Perkawinan Anak Meningkat, Hati Ferny Prayitno Tergerak
Berawal dari keresahannya terhadap isu-isu anak sejak duduk di bangku SMK, Ferny Prayitno meneruskan pengabdiannya untuk fokus dalam isu anak sampai saat ini.
Aspirasionline.com — Tahun ini, perempuan bernama Ferny baru saja lulus dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI). Ia lantas meneruskan karirnya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta sebagai divisi perubahan hukum. Hari-hari Ferny dedikasikan untuk aktif dalam segala kegiatan sosial seperti volunteer sebagai mentor dan pembicara di berbagai kesempatan.
Tak hanya itu, Ferny juga tergabung dalam komunitas Youth Coalition for Girls (YCG). Sesuai dengan nilai dan harapan wanita berusia 22 tahun tersebut, YCG juga bergerak dalam mendukung anak perempuan yang setara dan terpenuhi haknya.
YCG pun banyak menyelenggarakan kegiatan seperti webinar dan kampanye yang mengusung tema hak anak perempuan dan perkawinan anak. Pun YCG kerap mengundang pembicara yang memang ahli dalam bidangnya sesuai tema yang diangkat.
Salah satu yang membuat Ferny terusik saat ini ialah, bahwa sejak awal pandemi kondisi anak-anak Indonesia khususnya anak perempuan dikatakan tidak cukup baik. Mulai dari pembelajaran jarak jauh yang membuat anak sulit berkonsentrasi karena dilakukan dirumah, hingga meningkatnya perkawinan anak dibawah umur.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) Mencatat 3,22% perempuan menikah di bawah usia 15 tahun pada 2020. Sedangkan, hanya 0,34% laki-laki yang menikah di usia tersebut. Lalu, 27,35% perempuan menikah di usia 16-18 tahun. Sedangkan, hanya 6,40% laki-laki yang menikah di kategori usia tersebut.
“Kalau dari kondisi seperti saat situasi pandemi memang banyak yang melangsungkan pernikahan di usia sekolah,” terangnya kepada ASPIRASI pada Rabu, (14/9).
Meski begitu, pada kenyataannya hal tersebut justru menambah banyak anak perempuan yang mendapatkan double diskriminasi. Anak perempuan dipaksa untuk tetap melakukan pekerjaan rumah saat ia seharusnya melakukan pembelajaran daring.
Menurut Ferny banyak orang tua yang melakukan hal tersebut dengan dalih kondisi ekonomi yang kurang mendukung, “anak perempuan jadi memiliki beban ganda. Banyak sekali pada akhirnya mereka putus sekolah,” ungkap Ferny.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak awal pandemi COVID-19 hingga Februari 2021 sudah lebih dari 150 anak putus sekolah karena menikah dan bekerja.
“Banyak anak Indonesia sejak pandemi bosan karena akses jaringan yang sulit, mereka bosan dan memutuskan untuk menikah,” terang Ferny.
Meskipun dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, Ferny mengharapkan adanya peraturan tegas dari pemerintah dalam menurunkan angka perkawinan anak. Karena dilatarbelakangi dari kondisi yang berbeda ditiap-tiap daerah, dibutuhkan strategi dari berbagai sektor seperti pendidikan, ekonomi, agama, dan hukum.
Informasi dan sosialisai mengenai pencegahan perkawinan anak ini diharapkan Ferny dapat dimulai dari kaum muda dan orang tua. Ferny mengajak kaum muda yang telah menempuh pendidikan tinggi hendaknya bisa memperjuangkan hak anak Indonesia, salah satunya hak untuk belajar.
“Salah satu mencegah juga dengan adanya mengajar untuk anak-anak yang kurang mampu, dengan begitu mereka akan semakin bersemangat untuk mengejar cita-cita dengan mimpi yang besar,” ungkap perempuan kelahiran Depok tersebut.
Begitupun dengan orang tua, yang sedikit demi sedikit haruslah mengerti mengenai dampak perkawinan anak. Menurut Ferny, orang tua yang mengawinkan anaknya karena masalah ekonomi justru akan memunculkan masalah-masalah baru.
“Ada orang tua yang berfikir ketika mereka mengawinkan anak akan meminimalisir beban, dengan kesiapan minim dari segi mental maupun finansial dan menambah beban anak ataupun orang tua itu sendiri,” lanjut Ferny.
Di akhir sesi wawancara, Ferny menegaskan bahwa ia tetap akan belajar dan mendalami perlindungan anak dengan ilmu yang banyak dan berkesempatan untuk dilibatkan dalam membuat suatu kebijakan. Ferny juga berharap bahwa di tahun 2030-2045 angka penurunan perkawinan anak bisa mencapai 70%.
“Aku berharap semua orang mendukung bersama agar bisa diselesaikan,” tutup Ferny.
Ilustrasi: Ambar Febrianti
Reporter: Ambar Febrianti | Editor: Azzahra Dhea.