Mei Berkabung: Dekadensi Hukum Indonesia dalam Tegakkan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan diskusi isu dalam rangka menolak lupa akan rentetan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Indonesia. Lemahnya hukum Indonesia merupakan sebab utama tak rampungnya kasus-kasus tersebut.
Aspirasionline.com — Tak hanya peringatan Hari Buruh Internasional, nyatanya bulan Mei juga menyimpan beragam kisah kelam. Tepatnya pada rezim Orde Baru (Orba) sebagai penyumbang terbesar trauma terhadap masyarakat Indonesia.
Salah satunya kasus penculikan aktivis, penembakan mahasiswa pada Kerusuhan Mei Tahun 1998, pembunuhan Marsinah, dan masih banyak lagi pelanggaran HAM lainnya.
Dalam rangka merawat ingatan terhadap banyaknya pelanggaran HAM berat di Indonesia, diskusi publik bertajuk “Menerka Arah Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Pasca Pemilu 2024” diselenggarakan oleh BEM FH UI pada Rabu, (22/5).
Diskusi publik yang bertempat di Selasar Gedung Integrity Laboratory dan Research Center (ILRC) FH UI diramaikan dengan berbagai pendapat dari Ketua BEM FH UI, Dosen Fakultas Hukum UI, Ahli Hukum Tata Negara, Pelopor Aksi Kamisan, dan Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Kegagalan Indonesia sebagai Negara Supremasi Hukum
Indonesia selaku negara hukum, sudah sepatutnya melindungi hak setiap warga negaranya. Namun, pada realitanya Indonesia tidak dapat melakukan tugas perlindungan tersebut sebagaimana seharusnya.
Menurut Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, terjadi karena keterlibatan negara sebab pelanggaran HAM tidak akan terjadi tanpa adanya otoritas kuasa yang melanggengkan.
“Untuk melakukan pelanggaran HAM yang demikian masif pasti ada otoritas tertentu yang punya power (kekuasaan),” pungkas Bivitri di sesi diskusi pada Rabu, (22/5).
Senada dengan Bivitri, Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosalina, melihat bahwa Indonesia dalam mengatasi kasus pelanggaran HAM berat berupaya untuk menyangkal secara terorganisir dan manipulasi terhadap penyelesaian kasus melalui jalur non-yudisial.
Hal ini dapat dilihat dari 17 jumlah kasus pelanggaran HAM berat, hanya 4 yang telah diadili oleh peradilan HAM ad hoc. Peradilan tersebut sudah terhitung dari sebelum dan sesudah diundangkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Kemudian kita, ya tentu, merasa bahwa pengadilan HAM yang ada di Indonesia itu memang dirancang untuk gagal gitu, intended to fail, dan memang cuman sekedar formalitas,” jelas Jane pada kesempatan yang sama.
Bahkan, UU Pengadilan HAM pun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), padahal hadirnya pengadilan HAM pun masih dipertanyakan sebab kerap kali membebaskan para narapidana.
“Pengadilan HAM yang ada di Indonesia itu memang dirancang untuk gagal gitu, dan memang cuman sekedar formalitas,” kata Jane seraya melanjutkan, “Padahal semua bukti yang tentu ada dan ini tergantung bagaimana willingness dari negara, atau politik dari negara untuk membuka tabir kebenaran itu di muka pengadilan.”
Dosen Fakultas Hukum UI, Heru Susetyo, menyatakan bahwa peran hukum Indonesia dalam menangani kasus pelanggaran HAM bukan hanya dipastikan akan gagal, melainkan juga tidak adanya keberpihakan yang berorientasi kepada korban.
“Jadi secara struktural memang sejak awal hukum Indonesia kurang berpihak pada korban,” ujar Heru pada Rabu, (22/5) di depan para audiens diskusi publik.
Upaya Tiada Akhir Mencari Keadilan HAM
Melihat kilas balik kasus pelanggaran HAM pada Maria Sumarsih, yang merupakan orang tua kandung dari Wawan, korban penembakkan Semanggi 1 pada tahun 1998 silam. Dirinya dikenal berkat Aksi Kamisan yang terus berlangsung selama lebih dari 17 tahun, tepatnya sejak 18 Januari 2007.
Sumarsih, sebagai salah seorang pelopor yang menginisiasi Aksi Kamisan, menegaskan kepada publik bahwa aksi ini tidak hanya diadakan lima tahun sekali, “Aksi kamisan bukan aksi 5 tahun sekali,” tegasnya pada sesi diskusi Rabu, (22/5) silam.
Sumarsih berharap, Aksi Kamisan yang diinisiasi bersama keluarga korban pelanggaran HAM menjadi sarana ruang publik yang berfungsi untuk mengawal dan mengkritisi pemerintah Indonesia. Terlebih dengan kondisi saat ini, ketika Indonesia akan dipimpin oleh presiden yang merupakan terduga pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Memang tidak mudah untuk mengawal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dan meskipun pasca Pemilu 2024, tantangan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat bertambah, tetapi jangan sampai hal tersebut memudarkan komitmen dan semangat kita,” harapnya.
Di sisi lain, Ketua BEM FH UI, Alif Lathif menyatakan keberpihakannya dengan menolak secara tegas presiden terpilih yang akan menjabat di periode mendatang, mengingat banyaknya catatan buruk pelanggaran HAM di masa lalu yang diabaikan.
“Bagaimana kondisi imunitas dia (presiden terpilih) yang begitu tebal, bahwa pelanggaran masa lalunya dia dilupakan begitu saja, bahkan dianggap remeh sama sebagian orang sampai dia bisa menjadi presiden,” tegas Lathif ketika sesi paparannya berlangsung pada Rabu, (22/5).
“Sampai ‘orang ini’ tidak bisa membuktikan lagi bahwa dirinya tidak bersalah, kami masih tetap konsisten, BEM FH UI akan tetap konsisten bahwa menolak ‘orang ini’ untuk menjadi presiden,” tukasnya.
Foto: Abdul Hamid
Reporter: Abdul Hamid | Editor: M. Athaya Primananda