Minimnya Kebebasan Hak Setara Untuk Buruh

Nasional

Outsourching, aturan upah minimum, serta BPJS menjadi fokus dari orasi buruh di May Day 2019. Regulasi terus diperjuangkan oleh berbagai federasi serta serikat buruh untuk bisa mencabut setiap undang-undang serta pasal yang tidak berpihak pada kaum buruh.

Aspirasionline.com — Outsourching dalam Undang-Undang penegakkan hukum tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 65 dan 66. Aturan ini menyatakan outsourching dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia yang diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja serta pengaturan hukum alih daya di Indonesia. UU ini berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tentang upah buruh ini mengatur dua bentuk kebijakan, yaitu upah dan pendapatan non upah. Bentuk upah seperti upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja, dan lain-lain. Adanya penentuan upah minumum buruh yang harus berdasarkan inflasi daerah setiap 3 tahun sekali, menjadi keresahan kaum buruh.

Penggaungan tuntutan dari buruh di May Day 2019 yang diadakan di Jakarta ini mencakup tentang penghapusan kerja outsourching dan upah yang layak. Tuntutan ini banyak diperbincangan dalam orasi setiap perserikatan dan federasi buruh.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Serikat Buruh Solidaritas Indonesia (SBSI) Agus Supriadi mengatakan aturan tentang outsorching dalam pasal 65 dan 66 mengakibatkan buruh kehilangan kepastian atas kelayakan bekerja. Selain itu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan juga dirasakan tidak profesional dalam mengelola programnya seperti sulitnya akses untuk mendapatkan layanan BPJS bagi kaum buruh.

“Hal tersebut karena pertama kedua pasal ini dirasakan merugikan untuk kaum buruh dengan tidak adanya kepastian hukum terkait masalah hubungan kerja ini,” ungkapnya kepada ASPIRASI saat ditemui di depan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat pada Rabu, (1/5).

Selain itu, permasalahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 juga menjadi fokus dalam orasi setiap buruh. Puji selaku Ketua bidang politik dan hubungan antar lembaga negeri yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN), menjelaskan bahwa aturan tersebut sangat krusial karena menutup adanya penghilangan peran perserikatan buruh. Dalam PP ini survei dilakukan setiap lima tahun sedangkan kebutuhan buruh setiap tahun berbeda.

“Dalam penentuan upah kemudian pada penempatan proses upahnya selain menghilangkan peran serikat buruh juga tidak mengacu pada survei penghidupan layak yang dilakukan setiap bulannya pada kehidupan buruh,” tuturnya.

Serikat Buruh Bukan Provokator Untuk Perusahaan

Masalah timbul ketika pihak pengusaha masih memandang serikat buruh sebagai penghalang dalam tingkat produksi. Sebenarnya serikat buruh dihadirkan sebagai ajang aspirasi para buruh. Menurut Agus, adanya pandangan dari pengusaha tentang serikat buruh sebagai provokator itu tidak benar.

Serikat buruh menjadi perantara untuk berunding mengenai Perjanjian Kerja Bersama (PKB), sehingga hak dan kewajiban pengusaha untuk pekerja dapat sesuai dengan PKB. Dan juga serikat buruh harus memiliki hubungan harmonis dengan pengusaha. Buruh yang tergabung dalam perserikatan harus mengerti aturan-aturan tentang ketenagakerjaan,
Artinya mereka sudah menjadikan perusahaan sebagai dapur mereka. Sehingga mereka mengerti tidak boleh sekali-kali merugikan perusahaan.

Regulasi Untuk Menangani Setiap Permasalahan

Berdasarkan kesepakatan SBSI, adanya persoalan upah tidak akan pernah selesai jika aturannya masih demikian. SBSI menyerukan tuntutan pencabutan tentang Peraturan Pemerintah (PP) No 78. Ia juga merekomendasikan mengenai keuntungan bersih yang dimiliki perusahaan minimal 30% atau 20% setahun sekali diberikan untuk pekerja. Keuntungan ini baru bisa menjadi upah yang layak diberikan. Artinya pengusaha harus menyampaikan secara terbuka keuntungan pemasukan dan pengeluaran, masalah pajak, serta pembelanjaan mereka.

Agus menjelaskan bahwa sekitar pukul dua siang SBSI bersama Polda Metro, ketua KSPN, dan Kapolri akan meluncurkan teks pidana perburuhan. Tuntutan yang digaungkan oleh SBSI melalui ketua umumnya Joko Priyono mengenai pekerja perempuan terkait mekanisme pekerja perempuan yang rentan dengan kekerasan fisik serta psikis. “Perlindungan yang kita juga usung adalah perlindungan reproduksi, dengan harapan akan adanya cuti melahirkan selama 14 Minggu serta penyediaan ruang laktasi bagi pekerja perempuan,” tutupnya.

Reporter: Syena Meuthia. |Editor: Nabila Tiara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *