Calling Bullsh*t : Jangan Mau Kena Manipulasi Data dari Penguasa

Resensi

Judul : Calling Bullshit : The Art of Skepticism in a Data-Driven World

Penulis : Carl Bergstrom and Jevin D. West

Penerbit : Random House

Tahun Terbit : 2020

Halaman : 336

Calling Bullshit : The Art of Skepticism in a Data-Driven World merupakan bacaan konstruktif untuk membantu pembacanya memiliki kemampuan berpikir kritis

Aspirasionline.com — Penulis buku ini, Carl Bergstorm merupakan ahli di bidang informasi dan jaringan sosial, sementara Jevin West merupakan seorang ilmuan yang fokus dalam hal missinformasi di bidang sains maupun sosial masyarakat. Melalui karya penulis tersebut, pembaca mendapatkan panduan untuk dapat berpikir kritis terhadap segala informasi yang diperoleh baik itu secara langsung (melihat dan mendengar) atau tidak langsung (melalui media massa atau media online).

Setiap orang bisa memberikan informasi apapun meskipun informasi tersebut belum tentu valid atau kredibel. Namun, di tengah maraknya informasi palsu, kebohongan maupun konspirasi, individu dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menyaring segala jenis informasi. Hingga tidak merugikan atau bahkan membahayakan dirinya dan lingkungan sekitarnya.

Fenomena Brexit dan pemilihan Trump menjadi titik tolak pembuatan buku ini. Di mana saat itu menjadi awal mula maraknya gerakan politik populis yang cenderung menyembah data teknokratis. Data digunakan sebagai alat oleh para politisi untuk meraup dukungan dan omong kosong.

Lantas implikasi dari hal tersebut akan berdampak buruk bagi jalannya demokrasi, yang mengandalkan masyarakat berpikiran kritis di era perang informasi online ini. Sebagai contoh, mantan Menteri Kesehatan RI Terawan mengatakan, bahwa data menunjukkan kematian yang disebabkan oleh efek flu lebih tinggi daripada Covid-19 sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.[1] Pernyataan tersebut merupakan omong kosong ilmiah di mana seorang pejabat mengambil kesimpulan yang ceroboh dan berdampak pada kebijakan yang dibuat.

Melalui buku ini, Carl Bergstorm mengajarkan pembacanya untuk mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk omong kosong seperti—bagaimana cara mengevaluasi klaim ilmiah, mengenali data bias yang tidak representatif, mengidentifikasi bias seleksi dalam sampel, memahami korelasi dan hubungan kausalitas. Serta bagaimana data seringkali dimanipulasi secara visual untuk tujuan tertentu.

Masih rendahnya kemampuan publik dalam menggunakan logika kuantitatif, seringkali pula menjadi sumber aji mumpung para politisi untuk berbicara omong kosong terkait data. Sehingga berimbas pada merebaknya kaum-kaum penyembah data.

Ketika Media Memproduksi Omong Kosong

Pun terbitnya buku ini berguna membantu pembacanya untuk belajar memahami dari mana suatu informasi berasal, dan apakah hal itu merupakan suatu kebenaran. Retorika saat ini digunakan untuk mengelabui orang lain—yang seringkali digunakan politisi untuk mengelabui publik—sehingga perlu bagi setiap individu untuk skeptis dan melakukan pemeriksaan ulang terhadap segala informasi yang diperolehnya.

Media dewasa ini juga turut andil dalam memproduksi omong kosong seperti siaran pers yang cenderung dilebih-lebihkan. Budaya start-up dan media saat ini mengangkat omong kosong menjadi bernilai seni tinggi. Permasalahan yang disebabkan oleh orang yang gemar menggunakan retorika untuk mengelabui publik adalah menjadikan masyarakat merasa tidak cukup mampu untuk mengkritisi ide atau gagasan yang disampaikan melalui retorika yang rumit itu, sehingga mereka terpaksa menerima omong kosong tersebut.

Tak hanya itu, omong kosong juga dapat berupa informasi yang benar namun disampaikan dengan cara yang salah. Hal yang perlu diperhatikan, terkadang suatu informasi yang benar bisa digunakan untuk memprovokasi orang lain untuk bertindak yang salah.

Dampak dari hal ini bisa menyebabkan polarisasi atau bahkan konflik antar golongan. Ini membuktikan betapa bahayanya disinformasi, missinformasi, serta manipulasi informasi dan data yang dilakukan oleh pihak tertentu demi memuluskan kepentingannya. Pada akhirnya yang menjadi korban dari perilaku tersebut adalah publik dan demokrasi.

Media sosial maupun media massa pun memiliki tanggung jawab moral untuk menghentikan penyebaran informasi keliru, yang setiap hari dikonsumsi publik. Di samping itu, pemerintah juga harus bertanggungjawab untuk memastikan akses seseorang terhadap informasi, agar tidak dimanipulasi dan dieksploitasi untuk kepentingan suatu orang atau kelompok tertentu.

Maka pada akhirnya, buku ini mengajak seluruh pembacanya untuk berefleksi agar dapat skeptis dan menekan penyebaran omong kosong informasi dan data yang saat ini beredar luas khususnya dalam dunia maya.

Penulis: Sekar Ayu | Editor: Azzahra Dhea.

[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200302180948-4-141868/terawan-kematian-efek-flu-lebih-tinggi-kenapa-corona-heboh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *