Kala Jurnalis Menguliti Skandal Pemuka Agama dalam Film “Spotlight”

Resensi

Judul: Spotlight (2015)

Sutradara: Tom McCarthy

Studio: Anonymous Content dan Participant Media

Durasi: 2 jam 8 menit

Genre: Thriller/Crime Stories

 Film “Spotlight” merupakan drama kriminal yang diangkat dari kisah nyata untuk mengungkap kasus pelecehan seksual anak oleh beberapa imam dan pastor gereja Katolik Roma di Boston, Amerika Serikat.

Aspirasionline.com – Film “Spotlight” yang dirilis pada tahun 2015 merupakan salah satu film garapan Tom McCarthy, salah seorang sutradara tersohor di Amerika Serikat. Film ini menceritakan adanya investigasi mendalam yang dilakukan oleh tim jurnalis The Boston Globe terkait kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa imam dan pastor Katolik Roma di Boston.

Berawal pada tahun 1976, ketika pastor John Geoghan ditangkap atas kasus pelecehan seksual terhadap anak. Namun, penangkapan dibatalkan dan pastor John dibebaskan. Kasus ini pun menjadi rahasia yang sangat ditutup rapat oleh gereja.

Sampai pada tahun 2001, The Boston Globe memiliki editor baru bernama Marty Baron. Ia bertemu dengan Robby dan beberapa jurnalis lainnya. Tim jurnalis itu bernama “Spotlight”. Spotlight didesak untuk menyelidiki kasus pelecehan seksual terhadap anak tersebut.

Dalam proses pengungkapannya, tim Spotlight memiliki kendala seperti pihak-pihak gereja yang terus mengancam serta beberapa pihak yang tidak mau bekerjasama, yang menyebabkan proses pengungkapan kasus ini terbilang cukup lama.

Pembungkaman serta Penyalahgunaan Kekuasaan di Gereja

Pencarian fakta dimulai oleh Mike Rezendes yang ditugaskan untuk mewawancarai pengacara korban, Mitchell Garabedian.

Garabedian menolak kedatangan Mike karena pihak gereja mengancam untuk tutup mulut atas kasus ini. Tim Spotlight juga mengundang Phil Saviano, selaku Ketua Organisasi Korban (SNAP) untuk melakukan wawancara.

Salah satu korban bernama “Jo” menceritakan dalam wawancara kepada tim Spotlight bahwa ia mengalami kekerasan dari pendeta lain, dengan modus yang sama, yaitu memiliki sikap ramah dan penyayang, lalu perlahan melakukan tindakan pencabulan yang semakin lama semakin intens.

Beberapa curahan mengatakan bahwa setiap oknum gereja yang telah melakukan aksi bejatnya selalu dimutasi atau hanya dipindahkan ke gereja lain. Bagi para korban, mutasi tersebut bukanlah cara yang benar dan hanya memindahkan kasus baru ke gereja lain. 

Phil menyambungkan Mike kepada Richard Sipe, seorang mantan imam yang bekerja di lembaga psikiater gereja, yang menjadi pusat rehabilitasi untuk para imam yang melakukan pelecehan seksual. Richard menunjukan daftar mutasi nama-nama pendeta yang terduga sebagai pelaku pelecehan.

Sebuah studi penelitian milik Richard mengemukakan bahwa ada enam persen dari keseluruhan pendeta yang adalah pelaku pedofilia di Boston dan dari kalkulasi tersebut diperkirakan masih ada kurang lebih 90 pendeta cabul yang belum tertangkap.

Tekanan para korban yang terus meningkat, membuat tim Spotlight mendatangi kantor laporan arsip mutasi tahunan para pendeta di kota Boston. Mereka mendapatkan 87 daftar pendeta, angka yang sangat dekat dengan estimasi atau perkiraan yang dibuat Richard.

Sejumlah 87 nama itu menandakan bahwa hal ini bukan lagi kejahatan yang dilakukan oknum gereja saja, tetapi juga ada sistem besar yang terus melindunginya.

Mereka mendatangi semua nama pendeta yang ada di daftar itu, yang mungkin masih berada di kota Boston. Hanya Paquin, salah satu dari sekian banyak pendeta yang mau memberikan kesaksiannya dengan enteng bahwa ia mengakui pencabulannya.

“Aku tidak memaksa anak-anak tersebut, dan (perbuatan itu) tidaklah bisa dianggap sebagai sebuah pemerkosaan,” ujarnya.

Gugatan kembali dibuka, tetapi aktivitas pengadilan masih monoton dan tidak berkembang. Bukti-bukti yang berupa data dokumen dari beberapa persidangan sebelumnya juga kurang lengkap bahkan ada yang lenyap begitu saja.

Uskup agung dari salah satu gereja sampai memberikan buku pendalaman agama kepada tim jurnalis seakan sebagai isyarat bahwa apa yang mereka lakukan dianggap sebagai kesesatan karena mereka menantang gereja.

Pihak dari gereja menggambarkan bagaimana sebuah sistem yang memiliki doktrin dan bias keimanan atau kepatuhan jika disalahgunakan untuk melegalkan dan menutupi suatu kejahatan, maka kita yang merasa tindakan tersebut tidaklah benar akan dianggap sebagai pengkhianat dan pendosa.

Berkat kegigihan tim jurnalis Spotlight, bukti-bukti pun mulai terungkap. Garabedian berhasil memulihkan data-data dokumen persidangan yang sebelumnya lenyap. Ia lalu menyerahkannya ke Mike dan berhasil menyalin data-data tersebut.

Data-data tersebut berisikan informasi keterikatan kasus pastor Geoghan kepada kasus-kasus lain yang jika informasi tersebut disebarluaskan, akan mengundang kepolisian bahkan sampai level negara akan menginvestigasi dan memenjarakan para oknum gereja yang terlibat.

Pengacara gereja pada akhirnya mengonfirmasi temuan mereka bahwa kasus ini memang benar-benar terjadi dan terlihat. Berita pun dicetak pada Januari 2002.

Media The Boston Globe mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena dinilai berani mengungkapkan dan menyebarkan kasus yang selama ini membungkam mereka.

Dengan ini, Film Spotlight juga memberikan penghormatan kepada jurnalis yang bersedia menghadapi tantangan demi membawa keadilan dengan mendedikasikan diri untuk mengungkap kebenaran yang mungkin terpendam. Film ini juga menggambarkan atas betapa sulitnya dan berisikonya menjadi seorang jurnalis.

Kasus Pelecehan Seksual oleh Oknum Pemuka Agama di Indonesia

“Ekspektasi berlebih” adalah kata kunci keterkaitan antara film Spotlight dengan beberapa kasus pelecehan seksual oleh oknum pemuka agama di Indonesia. Menutupi kasus bejat tersebut adalah cara yang tidak sejalan dengan nilai moral.

Di Indonesia, ekspektasi yang tinggi kepada para pemuka agama terdapat beberapa perbedaan. Banyak anggapan bahwa pemuka agama tidak pernah salah ataupun tidak mungkin salah, di saat tokoh tersebut melakukan kesalahan yang besar.

Kasus pelecehan seksual oleh pemuka agama yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah aksi cabul yang dilakukan oleh dua ustadz di Pondok Pesantren Ogan Ilir, Sumatera Selatan. 

Dilansir dari Surakarta.suara.com dengan judul “Bejat! 2 Ustadz Pengasuh Ponpes Cabuli 30 Santri, Semua Korban Laki-laki” yang dipublikasikan pada 1 Oktober 2021,  mengungkapkan bahwa sejumlah 30 santri menjadi korban, dengan 12 orang menjadi korban sodomi dan 18 orang lainnya menjadi korban pencabulan.

Kasus berikutnya juga ditemui di Bogor, Jawa Barat yang dilakukan oleh seorang pendeta. Kasus yang diberitakan oleh CNN Indonesia dengan judul “Pelecehan Seksual Berkedok Pengudusan di Bogor, Terjadi Sejak 2009: ‘Korban Trauma dengan Pendeta Laki-laki’”, yang dipublikasikan pada 25 Agustus 2022, memberitakan adanya sejumlah empat korban anak mengalami pelecehan seksual dengan dalih ibadah pengudusan.

Kasus ini dilaporkan sejak tahun 2021, setelah sebelumnya terungkap pada tahun 2019 melalui kecurigaan pelapor sekaligus korban. Dari kesaksian para korban, pelaku sudah melakukan aksi tersebut sejak tahun 2009. 

Melalui aksinya, pelaku akan mengklaim bahwa Tuhan berbicara kepadanya dan memberikan perintah agar melakukan upacara pengudusan kepada korbannya yang masih berusia anak. Padahal, bagi para korban, pelaku sudah dianggap sebagai “Bapak” dan menjadi sosok yang dihormati dan disegani.

Dikutip dari CNN Indonesia yang dipublikasikan dengan judul “Ironi Kasus Kekerasan Seksual di Pusaran Pemuka Agama” pada 14 April 2022, Menurut Rumadi Ahmad, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, masyarakat memiliki ekspektasi yang sangat tinggi terhadap tokoh-tokoh beragama. Jadi, tokoh-tokoh agama itu dianggap sebagai role model dalam beragama. 

Apabila tokoh agama melakukan hal yang tidak sejalan dengan prinsip moral yang ada, maka terjadi penilaian buruk terhadap suatu tokoh ataupun lembaga pendidikan tertentu.

Kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum pemuka agama adalah penistaan agama yang sangat jelas karena telah mempermainkan nilai-nilai moral dalam agama, dan merupakan pelanggaran perjanjian akan keimanan dan ketaatan kepada Tuhan.

Pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 9 Mei 2022, untuk memastikan bahwa masyarakat terlindungi. Orang orang yang menjadi korban bisa terlindungi, dan pelaku bisa mendapat hukuman yang setimpal dengan peraturan perundang undangan.

 

Foto: Imdb.com.

Reporter: Imam Mg. | Editor: Nasywa Aliyya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *