Cacatnya Institusi Kepolisian: Advokat Pendamping Bela Korban KS, Berujung Jadi Tersangka
Kriminalisasi terhadap advokat pendamping, Meila Nurul Fajriah, menunjukkan kelemahan serius dalam institusi kepolisian dan merupakan upaya pembungkaman terhadap semua pendamping korban kekerasan seksual.
Aspirasionline.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama dengan jejaring masyarakat sipil dan media mengadakan konferensi pers yang diselenggarakan di gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (25/7).
Konferensi ini menyoroti cacatnya institusi kepolisian dalam menjamin kebebasan berpendapat dan melindungi pejuang HAM di Indonesia terkait Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah dijatuhkan sebagai tersangka atas kasus dugaan pencemaran nama baik.
Kriminalisasi yang didapatkan oleh Meila diawali sejak pendampingan hukum bagi para penyintas diketahui atas laporan yang dibuat oleh seorang akademisi sekaligus alumni berprestasi berinisial IM, yang merupakan terduga kuat pelaku kekerasan seksual kepada tiga puluh mahasiswa di Universitas Islam Indonesia (UII) dalam rentang waktu tahun 2016 hingga 2020.
Direktur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya menjelaskan bahwa penetapan sebagai tersangka terhadap Melia dinyatakan dalam bentuk surat yang dikirim ke Kantor YLBHI pada 24 Juni 2020.
“Proses ini sudah cukup lama dan penetapan tersangka ini kemudian di tanggal di tanggal 24 Juni surat itu diterima ya dikirim ke Kantor YLBHI dan di situ berbunyi bahwa Meila sebagai tersangka terhadap dugaan pencemaran nama baik,” ungkap Julian pada Kamis, (25/7).
Upaya Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual Terancam akibat Kriminalisasi Advokat
Kasus yang mulai naik ke permukaan pada tahun 2020 ini melalui proses yang sangat panjang. Tidak hadirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), serta didukung kondisi negara yang tidak memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan semakin membuat molornya penyelesaian kasus di UII.
Ketua Advokasi dan Bidang Jaringan YLBHI, Zainal Arifin, mengungkapkan bahwa akibat banyaknya laporan dari korban yang tidak terselesaikan, LBH Yogyakarta, UII Bergerak, dan beberapa jaringan lainnya di Yogyakarta mendirikan kantor pengaduan bersama. Hasilnya, sebanyak 30 mahasiswa telah melaporkan diri sebagai korban.
“Atas pengaduan para korban pada akhirnya LBH Jogja, kemudian UII bergerak, dan beberapa kawan-kawan jejaring di Jogja pada akhirnya membuat kantor pengaduan bersama yang pada akhirnya terdata sekitar 30 korban mahasiswi yang menjadi korban dari saudara IM ini,” ungkap Zainal pada saat konferensi pers berlangsung pada Kamis, (25/7).
Berdasarkan laporan dari para korban, UII akhirnya mengambil tindakan untuk mencabut gelar ‘Mahasiswa Berprestasi’ yang diberikan kepada IM.
Namun, tidak terima dengan keputusan tersebut, IM melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan administratif kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta.
Tidak cukup dengan penuntutan administrasi, IM juga melakukan upaya laporan kepada Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atas dugaan pencemaran nama baik. Laporan tersebut tidak hanya ditujukan kepada Meila, tetapi juga kepada Linda Dwi Rahayu dan Julian.
“Waktu itu yang dilaporkan adalah saudara Meila, kemudian saudara Linda Dwi Rahayu, dan saya sendiri ya yang itu melakukan konferensi pers bagaimana menyampaikan bentuk-bentuk kekerasan seksual,” ungkap Julian.
Cacatnya Aparat Penegak Hukum dalam Penyelesaian Kasus Pelecehan Seksual
Upaya untuk menyampaikan bentuk-bentuk kekerasan seksual masih menghadapi banyak tantangan, terutama sebelum adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Negara belum sepenuhnya sadar akan berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi.
Alih-alih menindaklanjuti kekerasan seksual yang terjadi, Polda DIY mempertanyakan kebenaran kasus yang dibawa oleh Meila dan LBH Yogyakarta. Julian mengaku belum menyerahkan data korban lantaran menjaga kerahasiaan.
“Polda DIY baru-baru ini mereka menanyakan, betul atau tidak adanya korban kekerasan seksual, kami sudah lama menjawab itu, kami jawab ada. Tapi, kalau misalnya diminta identitas, kami juga tidak bisa memberikan serta-merta karena harus menjaga kerahasiaan klien, kerahasiaan data korban,” jelas Julian.
Sejalan dengan hal tersebut, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, mengecam penetapan tersangka yang dilakukan Polda DIY. Menurutnya, kepolisian telah melecehkan profesi advokat.
“Dalam konteks kasus ini kepolisian itu melecehkan profesi advokat karena sama sekali tidak melindungi hak imunitas yang ada melekat pada para pembela hukum atau advokat yang menjalankan tugas-tugasnya dalam melakukan perlindungan terhadap masyarakat,” tutur Dimas pada Kamis, (25/7).
Dimas menambahkan, bahwa hal ini merupakan kelemahan dari institusi kepolisian dan terdapat permasalahan perspektif paradigma dan juga pengetahuan, terutama para personel kepolisian yang melakukan upaya penyelidikan.
Tak hanya itu, menurut Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta, Ika Ayu, ketidakberpihakan Polda DIY kepada korban kekerasan seksual nyatanya bukan pertama kalinya terjadi. Menurutnya, Polda DIY berasumsi bahwa kekerasan seksual itu hanya akan menjadi kekerasan seksual ketika dia dilaporkan.
Melihat kondisi ini, Ika mengutuk keras instansi kepolisian yang seharusnya melayani masyarakat dan berpihak kepada korban, malah mengalami kecacatan terhadap tugasnya.
“Sebuah pencederaan kepada korban atas penghilangan fakta bahwa korban itu ada dan pengalaman kekerasan seksual itu nyata,” terang Ika dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, mengecam kurangnya perlindungan negara terhadap pekerja pembela HAM. Menurutnya, pelaporan terhadap kritik merupakan bentuk pembungkaman terhadap para pembela HAM.
Nurina mengatakan bahwa Meila hanya menjalankan tugasnya untuk mendampingi korban. Dirinya mendesak agar Polda DIY menghentikan aksi kriminalisasi terhadap pembela HAM, termasuk advokat pendamping.
“Saya mendesak agar aparat penegak hukum segera menghentikan proses hukum yang menimpa dan betul-betul berkomitmen untuk melindungi kerja pembela HAM dan juga melindungi hak asasi manusia yang ada di negara ini,” kata Nurina sebagai penutup.
Foto: ASPIRASI
Reporter: Syifa Aulia | Editor: Nabila Adelita.