Pesimistis

Sastra

Wanita tersebut menatap tajam pantulan dirinya yang berada di dalam cermin. Pantulan seorang wanita cantik yang bermahkotakan suntiang gadang berwarna keperakan dan dibalut dengan kebaya nuansa putih biru yang apik dipandang. Ditambah lagi dengan kombinasi polesan bedak dan lipstik yang pas pada tempatnya.

Namun hal itu tak membuat ia tak membenci sosok yang ia lihat. Mengutuknya entah sudah berapa kali. Membencinya untuk pertama kali dan akan terus berlanjut entah sampai kapan. Mempertanyakan bagaimana bisa sosok itu jatuh dalam perangkap yang akan membelenggunya, mungkin untuk seumur hidup. Perangkap tak nyata yang nyata. Ia menahan amarah dan kesedihannya dalam diam. Tak mungkin ia menyapu riasannya dengan air mata yang tidak akan mengubah garis waktu dan nasibnya. Bak alu pencukil duri kata pepatah tua.

Seharusnya ia bahagia seperti kebanyakan wanita di luar sana yang memohon serta berdoa siang dan malam untuk berada di posisinya.

Bukankah menikah adalah suatu bentuk penyempurnaan agama?

Menikah itu ibadah. Menikah akan membuat dirinya menjadi wanita seutuhnya.  Bukankah begitu?

Wanita tersebut melirik ke arah buku catatan lusuh yang ia genggam sedari tadi. Di bagian depan buku tersebut tertempel daun momiji, daun musim gugur khas Negeri Matahari Terbit Jepang.

Dirinya masih ingat betul euforia ketika ia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di negara itu. Daun-daun momiji inilah yang pertama kali menyambutnya. Mereka berhembus bersamaan dengan angin musim gugur yang cukup dingin namun tak mampu meredupkan semangatnya, seolah daun itu berkata, “kau berhasil mewujudkannya. Selamat datang kawanku.”

Dia berhasil menaklukan keraguannya untuk berkuliah di sana. Mematahkahkan cibiran mereka yang menganggap ia tak cukup mampu.

Perlahan ia membuka kembali lembaran buku tersebut, berusaha untuk tidak merusaknya. Mencoba mereka ulang setiap kejadian yang ia catat dengan detail dalam hidupnya. Buku itu kini menjadi saksi bisu angan-angan seorang gadis yang dimulai 15 tahun yang lalu hingga beberapa bulan lalu. Berkuliah ke luar negeri, membuka bisnis di bidang mode, berkeliling dunia, mendapatkan gelar doktor dari universitas ternama di Inggris, dan masih banyak lagi yang ia catat dengan detail mengenai mimpi-mimpinya.

Ia terhenti sejenak melihat foto yang tertempel pada suatu halaman. Foto itu adalah foto pemandangan yang ia ambil enam tahun lalu. Berkah yang Tuhan berikan dalam menjamah tempat yang indah yang pernah ia datangi. Foto tersebut berkaitan dengan impiannya. Salah satu impian terbesarnya adalah mempunyai rumah dengan nuansa tradisional minimalis di daerah Blagaj, sebuah kota kecil di Bosnia-Herzegovina.

Blagaj adalah tempat di mana berbaurnya nuansa perkotaan dengan nuansa perdesaan. Terletak di dekat Sungai Buna, kota ini memiliki sebuah bangunan arsitektural seperti biara Muslim yang dikenal dengan nama Blagaj Tekke atau Vrelo Bune. Jika Blagaj sudah terkenal akan keharmonisan alamnya maka rumah Darwis di sungai Buna, Blagaj Tekke adalah apa yang dapat disebut sebagai salah satu tempat terindah yang ada di dunia. Masih lekat angannya untuk menyusuri Sungai Buna sambil bersandung santai setiap paginya.

Tak sabar ia mendengar desiran air yang mengalir ketika ia membuka jendela rumahnya yang terletak di sebelah rumah Darwis dengan pemandangan yang langsung menghadap Sungai Buna. Menenangkan bukan? Namun kini ia semakin pesimis. Pesimis terhadap keberlangsungan dirinya dan sejuta angan-angannya.

Rasa pesimis itu bukan tak beralasan. Bukankah memang wanita kodratnya sebagai ibu rumah tangga. Memfokuskan dirinya untuk urusan dapur, sumur dan kasur. Persis seperti apa yang dikatakan kedua orang tuanya sebagai hasil stigma yang berlaku di masyarakat.

Wanita harus berpendidikan tinggi agar mampu memberikan pengajaran kepada keluarganya kelak, namun di satu sisi tak boleh terlalu tinggi, nanti lelaki akan enggan. Wanita harus cantik agar dapat mendapatkan kualifikasi menantu mumpuni. Wanita harus anggun tidak boleh urakan agar tak mempermalukan. Wanita tak boleh bekerja, lebih baik fokus mengabdi pada sang suami dan melepaskan semua mimpi dan angan yang ia miliki. Wanita boleh memiliki penghasilan, namun tak boleh lebih tinggi dari suami, nanti suami akan risih. Wanita itu harus ini dan itu, terkadang sampai menyentuh hal yang tak masuk akal.

Seperti itulah. Semua itu jelas tertulis di sebuah bingkai kasat mata yang tertanam pada celah terkecil otak manusia. Bukankah akan lebih mudah jika mengikuti alur tersebut? Bukankah akan terlihat ‘normal’ untuk mengikutinya? Wanita itu mulai terisak dalam diam.

Bukankah akan lebih baik jika ia mulai membiasakan diri sebagai seorang istri yang disunting karena tradisi oleh lelaki yang dari awal pertemuan tidak menyetujui keinginannya untuk mendapatkan gelar Magister di Negeri Ginseng? Pria yang terpaut tujuh tahun dengannya. Pria yang mapan di mata para tetuah adat. Matanya mulai perih.

Kalua lah, yang lain alah menunggu,” ucap seorang wanita parah baya dari luar ruangan.

Dengan cepat ia menahan air mata yang kini telah bergumul di kelopak matanya. Ia harus jadi sosok wanita yang diidamkan oleh semua orang. Wanita yang anggun, berpendidikan tinggi, patuh, dan cantik.

Setidaknya ia membahagiakan mande yang telah merawatnya dari kecil hingga kini. Tekatnya sudah bulat. Ia menutup buku yang ada di pangkuannya dan meletakkannya di atas meja rias.

Iya, ambo alah siap,”

Ia memegang gagang pintu. Bersiap untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Hidup yang lebih terlihat normal. Hidup yang lebih terlihat baik. Hidup yang mungkin bisa menjanjikan kenyamanan namun tak berarti kebebasan. Ia menatap buku lusuh itu sekali lagi.

“Selamat tinggal,” gumamnya.

Oleh : Thalitha Avifah Yuristiana,

mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), semester II.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *