Dua Burung Gereja
Dulu, waktu umurku masih tujuh, Ibuk pernah menjelaskan kalau ada buku berjudul ensiklopedia. Ibuk bilang, aku bisa menemukan jawaban dari segala pertanyaanku di sana. Karena, katanya lagi, kadang aku punya pertanyaan gak masuk akal yang sulit dipahami oleh Ibuk dan orang dewasa lainnya. Padahal menurutku, bukan pertanyaanku yang gak masuk akal, tapi orang dewasa memang gak punya imajinasi tinggi untuk menyelami isi kepala kami.
Toh, ketika Ibuk pulang menenteng ensiklopedia flora yang sudah menguning sisi-sisinya (aku tebak, Ibuk membelinya di pasar loak dekat tempat kerjanya), aku gak menemukan satu pun jawaban dari tanda tanyaku di sana. Kebingunganku tetap jadi kebingungan yang esensial dan Ibuk tetap menumis bawang putih di dapur dengan harap aku gak kembali melontarkan tanya yang bisa membungkam mulutnya.
Lagi pula bagiku, di atas ensiklopedia, masih ada isi kepala Rey yang lebih kapabel dalam menjawab pertanyaanku. Berbeda dengan isi kepalaku yang seperti bola ubi kopong, Rey punya isi kepala seperti onde-onde dengan pasta kacang hijau sebagai otaknya. Aku menyebutnya seperti itu karena Rey memang tahu soal banyak hal, seakan di kepalanya terbangun perpustakaan besar dengan segudang buku (atau satu kilo pasta kacang hijau).
Aku senang bicara dengan Rey karena Rey selalu punya hal-hal seru untuk dibahas. Seperti siang itu, Rey tiba-tiba menepis bisu dengan bertanya kepadaku perihal reinkarnasi.
“Apa tuh reinkarnasi? Jenis nasi baru?” Sudah kubilang, isi kepalaku seperti bola ubi kopong yang menyisakan deru angin. Rey menggelengkan kepala, gak membenarkan tebakanku.
“Reinkarnasi itu lahir kembali. Jadi di kehidupan selanjutnya, setelah kamu meninggal, kamu bisa lahir lagi. Itu yang disebut reinkarnasi.”
“Lahir lagi menjadi aku?”
“Gak, lah. Kamu nanti pindah ke wujud lain. Bisa aja kamu lahir lagi jadi manusia, tapi gak menutup kemungkinan kalau kamu juga bisa lahir jadi ikan nirwana punya Pak Ahmad.”
“Ih, gak mau,” sontak aku menggelengkan kepala kala terbayang wajah galak Pak Ahmad dengan kumisnya yang naik turun setiap kali mengomel. “Kalau lahir jadi batu aja bisa, gak?”
Aku tau Rey sejatinya kebingungan dengan pertanyaanku. Karena, kalau sedang bingung, alisnya suka sekali menukik seperti jembatan dan di dahinya lahir kerutan-kerutan yang menyerupai kulit jeruk. Tapi kebuntuan itu gak berlangsung lama sebab setelahnya, Rey segera menganggukan kepala dengan pasti. Mataku berbinar kegirangan—yang kupikir-pikir, kenapa juga aku girang karena ingin menjadi batu.
“Kamu bisa minta jadi apa aja kalau di kehidupan sebelumnya kamu jadi orang baik. Kamu, kan, orang baik. Nanti kamu minta dilahirkan jadi batu saja.”
Aku gak langsung mengiyakan ucapan Rey karena tiba-tiba, kepalaku jadi bising oleh berbagai kontemplasi ingin menjadi apa aku nanti di kehidupan selanjutnya. Menjadi kuda nil juga sepertinya menyenangkan. Aku bisa berendam di air seharian sambil tertidur.
“Kalau kamu sendiri, Rey? Kamu mau jadi apa?”
“Aku? Aku mau jadi burung.”
Sudut belakang sekolah yang lusuh barang kali menjelma menjadi sebaik-baiknya hening yang menyaksikan percakapan di antara dua anak berumur sebelas tahun. Mungkin, kalau mereka benar makhluk hidup, aku sekarang pasti bisa mendengar dinding berlapis cat hijau itu tengah menertawakan kami. Tidak lupa dengan pipa bekas kumal yang menyaksikan aku dan Rey dengan segala keskeptisan mereka akan perbincangan kami. Persis seperti orang dewasa, yang katanya lebih mampu memijak bumi yang realistis.
