Serikat Pekerja Kampus: Gebrakan Baru dalam Memperjuangkan Hak Para Pekerja Kampus

Nasional

Berawal dari diskusi kebebasan akademik hingga munculnya serikat pekerja, SPK berupaya untuk memperjuangkan dan mengadvokasi masalah-masalah pekerja kampus di Indonesia yang tak kunjung selesai.

Aspirasionline.com – Kamis, (17/8) lalu, Serikat Pekerja Kampus (SPK) secara resmi terbentuk. Lahirnya asosiasi ini berawal dari diskusi kebebasan akademik tahun 2021 yang membahas mengenai pentingnya serikat pekerja hingga membahas perihal dosen yang dapat diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan. Hal ini menjadi langkah awal gerakan yang dilakukan.

“Diskusi itu kemudian bergulir sampai 2023 awal, ada penelitian yang dilakukan oleh enumerator, sekitar kurang lebih ada empat belas ribu orang (sebagai responden). Sebagian besar mereka menyatakan bahwa mendapatkan penghasilan di bawah 3 juta (rupiah),” ujar Ketua Umum SPK, Dhia Al-Uyun kepada ASPIRASI pada Senin, (28/8).

Akibat hal ini, pada 29 April 2023, akhirnya dideklarasikan jika dosen sama dengan buruh. Akan tetapi, pekerja kampus yang dimaksud dalam SPK bukan hanya dosen, tetapi juga meliputi tenaga administrasi, pustakawan, peneliti, serta asisten dosen.

Berakar dari sini, SPK pun akhirnya terbentuk lantaran keresahan-keresahan yang timbul dari para pekerja kampus akan masalah-masalah yang terjadi.

Hadirnya SPK direspon positif oleh salah satu dosen Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Sri Lestari Wahyuningroem yang akrab disapa Ayu yang juga tergabung ke dalam SPK.

“Tanggapannya positif memang inisiatif yang udah lama tapi ini sudah lama direncanakan sebagian teman-teman di beberapa kampus, beberapa sudah punya tapi dalam lingkup lokal tapi kalo SPK lingkupnya nasional,” ungkap Ayu kepada ASPIRASI pada Selasa, (29/8).

Ayu lalu mengungkapkan bahwa selama ini banyak persoalan yang tidak disuarakan oleh dosen. Ketika dosen ingin menyuarakan perihal permasalahan-permasalahan tersebut, keberanian itu justru akan menempatkan dosen pada posisi sulit di kampusnya.

Ia menambahkan bahwa sistem di kampus tidak ada yang mengakomodir atau bahkan tidak melihat masalah yang dialami dosen, sehingga terlihat dianggap dosen itu tidak punya masalah. Ia memberikan contoh dari pengalamannya sebagai dosen.

“Dari pengalaman saya sendiri karena saya sudah 19 tahun di kampus besar, Universitas Indonesia, tapi tidak punya status yang jelas, misal nomor induk dosen,” ujar Ayu mengungkapkan keresahannya.

Keresahan ini membuat Ayu merasa seperti dosen ilegal lantaran keresmiannya sebagai dosen tidak kunjung diurus. Ayu pun meyakini jika masalah ini bukan cuma dialami oleh ia sendiri, tetapi juga dosen-dosen lainnya dengan berbagai permasalahan yang berbeda.

“Itu jadi pelajaran betul buat saya, dan tidak hanya saya karena ada banyak. Jadi dosen punya masalah tapi selama ini dianggap tidak ada masalah. Jadi harus serius diselesaikan,” tegas Ayu.

Masalah Para Pekerja Kampus Yang Sering Kali Diabaikan

Ayu sebagai dosen menjelaskan bahwa di negara lain permasalahan dosen terbantu karena adanya serikat yang dapat melakukan negosiasi dengan universitas bahkan pemerintah.

Ia mengungkapkan permasalahan pekerja kampus, dalam kasus ini dosen, seperti gaji tidak tetap karena tidak punya nomor induk serta gaji di bawah Upah Minimum Rata-Rata (UMR). Bukan hanya itu, dosen pun seperti tidak memiliki kepastian karier yang dapat menjadi tombak hak serta kewajiban.

“Kontrak pun baru jelas 5 tahun terakhir, sebelumnya gak ada status yang jelas. Artinya dosen itu tidak punya kepastian karier atau yang menjadi hak dan kewajiban, itu gak jelas aturan mainnya,” jelas Ayu kepada ASPIRASI.

Lebih lanjut, Ayu mengungkapkan jika dosen menginginkan upah lebih, maka ada ketentuan yang perlu mereka penuhi seperti sertifikasi. Namun, tahapan sertfikasi ini dianggap terlalu administratif dan birokratis. Terdapat aturan yang perlu dipenuhi oleh para dosen ketika peraturan tersebut justru merugikan mereka.

“Gimana bisa dosen S3 atau sertifikasi kalau statusnya masih kontrak? Atau gimana bisa kalau gaji masih di bawah UMR? Kan selama ini tidak pernah tersampaikan dengan baik,” keluh Ayu.

Menanggapi hal tersebut, Dhia membeberkan jika SPK memiliki 10 manifesto yang di antaranya adalah status. Dhia menyayangkan jika banyak pekerja kampus yang tidak memiliki kepastian terhadap status mereka atau bahkan sampai kehilangan status. Adanya krisis status ini bisa berujung pada kesejahteraan para pekerja kampus.

“Kalau statusnya udah gak jelas, apalagi kesejahteraan mereka, apalagi hak-hak mereka. Mereka akan mudah sekali dimutasi, mutasi yang terjadi saat ini lebih kepada situasi like and dislike, yang itu diskriminatif. Bisa karena gender, tidak sama afiliasi politik, hak subjektif yang seharusnya tidak perlu dipertimbangkan pembentuk bagaimana hubungan kerja yang baik dalam lingkungan kampus,” jelas Dhia.

Lalu, ia menambahkan kondisi dosen saat ini tidak jauh beda dengan kondisi tenaga administrasi, pustakawan, atau pekerja kampus lainnya yang mengalami situasi buruk saat ini.

Melalui SPK ini, diharapkan dapat menciptakan kesetaraan dan ekosistem yang baik dalam lingkungan kampus menjadi lebih optimal.

“Kemerdekaan yang dimunculkan kampus merdeka selayaknya munculnya dari bawah, jadi kampus merdeka itu kampus yang selayaknya memerdekakan pekerja kampus bukan program-program yang itu given dari kementerian kepada kampus,” tegas Dhia. 

Arah Gerak SPK ke Depan, Upaya dalam Mengadvokasi Masalah Pekerja Kampus

SPK yang disahkan pada 17 Agustus 2023 ini muncul dari setiap langkah yang diambil dan dibicarakan satu-satu. Desain yang dibentuk dan ingin diwujudkan oleh SPK muncul dari tuntutan yang diminta kawan-kawan pekerja kampus.

“Berdasarkan tuntutan dari apa yang diminta oleh kawan-kawan calon anggota ini adalah pada memperjuangkan para pekerja namanya adalah kesejahteraan,” ujar Dhia.

“Kesejahteraan di sini boro-boro mengikuti standar UMR. Ternyata di beberapa kampus mengalami situasi di bawah UMR. Di luar itu adalah menjadikan serikat pekerja ini berdaulat, independen, kemudian non-diskriminatif. Equal.  Itu yang menjadi desain kedepannya,” tambah Dhia.

SPK memiliki arah tujuan yang kurang lebih sama dengan serikat pekerja lainnya. SPK hadir sebagai kebutuhan para pekerja kampus ketika berbicara mengenai hak, kepentingan, dan lain sebagainya. Dhia menambahkan bahwa dalam penyelesaian masalah, SPK memiliki tim lawyer untuk melakukan pendampingan hingga masalah selesai dan tuntas. 

“Kita iuran juga, jadi terstruktur cara kerja kita dan memang memperjuangkan hak-hak pekerja kampus yang seringkali luput dalam proses yang bisa dilakukan secara kolektif,” jelas Dhia ketika diwawancarai oleh ASPIRASI melalui Google Meet.

Melalui pendampingan, advokasi merupakan cara yang dilakukan dalam memperjuangkan hak pekerja kampus yang sering kali diabaikan.

Dhia lalu menjelaskan lebih lanjut, ia memiliki rentang waktu tiga tahun dalam  merealisasikan program kerja. Program kerja ini akan dilakukan pasca proses legalitas selesai.

“Jadi tahun ini fokus dilegalisasi dan konsolidasi, baru di tahun kedua kita mulai pembagian kerja itu dan kerja-kerja advokasi akan kita mulai di tahun kedua dan ketiga termasuk advokasi kebijakan,” ungkap Dhia menutup wawancara hari ini.

 

Ilustrasi: Instagram @serikatpekerjakampus.

Reporter: Rifqy Alief. | Editor: Tiara Ramadanti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *