Terhambatnya Akses Hak Politik bagi Pemilih Penyandang Disabilitas pada Pemilu 2024
Hak politik bagi pemilih penyandang disabilitas masih menghadapi berbagai rintangan. Perlu dilakukan evaluasi dari pihak penyelenggara untuk menyederhanakan pelaksanaan pemilu ke depannya.
Aspirasionline.com – Sudah lewat satu bulan lebih pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dilakukan. Aksi kolektif yang dicanangkan oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Formasi Disabilitas, melalui dukungan Program INKLUSI (Kemitraan Australia–Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif), memaparkan hasil laporan pemantauan Pemilu 2024 pada Jumat, (22/3) lalu.
Pada diskusi publik (duplik) yang bertemakan “Diseminasi Hasil Pemantauan Pemilu Serentak 2024”, ditujukan untuk mengamati persiapan dan partisipasi kelompok penyandang disabilitas dalam menggunakan hak politiknya. Pemantauan pemilu yang dilaksanakan sejak masa hari tenang hingga hari pencoblosan dilakukan pada 218 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 42 kabupaten/kota dari 20 provinsi di Indonesia.
Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas, Nur Syarif Ramadhan, mengungkapkan bahwa masih banyak kelompok disabilitas yang tidak terdaftar sebagai pemilih difabel. Dari hasil pemantauan, ada sekitar 35 persen pemilih difabel yang tidak terdata sebagai pemilih difabel, melainkan sebagai pemilih non-disabilitas.
“Bahkan saya sendiri sebagai pemilih disabilitas di desa saya, itu tidak terdata sebagai pemilih difabel, tapi itu terdatanya sebagai pemilih biasa,” ujar Syarif pada acara yang digelar di The Icon, Morrissey Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat (22/3).
Lebih lanjut, Syarif mengatakan hal itu dapat menghambat proses identifikasi alat bantu yang disediakan oleh petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Maka, petugas KPPS mengetahui bahwa ada pemilih difabel yang membutuhkan alat bantu dalam proses pencoblosan berlangsung.
Minimnya Aksesibilitas dan Sosialisasi Pemilu 2024 kepada Kelompok Inklusif
Aksesibilitas informasi yang didapat penyandang disabilitas masih jauh dari kata sempurna. Berdasarkan hasil pemantauan, sebanyak 25,3 persen responden menyampaikan masih kesulitan untuk memahami kebahasaan yang mencakup informasi kepemiluan.
Menurut Syarif, peran partai politik dalam memberikan informasi kampanye terkait pemilu hanya sekitar 9 persen yang menjangkau kelompok penyandang disabilitas. Tak hanya itu, Syarif mendapati sangat sedikit responden pemilih difabel yang tinggal di panti rehabilitas, yakni sekitar 0.6 persen responden dari total 479 responden yang ada.
Fenomena ini sangat disayangkan karena panti-panti atau pusat rehabilitasi seharusnya lebih menjunjung hak kelompok penyandang disabilitas, khususnya hak dalam berpolitik. Keterjangkauan informasi yang minim dapat menimbulkan tidak terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas di panti rehabilitasi.
“Ternyata institusi-institusi ini masih menjadi ruang kecil yang tidak dapat memastikan akses informasi dan edukasi yang hadir bagi kelompok difabel,” tukas Syarif.
Dari 218 TPS yang dipantau, terdapat 75 TPS yang memiliki pemilih difabel pengguna kursi roda. Akan tetapi, di antara mereka masih kesulitan dalam mengakses lokasi TPS karena jalur masuk yang tidak lebar, jalan yang berundak-undak, hingga kesulitan ketika memasukan kertas suara ke dalam kontak suara.
“Nah, ini menunjukkan juga kita masih perlu banyak ruang, perlu banyak suara untuk memastikan bahwa proses pemilu ini betul-betul aksesibel bagi pemilih difabel karena kita tahu bahwa dari segi regulasi sebenarnya aspek–aspek seperti ini-itu sudah diatur sebelumnya,” jelas Syarif.
Kurangnya sosialisasi terkait informasi kepemiluan menyebabkan rendahnya pemahaman kepemiluan penyandang disabilitas. Salah satu penanggap dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyampaikan bahwa pelaksanaan sosialisasi menjadi masalah laten setiap tahun pemilu.
“Bukan hanya untuk kelompok difabel, tapi juga untuk kelompok masyarakat kebanyakan, sosialisasi itu masalah besar,” ungkap Titi di depan para audiens sore hari itu.
Perlunya Perubahan Pemilu untuk Peningkatan Partisipasi Pemilih Difabel
Lebih lanjut, menurut Titi, apabila kombinasi sistem pemilu yang rumit dengan proses yang manual terus berlanjut, maka pembahasan terkait permasalahan hak-hak pemilu kelompok difabel akan terus berulang. Perlu adanya perubahan sistem pemilu yang lebih sederhana.
“Oleh karena itu, saya menilai dari sisi keserentakan pemilu dan sistem pemilu kita selama model keserentakan dan sistem pemilunya tidak berubah, maka sulit kita untuk sepenuhnya mewujudkan pemilu yang inklusif dan ramah hak-hak difabel,” tutur Titi.
Titi menyarankan, perubahan undang-undang pemilu harus dilakukan. Lebih dari 137 kali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan ke Mahkamah Konstitusi karena aturan-aturan di dalamnya sudah tidak kompatibel dengan perkembangan masa kini.
“Apa yang direkomendasikan hari ini harus masuk menjadi bagian dari perubahan undang-undang pemilu,” tegasnya.
Pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 14 Tahun 2023, tepatnya pada paragraf 10 Pasal 23 diatur mengenai formulir yang digunakan untuk pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara. Salah satunya adalah formulir model C3-KPU.
Formulir model C3-KPU difungsikan sebagai pendamping pemilih difabel. Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengungkapkan ada sekitar 5.836 TPS yang memiliki pendamping pemilih difabel tanpa penandatanganan formulir model C3-KPU.
“Adanya logistik pemungutan suara yang tidak lengkap sebelum dimulainya pemungutan suara, memastikan pendamping pemilih penyandang disabilitas agar menandatangani surat pernyataan pendamping, dan juga menjelaskan kepada pemilih teman-teman disabilitas yang tidak mengerti atau belum mengerti tentang bagaimana tata cara pas pemungutan,” kata Rahmat, pada Jumat, (22/3).
Rahmat juga menjelaskan, ketika Daftar Pemilih Sementara (DPS) dibacakan, tidak disebutkan jumlah warga negara yang menjadi penyandang disabilitas. Oleh sebab itu, pendataan alat bantu khusus untuk teman-teman disabilitas tidak diketahui jumlahnya.
Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND), Dante Rigmalia mengatakan pihaknya juga telah melakukan tiga pemantauan, yaitu di Jakarta Pusat, kepulauan Maluku Utara, dan perbatasan Kalimantan Barat.
Secara garis besar, hasil pemantauan itu didapati tantangan seperti lokasi pemilihan yang belum ramah akses disabilitas, tidak adanya pembaharuan data oleh KPU setelah finalisasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) hingga masa pemilihan, dan kurangnya sosialisasi kepemiluan.
“Catatan pemantauan kami, yang pertama aksesibilitas, informasi minim, informasi data pemilih tetap di lokasi TPS juga belum optimal,” jelas Dante.
Realisasi pemilu serentak yang diadakan satu hari dengan beragam pemilihan hingga lima jenis surat suara sangatlah kompleks. Hal tersebut juga menimbulkan beban kerja dan kerumitan, baik menurut penyelenggara maupun peserta pemilu.
Foto: ASPIRASI/Anggita Dwi
Reporter: Anggita Dwi | Editor: Abdul Hamid.