“Kenapa memangnya burung? Kamu gak mau jadi manusia lagi aja? Kamu kan pintar. Siapa tau kamu bisa jadi guru, menteri pendidikan, atau presiden.”
“Aku gak mau jadi manusia lagi,” gumam Rey. “Soalnya, kalau jadi manusia, aku takut ketemu sama Bunda lagi. Kalau jadi burung, kan, aku bisa terbang buat kabur.”
Rey gak pernah bercerita banyak soal bundanya. Ia cuman pernah bilang kalau bundanya sering pulang malam dan berangkat di pagi buta, makanya bunda Rey jarang di rumah. Tapi yang aku tau, bunda Rey itu galak. Soalnya aku pernah mendengar bundanya marah-marah dan menampar pipi Rey waktu lagi main di rumahnya. Rey bilang, pipinya enggak apa-apa, gak sakit sama sekali. Tapi aku ini memahami Rey lebih baik dibandingkan bagaimana otakku mampu memahami buku sekolah. Jadi, setelah itu, aku mengusap punggung Rey, berpikir dangkal kalau usapan-usapan itu mampu mengusir seluruh rasa sakit yang bersemayam di dada Rey.
“Ibuk gak galak sih,” ujarku sambil menengadahkan kepala. Sorotku jatuh pada dua burung gereja yang hinggap pada kabel tiang listrik. Sekarang aku malah jadi membayangkan kalau dua burung gereja itu adalah aku dan Rey. Hinggap dan terbang bersama, menelusuri tiap-tiap sisi kota dan bermain dari pagi hingga malam. “Tapi, kalau reinkarnasi beneran ada, aku gak mau Ibuk milih aku buat jadi anaknya lagi.”
“Loh, kenapa? Ibuk kamu, kan, baik.”
“Justru karena Ibuk orang baik,” timpalku. “Makanya menurut aku, Ibuk semestinya gak hidup kayak gini, kerja serabutan dari pagi sampe sore. Aku mau Ibuk nikah sama laki-laki lain yang bisa bertanggung jawab, gak kayak Bapak yang bisanya cuman tiduran di sofa sampai perutnya membesar. Kalau Ibuk bisa nikah dengan orang baik, kayak pangeran misalnya, pasti hidup Ibuk bakal lebih baik. Tapi jadinya aku enggak ada, soalnya kan aku anak dari Ibuk dan Bapak, bukan Ibuk dan pangeran.”
Rey mengangguk-ngangguk mafhum. “Berarti kamu mau jadi batu?”
“Aku mau jadi apapun yang gak sendirian,” jawabku. “Jadi batu kayaknya asik, sih, kan cuman diam aja. Tapi kalau kamu jadi burung terus terbang kemana-mana, aku sama siapa?”
“Sama temen-temen batu kamu yang lain.”
“Aku kan gak kenal sama mereka. Jangan suruh aku kenalan. Aku gak pinter ngajak orang kenalan. Kan kamu tau, temen aku selama ini cuman kamu.”
“Bener juga,” Rey mengiyakan dan raut wajahku jadi masam sepenuhnya. “Yaudah, aku jadi lumut aja, deh. Kan lumut nempel di batu.”
“Aku gak mau ditempelin kamu tiap hari juga,” keluhku pelan. “Setelah aku pikir-pikir lagi, jadi batu dan lumut yang diem aja gak seseru itu. Nanti kita bosen dan batu gak punya kaki atau sayap yang bisa ngebawa dia bergerak kapan aja yang dia mau.”
Sekali lagi, aku menengadahkan kepala, disusul oleh Rey yang turut memandang dua burung gereja yang sejak tadi mencuri atensiku. Ketika kedua burung itu terbang bersamaan dengan rimbun gemerisik daun yang tertiup angin, kami saling bertatapan. Rey punya bola mata yang besar, sampai-sampai ia bisa menggenggam galaksi yang luas di kedua bola matanya. Aku pernah menemukan konstelasi libra di sana.
“Kamu mau jadi burung aja gak, Kei? Sama aku?” Rey bertanya dan segera kusanggupi dengan anggukkan pasti. “Nanti kita terbang bersama. Kalau sayap kamu capek, kamu nanti aku gendong di belakang. Gimana?”
Sekali lagi, aku mengangguk. Karena sebenarnya, aku gak keberatan kalau harus kembali terlahir menjadi apa saja, asal aku gak jadi apapun yang sendirian dan aku tetap punya Rey sebagai temanku. Makanya, kalau Rey mau kita terlahir kembali jadi dua burung gereja, aku akan dengan senang hati menyanggupi keinginan Rey.
Penulis: Mahalia Mg.