Jalan Mulus Sektor Batu Bara Kembali Diberikan Pemerintah

Nasional

Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana, limbah batubara, Fly Ash dan Bottom Ash (FABA), tak lagi masuk ke dalam ketegori limbah B3.

Aspirasionline.com − Keadaan lingkungan yang bersih dan sehat merupakan salah satu bentuk Hak Asasi Manusia yang seharusnya dijamin negara. Namun, hak itu tidak tercermin pada apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penurunan status limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, dampak penurunan status tersebut, dapat terasa dari hulu hingga ke hilir.

Dari hulu, proses pertambangan maupun monokultur telah dilakukan pada ratusan lahan. Bahkan tak luput dengan konflik agraria yang kerap terjadi. Sedangkan di hilir, tiap produknya turut memberikan dampak bagi lingkungan, salah duanya adalah FABA dan SBE.

Melihat hal tersebut, Kisworo menuturkan, bahwa PP yang dikeluarkan, jelas tidak memperhatikan keselamatan bagi warga maupun lingkungan. “PP No 22/2021 sangat nyata bahwa negara abai pada keselamatan warga dan lingkungan,” ungkapnya pada Minggu, (14/3), melalui Konferensi Pers melalui youtube WALHI Nasional.

Senada dengan Kisworo, perwakilan WALHI Jakarta, Tubagus pun menuturkan, bahwa masyarakat Banten yang menjadi salah satu wilayah terbesar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), banyak yang mengeluhkan pencemaran FABA setiap tahunnya. Bagi Tubagus, penghapusan limbah FABA dari limbah B3 ini pun, tidak mencerminkan semangat lingkungan hidup.

“Semangat penghapusan ini, bukan semangat lingkungan hidup. Ini semakin membawa masyarakat Banten dan Jakarta tidak memliki kapasitas kualitas lingkungan hidup, terutama kepastian mendapatkan hak udara bersih,” tuturnya.

Menurut Tubagus,  adanya PLTU tersebut sebenarnya sudah tidak efektif. Namun, pemerintah selalu melihat hanya dari sisi biaya produksi. Selama ini biaya lingkungan hidup yang dikeluarkan PLTU sangat tinggi. Dalam hukum lingkungan, jika biaya pemulihan yang dikeluarkan sangat tinggi, maka menunjukkan energi yang digunakan tidak efektif.

“Ini semakin menunjukkan bahwa PLTU tidak efektif sama sekali, dan ini bukan kepentingan rakyat. Melainkan untuk kelompok bisnis batu bara, dan untuk mempertahankan pengusaha batu bara,” pungkas Tubagus.

Batu Bara Dalam Pusaran Industrialisasi

Aries sebagai Perwakilan WALHI Sulawesi Tengah pun, turut hadir dalam konferensi pers tersebut. Laki-laki itu membahas terkait batu bara dari sisi akumulasi kapital. Dimana, batu bara sebagai energi yang paling murah untuk pengeluaran produksi. Tetapi disisi lain menjadi pemicu terjadinya pemanasan global.

“Kebutuhan energi menjadi sangat besar, batu bara lah yang menjadi pilihan utamanya,” ujar Aries.

Produksi fosil menjadi salah satu penyumbang yang besar bagi terjadinya pemanasan global. Namun, jika dilihat dari semangat pemerintah dalam mendrorong kebutuhan industrialisasi, batu bara masih menjadi pilihan yang utama untuk digunakan.

Menurut Aries, apabila dilihat dari dampaknya pun sudah banyak korban berjatuhan. Salah satunya terjadi di Sulawesi Tengah, terdapat masyarakat yang terpapar kanker nosofaring. Dalam paru-parunya ditemukan partikel hitam yang bersumber dari FABA. Dampak yang terjadi cukup besar, sebab pemukiman masyarakat jaraknya sekitar sepuluh meter dari lingkungan batu bara.

Ditambah hari ini, masyarakat selalu mengeluhkan dampaknya. “Pilihan negara menghapusnya dari limbah B3, menjadi keambiguan bagi negara dalam mendorong terjadinya perubahan dalam energi baru terbarukan,” tegas Aries.

Reporter: Fadhila Wijaya. | Editor: Azzahra Dhea.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *