we can do what we can with what we have” menjadi slogan jitu menurutnya yang pantas untuk diterapkan oleh para pemuda.

Jangan merasa pesimis karena sebenarnya ada banyak cara untuk mengaktualisasi diri. “Saya suka kuliah saya, saya pun juga suka dengan organisasi saya. Jadi yang harus dipastikan adalah kita suka dan memaknai apa yang kita lakukan,” tuturnya meyakinkan.

Ia berharap para pemuda dapat terinspirasi dan mampu membuat organisasi pemerhati masalah kemanusiaan ataupun isu lain yang mereka dalami. “Semakin banyak orang yang mulai sadar atas aksi yang kita lakukan, akan semakin banyak dukungan untuk mencapai tujuan yang kita ingin capai terhadap isu tersebut,” ujarnya mantap.

Reporter: Yurri Nurnazila.| Editor: Thalitha Avifah Yuristiana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *