
Kontroversi Program ‘Kampus Merdeka’ Ala Nadiem Makarim
Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ‘Kampus Merdeka’ memiliki potensi adanya industrialisasi dalam kampus. Ketika seharusnya kampus menjadi tempat mahasiswa memerdekakan pikirannya.
Aspirasionline.com – Jumat, (24/1) Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan pendidikan yang bernama ‘Kampus Merdeka’. Ada empat kebijakan pendidikan yang terangkum dalam program tersebut, yaitu: kemudahan dalam membuka program studi baru, akreditasi perguruan tinggi, perubahan status menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH), dan sistem belajar di perguruan tinggi (hak belajar tiga semester di luar program studi).
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menggangap kebijakan ini sebagai bentuk industrialisasi dan komersialisasi pendidikan. Menurutnya, dengan kebijakan ini akan memperparah akses masyarakat Indonesia terhadap pendidikan. Ia khawatir masuknya indsutri ke dalam kampus dapat mengkooptasi kampus itu sendiri.
“Nanti kalau dibebasin kampus itu menjadi PTN-BH maka nanti yang terjadi adalah industrialisasi dan komersialisasi,” ujar Ubaid saat dihubungi ASPIRASI pada Selasa, (4/2).
Kampus Tak Hanya Soal Industri
Ubaid juga menyampaikan pendapatnya tentang kampus yang merupakan sebuah instansi yang bicara tentang humanisme, suistanability development, social justice dan nalar kritis. Sehingga penting untuk menjauhkan pendidikan yang ada di kampus dengan dunia industri.
“Industri itu jangan kemudian mengkooptasi dan menghegemoni dunia kampus. Itu bahaya sekali,” ujar Ubaid.
Lebih lanjut, Ubaid menganggap jika program ini berjalan, makan nantinya kampus sekadar hanya mencetak robot semata. Karena menurutnya, yang diinginkan oleh industri adalah robot yang mampu bekerja kepada mereka.
“Padahal kampus itu tidak mencetak robot. Mencetak manusia. Manusia itu apa? mahasiswa di kampus tuh belajar soal bagaimana memanusiakan manusia,” tambah Ubaid
Menurutnya, yang saat ini lebih penting adalah bagaimana memperjuangkan kebebasan berpikir. Menjadi penting pendidikan di kampus, tidak hanya menciptakan robot tapi ada sisi sisi humanismenya disana.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, Fajar Adi Nugroho, menyampaikan bahwa ia sangat mengapresiasi kebijakan tersebut. “Opsi pembelajaran mahasiswa itu menjadi lebih banyak,” ucap Fajar saat dihubungi ASPIRASI pada Rabu, (5/2).
Namun, menurutnya sangat disayangkan hal itu belum mencakupi pedoman bagi pihak lain yang seharusnya juga ikut menyesuaikan terkait dengan kebijakan ini seperti lembaga non-pendidikan. “Karena nanti ditakutkan akan berpotensi adanya eksploitasi mahasiswa gitu,” jelas Fajar.
Salah satu poin dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Nadiem Makarim yakni magang atau praktik kerja di industri atau organisasi. Poin tersebut mendapat sorotan penting bagi Fajar.
Menurutnya, walaupun peraturan terkait dan panduan bagaimana kontrak kerja sama antara pemagang dengan perusahaan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), harus tetap ada pengaturan yang bisa menjadi jaminan bahwa nantnya tidak ada lagi mahasiswa yang dieskploitasi di industri.
“Itu sebenarnya salah satu keresahan dari teman-teman mahasiswa terkait dengan bagaimana nanti hak-hak mereka bisa dijamin,” tutur Fajar.
Sama halnya dengan Fajar, Ketua BEM Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Adyanta Ginting juga memberikan apresiasinya atas usaha Nadiem dengan program Kampus Merdeka ini.
“Konsepnya bagus sebenarnya. Cuma kayanya cara yang beliau lakukan salah,” ucap Adyanta saat ditemui ASPIRASI pada Kamis, (6/2).
Menurut laki-laki yang gemar membaca ini, opsi pembelajaran seperti magang yang dimaksud Nadiem malah menciptakan mahasiswa menjadi tenaga kerja bukan menjadi tenaga ahli.
“Seharusnya tenaga kerja konsepnya ada di politeknik,” tambah Adyanta.
Konsep Kampus Merdeka yang Ideal
Mendefinisikan kampus yang seperti menara gading, Ubaid menjelaskan bahwa selama ini kampus belum merealisasikan Tri Dharma perguruan tinggi dengan baik. Menurutnya, kampus yang ideal ialah kampus yang hadir di tengah-tengah masyarakat.
“Jadi kampus tuh harus menjadi bagian dari masyarakat dan menjadi solusi atas kebuntuan yang ada di masyarakat,” ujar Ubaid.
Ketika ditanya tentang Kampus Merdeka versi mahasiswa, Adyanta mengatakan kepada ASPIRASI bahwa ketika ia mendengar kata merdeka, yang dipikirannya adalah sebuah kebebasan.
Kebebasan yang memperbolehkan siapa saja untuk bebas berpikir di lingkungan kampus. Adanya ruang diskusi juga bisa menjadi salah satu contoh Kampus Merdeka yang diidealkan oleh mahasiswa.
“Nah menurut saya merdekanya di sana, ketika memang mahasiswanya bebas berpikir, bebas berdiskusi,” ucap Adyanta.
Selaras dengan Adyanta, Fajar berpandangan bahwa kampus merdeka yang ideal versi mahasiswa ialah kampus yang mampu memantik mahasiswanya untuk bisa mengeksplorasi apa yang ia sukai, mengeksplorasi pemikirannya dengan berdiskusi. Namun, tetap dalam koridor-koridor keilmuan.
Foto : Tirto.id
Reporter : Dhea Mg. | Editor : Rafi Shiddique.